Kenalan saya, “Monik”, belum lama bercerita tentang adiknya yang baru saja menikah di kampungnya, Nusa Tenggara Timur. Anak kedua dari enam bersaudara ini mengaku kaget mendengar kabar yang disampaikan oleh ibunya via telepon. Pasalnya, selain tak ada pemberitahuan sebelumnya, usia sang adik juga masih 15 tahun. Ketika saya tanya, apa yang mendorong adiknya menikah pada usia semuda itu, Monik mengatakan, “Dia mau [nikah] saja, enggak mau lagi sekolah.”
Monik berasal dari keluarga yang terbilang menengah ke bawah. Setelah ayah Monik meninggal, ibunya hanya mengandalkan uang kiriman Monik yang bekerja di Jakarta untuk menyambung hidup dia dan anak-anaknya yang lain. Namun soal sekolah adik-adik Monik, mereka mendapat bantuan dana dari pemerintah, sehingga ini tak terlalu bermasalah. Faktor lain yang jamak ditemukan dalam kasus pernikahan anak seperti hamil di luar nikah pun tak ada.
Baca juga: Menerima Perbedaan di Akar Rumput
Mendengar cerita Monik, saya jadi ingin tahu lebih dalam kenapa anak-anak semuda adiknya mau buru-buru menikah. Apalagi Monik mengklaim, hal macam ini lumrah ditemukan di kampungnya. Setahu saya, sudah ada upaya dari pemerintah, kelompok masyarakat, atau organisasi nonpemerintah untuk menggencarkan kampanye anti-pernikahan anak di berbagai provinsi, termasuk kampung Monik. Namun, kenapa realitasnya masih banyak ditemukan praktik semacam ini, bahkan inisiatifnya datang dari diri si anak sendiri. Strategi apa yang bisa diterapkan supaya pemahaman tentang pernikahan anak, kekerasan, isu gender, dan berbagai isu sosial lainnya dapat diterima dan diaplikasikan oleh masyarakat yang belum terpapar informasi-informasi itu?
Pahami Konteks Lebih Dulu
Menurut influencing director di Yayasan Plan International Indonesia, Nazla Mariza, mendekati masyarakat, terutama kalangan akar rumput yang belum memiliki pemahaman dan kesadaran, kita perlu melihat minat dan konteks mereka. Pasalnya, tiap audiens yang disasar punya minat dan konteks sosial budaya yang berbeda.
“Kita harus membuat situation analysis dengan mencari tahu apa hal penting buat mereka, siapa yang mereka dengar, mereka tuakan, atau mereka percayai. Mungkin saya sebagai orang baru juga enggak dipercaya saya mereka,” kata Nazla.
Ketika berbicara dengan anak muda, ada baiknya bila kita memanfaatkan anak-anak sepantarannya yang sudah diberikan edukasi untuk memengaruhi teman-temannya yang lain. Di samping itu, kita perlu menggunakan bahasa yang mudah mereka terima agar pesan tidak disalahpahami.
“Yang jelas kita sangat menghindari [bahasa] menggurui,” imbuh Nazla.
Dalam melakukan persiapan sebelum menghadapi kelompok masyarakat yang belum punya kesadaran akan isu sosial tertentu, penulis dan aktivis Kalis Mardiasih mengatakan ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
“[Kita perlu] menggali cerita-cerita kekerasan berbasis gender yang merupakan pengalaman khas dari kelompok yang akan kita dampingi. Gali sebanyak-banyaknya cerita sehingga kita tampak begitu mengenal mereka. Misal, cerita kekerasan berbasis gender khas perempuan pekerja migran itu apa saja,” papar Kalis.
Ia menambahkan, penting bagi orang yang melakukan aktivisme untuk juga melibatkan para peserta dalam setiap proses belajar secara interaktif.
“Misalnya, kita melempar pertanyaan, ‘Ibu-ibu, siapa yang bekerja dari pagi sampai sore, lalu ketika sampai rumah, ternyata rumah masih berantakan banget dan ibu-ibu juga yang harus membereskan rumah sendirian?’ Biarkan peserta mengeksplorasi cerita masing-masing untuk memberikan pemahaman bahwa situasi tersebut adalah contoh beban ganda,” ujar Kalis.
“Semakin kita memahami situasi mereka, semakin cepat kita terkoneksi dengan mereka dan sebaliknya.”
