Women Lead Pendidikan Seks
December 22, 2016

Menentang Standar Kecantikan Agar Tubuh Tidak Terjajah

Narasi tunggal standar kecantikan adalah bentuk penjajahan bagi setiap keindahan yang terdapat pada manusia.

by Hening Wikan
Issues // Gender and Sexuality
Share:
“Bagus itu berolahraga rutin, supaya badanmu makin singset. Laki-laki kan tidak suka perempuan yang gemuk. Ingat ya, perempuan itu dipilih lho,” ujar Nenek,  setelah saya menceritakan bahwa saya mengikuti kelas zumba di kota perantauan ini.

Alasan sebenarnya adalah kesehatan saya yang beberapa waktu lalu memburuk sehingga saya memilih rutin berolahraga. Tetapi tanggapan nenek saya membuat saya naik darah. Sebetulnya sudah berkali-kali saya menyatakan pandangan yang jelas sangat berseberangan dengan beliau. Nenek saya hanya akan mengelak dengan ringan, dan beliau akan tetap memberikan opini yang sama seperti sebelumnya, tak peduli berapa kali pun saya menyanggah. Dan saya akan tetap menyanggahnya untuk hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam diri saya.

Setelah seminggu berolahraga di kelas zumba, saya mendapat tiga orang kenalan yang menemani saya mengobrol pada waktu berbeda. Yang membuat saya terkejut adalah mereka bertiga memiliki alasan yang sama untuk mengikuti kelas zumba ini yaitu menjadi kurus supaya terlihat cantik. Untuk menanggapinya, secara otomatis saya berkata, “Kamu sudah cantik kok,”. Dan ketiganya menjawab dengan jawaban yang hampir sama dengan, “Tapi tidak cukup cantik untuk laki-laki di luar sana,”. Bahkan salah satu dari mereka bercerita bahwa laki-laki yang disukainya tidak membalas perasaannya dengan alasan bahwa ia terlalu gemuk.

Sepanjang perjalanan pulang, saya menyadari bahwa kebohongan-kebohongan yang ditampilkan di berbagai media telah melanggengkan standar kecantikan. Dan standar itu tersebut kemudian direproduksi sendiri oleh perempuan sehingga ide tersebut tidak mati bahkan pantang ditentang.

Kebanyakan figur perempuan yang dianggap cantik di layar kaca kita adalah perempuan yang kurus, tinggi semampai, dan memiliki kulit cerah. Seakan-akan semua yang berada di luar standar tersebut layak diberi predikat tidak cantik. Padahal “gemuk” maupun “pendek” hanyalah kata sifat biasa, namun kemunculan ide mengenai figur perempuan cantik tersebut memaksa kita untuk mengasosiasikan keduanya dengan kata sifat yang lain, yaitu “jelek”.




Hal tersebut membuat sebagian besar perempuan dan laki-laki menganggap bahwa yang dimaksud dengan hinaan dapat berupa penyematan kata sifat “gemuk” pada perempuan. Kemudian industri obat memanfaatkan hal itu dengan memproduksi berbagai obat pelangsing, peninggi badan, pencerah kulit hingga penggemuk bagi mereka yang dianggap “terlalu kurus”. Hal itu tak lain adalah untuk menegaskan ilusi bahwa kesepakatan tak tertulis yang ditandatangani oleh umat manusia di seluruh dunia mengenai bagaimana seseorang dapat disebut cantik atau tidak adalah sesuatu yang nyata.

Narasi tunggal standar kecantikan juga diperkuat dengan kurang beragamnya figur fisik yang dimunculkan di berbagai media, terutama pada ajang pemilihan ratu kecantikan. Hal itu membuat baik perempuan maupun laki-laki merasa dapat mengaplikasikan standar kecantikan dalam cara berpikir mereka sendiri maupun yang berkaitan dengan penilaian terhadap orang lain. Saya pribadi selalu merasa ngeri membayangkannya. Apa yang lebih mengerikan dibandingkan perasaan tidak dapat mencintai diri sendiri karena merasa tidak cukup cantik? Banyak perempuan kemudian berlomba-lomba melakukan apa saja supaya mendapat validasi untuk disebut cantik. Atau parahnya, ketika masyarakat “mencekokinya” supaya menjadi cantik untuk dapat disukai oleh laki-laki.

Dengan direproduksinya ide mengenai standar kecantikan secara terus-menerus, maka si empunya tubuh cenderung tak sadar bahkan menerima begitu saja “penjajahan” yang dilakukan atas tubuhnya. Sebab ia akan cenderung memikirkan cara untuk memenuhi standar kecantikan tersebut, baik dengan berolahraga melalui kelas zumba sampai menenggak obat-obatan tertentu. Tak berhenti disitu saja, ia juga akan mulai “menjajah” tubuh lain dengan kalimat sesederhana berikut:

“Kamu gemukan deh, yakin nggak mau diet?”

“Cewek itu harus bisa jaga berat badan, biar suami betah di rumah.”

 “Ih, si A gendut banget ya? Mending kamu jogging gih biar nggak segendut dia.”

Bagi saya, standar kecantikan adalah bentuk penjajahan bagi setiap keindahan yang terdapat pada manusia. Dengan membuatnya hanya sebagai narasi tunggal semata, saya menyadari bahwa terdapat relasi yang tidak setara antara media yang membuat ilusi itu menjadi nyata dengan para perempuan yang saya sayangi.

Kita menjadi korban karena kita tunduk membiarkan ide tersebut eksis dalam pola berpikir kita. Sudah saatnya kita menentang itu sekarang juga. Sebab saya percaya, selama tidak menyakiti manusia lain, tidak ada institusi apapun yang berhak mengatur bagaimana cara perempuan berbicara, bertindak, berbusana, terlebih dalam urusan mengatur tubuhnya.

Hening Wikan adalah seorang mahasiswa yang saat ini sedang menempuh pendidikan di Yogyakarta. Dapat ditemui dengan mudah di kantin kampus, angkringan, maupun di Twitter @heningwikan. Tengah berkutat dengan gagasan kemanusiaan.