Jika ada perempuan yang memanjat sampai atap rumah hanya untuk memperbarui cat rumah yang mulai memudar ketika H-3 Idul Fitri di kompleks saya, sudah pasti itu ibu saya.
Membangun bisnis daur ulang barang bekas, menjadi akuntan sekaligus teknisi mesin penggiling daur ulang barang bekas, itu juga dilakukannya. Persoalan membuat saya kenyang dengan makanan khas Indonesia Timur, Ibu juga jagonya.
Terkadang saya berpikir, apa yang tidak bisa dilakukan perempuan yang tak pernah mengenyam pendidikan sekolah menengah atas itu? Dan mengapa keahliannya justru lebih banyak ketimbang keahlian saya yang sarjana?
Pertanyaan seperti itu mulai berkecamuk di kepala saya ketika saya mulai ketularan mempelajari teori-teori feminisme dan isu kesetaraan gender di organisasi yang saya ikuti sewaktu kuliah.
Membaca sejarah pergerakan perempuan dunia dan menurunkannya ke konteks Indonesia, serta mencoba untuk mengorelasikannya dengan apa yang terjadi hari ini adalah sesuatu yang saya gemari ketika saya baru mengenal kajian ini.
Gara-gara mempelajari feminisme, idola saya pun berubah, yang tadinya artis Korea menjadi tokoh-tokoh perempuan seperti Simone De Beauvoir, Julia Kristeva, Hannah Arendt, Kartini, Gadis Arivia, dan lainnya yang mencintai narasi kesetaraan melalui pemikiran-pemikirannya.
Apakah berhenti di situ? Tidak. Definisi tampan dan cantik dalam bingkai pemikiran saya pun berubah. Saya tidak lagi membatasinya dengan warna kulit dan rupa wajah, tetapi dengan pemikiran dan tingkah laku seseorang.
Baca juga: Ayah Saya Ternyata Feminis
Hal yang kemudian cukup membekas di benak saya selanjutnya pada masa-masa itu adalah ketika sahabat saya, “Maharani” terjebak dalam hubungan toksik dan meminta pendapat saya untuk semua masalahnya.
Sebagai seorang yang berani melabeli diri feminis, langkah pertama yang saya lakukan adalah mendengar dengan saksama semua keluh kesahnya, lantas mengajaknya untuk berpartisipasi mengikuti kajian feminisme yang diselenggarakan oleh organisasi internal kampus.
Berikutnya, sepulang dari kajian, saya selalu mengiriminya artikel-artikel yang membahas tentang perempuan berdaya serta kutipan-kutipan penyemangat yang saya ambil dari Instagram. Saya pikir, hal tersebut tepat untuk ia baca dalam kondisi terpuruk seperti saat itu. Tujuan saya sederhana: Saya hanya ingin mengembalikan kepercayaan dirinya untuk keluar dari hubungan beracun itu.
Harapan saya agar Maharani terlepas dari hubungan toksik pun terwujud. Dia berterima kasih kepada saya karena telah mengajaknya ke diskusi feminisme tempo hari. Berkat hal itu, Maharani sadar bahwa selama ini yang menjadikannya tak pernah percaya diri untuk menyudahi hubungan toksik itu adalah karena dia terlalu bergantung pada kekasihnya, baik secara fisik maupun psikis.
Mendengar itu, tentu saya bahagia karena setidaknya, apa yang saya baca dapat menyelamatkan orang lain. Sejak hari itu, saya meyakinkan diri saya bahwa sudah selayaknya perempuan menjadi mandiri. Bukan untuk tidak menyusahkan orang lain, melainkan untuk menyelamatkan dirinya sendiri di kemudian hari.
Baca juga: 7 Cara Keluar dari Relasi Toksik di Masa Pandemi
Belajar mandiri dari Ibu
Ya, mandiri. Satu kata yang dalam praktiknya telah dicontohkan oleh ibu saya jauh-jauh hari, bahkan sebelum saya masuk kuliah. Beliau melakukan segala sesuatunya sendiri.
Dulu, saya mempertanyakan kenapa harus mengecat rumah sendiri kalau bisa bayar tukang? Kenapa harus bongkar mesin daur ulang barang bekas sendiri kalau bisa dibawa ke bengkel? Kenapa harus bisa membaca harga pasar, mencatat transaksi jual beli barang sendiri kalau bisa pakai jasa akuntan? Dan banyak kenapa dan kenapa lainnya.
Pada saat itu saya sulit mengerti, mengapa ada manusia yang dengan sukarela mempersulit dirinya sendiri ketika sebenarnya dia dapat mendapatkan segala sesuatunya dengan mudah. Namun perlahan, saya mulai kagum pada Ibu.
Kekaguman saya meningkat kepada perempuan Ambon yang fasih berbahasa Jawa halus itu ketika dia memberitahu saya bahwa sekarang, karyawannya bertambah dan 80 persennya adalah perempuan. Mereka adalah para tetangga saya dan warga perempuan dari desa sebelah.
Ibu saya percaya bahwa perempuan memang perlu mandiri meskipun telah berkeluarga. Hal ini untuk berjaga-jaga saat pasangan hidupnya tidak lagi mencintainya atau lebih dulu tiada. Minimal, ia tahu akan ke mana dan harus berbuat apa.
Baca juga: Bagaimana Orang Tua Menjadikan Saya Feminis
Setelah berhasil mandiri, kata Ibu, penting bagi perempuan buat memberdayakan sesama. Ibu bahkan tidak pernah menganggap karyawannya sebagai bawahan, tetapi saudara perempuan. Ibu tidak hanya membuka lapangan pekerjaan di desa, tapi juga konsultasi rumah tangga karena semua karyawan perempuannya curhat tentang masalah-masalah pribadi mereka. Kata Ibu, ini merupakan strategi untuk membangun solidaritas sesama rekan kerja.
Melihat itu semua, saya berpikir, apa jadinya kalau ibu saya benar-benar mengenal wacana feminisme hari ini atau mungkin membaca kajian-kajian kiri? Ah, imajinasi saya terlalu liar untuk membayangkannya menjadi jendral lapangan ketika aksi.
Tanpa Ibu sadari, beliau telah membaca apa yang saya baca, hanya saja saya membaca teks dan ibu membaca konteks. Beliau membaca semua fenomena sosial perempuan-perempuan di sekitarnya untuk kemudian mengupayakan sebuah tawaran solusi sebisa yang beliau mampu.
Benar, Ibu selalu mempunyai caranya sendiri untuk menyelesaikan segala sesuatunya. Seorang pemikir yang segera bertindak ketika telah yakin bahwa apa yang dipikirkannya tidak akan merugikan orang lain.
Semakin ke sini, idola saya kembali berubah, bukan lagi De Beauvoir, Kristeva, Arendt, atau Kartini, melainkan ibu saya sendiri, seorang perempuan desa yang senantiasa berusaha untuk berdikari.
Ilustrasi oleh Karina Tungari.
Comments