Gali Minatnya, Petakan Sosok-sosok Kuat di Masyarakat
Setelah membuat analisis konteks, menurut Nazla penting bagi siapa pun yang terjun ke lapangan dalam rangka kampanye kesadaran isu tertentu untuk menggali interest kelompok-kelompok yang disasar. Misalnya, saat bicara pernikahan anak dan berhadapan dengan orang tua, kita bisa saja menemukan interest mereka adalah ekonomi.
“Dari situ kita ajak bicara, misalnya anaknya sekolah gratis, biayanya dari pemerintah. Hanya perlu katakanlah empat sampai lima tahun dia menyelesaikan sekolahnya supaya dia jadi lebih bisa memberikan manfaat bagi dirinya, keluarganya, termasuk masalah ekonominya,” kata Nazla.
Baca juga: Memimpikan Para Ibu Sehat Jiwa, dari Kalangan Atas Hingga Akar Rumput
Ia menekankan pentingnya membangun percakapan dengan audiens yang disasar. Dengan memberikan bermacam pertanyaan kepada mereka, audiens akan terpancing untuk berpikir alih-alih hanya dibombardir dengan anjuran “jangan begini, harus begitu”. Saat kita hanya mengatakan apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan, hal itu akan terasa seperti perintah semata dan menyerang perilaku mereka. Padahal, yang harus dipengaruhi menurut Nazla bukanlah perilaku terlebih dahulu, melainkan interest mereka melalui proses dialog.
“Bukan hanya kita saja yang ngomong. Kita libatkan mereka yang sudah kita ajak ngobrol dan edukasi,” sambung Nazla.
Terkait hal ini, Nazla juga menyatakan perlunya kita membuat analisis kekuatan siapa saja yang berpengaruh secara sosial budaya atau didengarkan oleh kelompok yang kita sasar.
“Kita bicara dengan orang paling powerful yang memelihara suatu budaya [yang berseberangan dengan pesan kampanye]. Pasti ada di antara mereka yang progresif, bisa diajak bicara. Jadi, kita mapping juga, siapa-siapa saja yang kira-kira bisa digandeng,” kata Nazla.
Setelah orang-orang yang bisa diajak bicara bisa kita kumpulkan, kita baru dapat membuat semacam pertemuan dan meminta mereka yang sudah diedukasi untuk memengaruhi tokoh-tokoh kuat lainnya.
Penting pula untuk kita melihat kekuatan tersembunyi di balik satu tokoh. Nazla mengutarakan, di belakang sosok berpengaruh bisa saja ada sosok istri, orang tua, bupati, atau masyarakat yang punya andil dalam melegitimasi dirinya.
“Pasti ada power di atas power,” ungkap Nazla.
Strategi Aktivisme Digital kepada Masyarakat Awam
Menurut Kalis, ada perbedaan antara melakukan aktivisme turun ke lapangan dan aktivisme digital kepada masyarakat yang masih awam. Di lapangan, biasanya orang yang menjadi fasilitator melakukan screening, pretest, dan pendampingan terhadap kelompok tertentu agar mereka mendapat pemahaman menyeluruh, lalu melakukan evaluasi pada akhir proses.
“Ini berbeda dengan aktivisme media digital karena banyak sekali disrupsi [di sana]. Audiens kita di media sosial tidak tetap, segmen usianya sangat acak, begitu juga latar belakangnya. Audiens baru menyimak penjelasan kita sepotong saja, lalu tidak menyimak penjelasan lainnya. Audiens-audiens semacam ini tentu tidak terukur dan tidak bisa dievaluasi,” jelas Kalis.
Menghadapi kondisi seperti ini, dalam melakukan aktivisme digitalnya, Kalis menyarankan kita untuk menggunakan cara sederhana dalam membicarakan wacana gender di media sosial karena akan ada audiens yang tidak punya sama sekali pemahaman soal isu kita. Ia sendiri menerapkan strategi bercerita tentang berbagai pengalaman perempuan tanpa menyebut istilah kesetaraan gender atau feminisme.
“Saat bercerita, ada teknik-teknik khusus yang saya pakai untuk menangkap emosi audiens. Emosi yang saya tangkap beragam, ada emosi sedih, marah, hingga tawa. Audiens yang terlibat secara emosi secara umum berhasil mendapatkan pesan yang ingin kita sampaikan,” papar Kalis.
Selain itu, ia juga tidak jenuh mengulang-ulang cerita karena baginya, pengulangan tema penting dilakukan dalam aktivisme digital seiring dengan terus berubahnya audiens kita.
Comments