Women Lead Pendidikan Seks
December 03, 2021

Meski Belum Aktif Seksual, Remaja Bilang Butuh Pendidikan Seks

Pendidikan seks komprehensif digadang-gadang bisa mengatasi sejumlah masalah seksualitas remaja. Benarkah?

by Magdalene
Issues // Gender and Sexuality
Share:

*Peringatan Pemicu: Penggambaran kekerasan seksual, pelecehan, dan kata-kata kasar"

“Pacar saya mengeluarkan kemaluannya dari balik celana dan meminta saya mengulumnya. Ini pertama kali seumur hidup saya melihat penis lelaki dewasa. Kaget, bingung, takut, perasaan campur aduk,” ujar “Desi” mengenang pengalamannya lima tahun silam. Saat itu, ia masih di bangku kelas 3 Sekolah Menengah Atas (SMA), sedangkan “Doni”, pacarnya yang terpaut usia dua tahun itu sudah jadi mahasiswa.

Di kamar kos sang pacar, Desi belum sempat menuntaskan rasa kaget, ketika tanpa permisi, kemaluan Doni masuk ke mulutnya. “Saya enggak bisa berpikir banyak, yang saya tahu dari obrolan dengan teman-teman, orang pacaran biasanya melakukan ini demi cinta. Saya pasrah.”

Perempuan yang kini berusia 22 tahun itu menceritakan pada Magdalene, (30/11), ia tak punya pengalaman atau pengetahuan cukup soal pendidikan seks semasa SMA. Memangnya bisa berharap apa dari kurikulum SMA yang cuma sibuk menceritakan organ reproduksi dan abstinensi, alih-alih mengajari soal seks yang aman, persetujuan untuk berhubungan seks, atau relasi yang sehat, ujarnya.

Pengalaman melakukan seks oral itu terus membekas di kepalanya. Belakangan ia tahu, dirinya menjadi korban kekerasan karena diajak berhubungan seks tanpa persetujuan (consent). Hubungannya dengan Doni kandas sekarang, tapi Desi belajar, consent adalah hal pokok yang kerap kali absen ditanamkan pada para remaja dalam pendidikan seks, baik di sekolah maupun dalam keluarga. Ia tahu, banyak remaja mengalami hal serupa sepertinya: Minim pengetahuan, tak cukup pengalaman.

Keterbatasan itu menimbulkan pertanyaan penting, sebenarnya seberapa mendesak pendidikan seks untuk remaja? Jika memang ini harus masuk skala prioritas bersama, harus seperti apa pendidikan seks idealnya dikemas?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, Magdalene melakukan survei daring dari 2-15 November 2021. Survei yang melibatkan 405 responden berusia 15-19 tahun tersebut menunjukkan, 98,5% dari mereka mengaku butuh pendidikan seks. Ironisnya, hanya 12,84% yang menilai pendidikan seks di sekolah sudah cukup memadai.”

Survei ini sendiri disebar lewat berbagai platform media sosial, dari Twitter, Facebook, hingga Instagram. Selain itu, survei juga disebarkan lewat jejaring yang dimiliki Magdalene, dari Aliansi Remaja Independen (ARI) hingga Reprodukasi, disebar kepada tenaga pengajar, murid, orang tua.

Baca juga: Benarkah Pendidikan Seksual Hanya Bicara Soal Seks

Karena keterbatasan, survei ini tidak bisa merepresentasikan populasi remaja 15-19 tahun di Indonesia secara keseluruhan. Pasalnya, dari kuesioner yang disebar secara acak, hanya ada 32 provinsi atau 148 kota yang terjaring. Mayoritas responden (69 persen) ada di Pulau Jawa. Responden terbanyak berasal dari Jawa Barat, mencapai 95 orang, disusul Jawa Timur dan DKI Jakarta. Kendati memiliki limitasi, survei ini setidaknya berhasil memotret kebutuhan remaja 15-19 tahun terkait pendidikan seks.

Sebaran responden survei

Temuan Survei 1: Mayoritas Responden Sepakat Butuh Pendidikan Seks Remaja

Selain menunjukkan kebutuhan remaja akan pendidikan seks, survei ini juga menghasilkan temuan lain yang relatif tak kalah penting. Di antaranya, alasan-alasan yang dikemukakan oleh responden soal kenapa pendidikan seks sangat mereka butuhkan. 

Sebanyak 97, 53 persen setuju pendidikan seks (yang idealnya tak hanya menekankan pada abstinensi) penting meski belum ada keinginan untuk melakukan hubungan seksual. Selain itu pendidikan seks dinilai bisa membantu membangun relasi sehat dengan pasangan (96,79 persen). Lalu, pendidikan seks bisa mencegah kekerasan seksual (96,54 persen). Pendidikan seks bisa mencegah kehamilan yang tak diinginkan (97,04 persen). Terakhir, pendidikan seks bisa mencegah penyakit menular seksual (98,02 persen).

Meski rerata sepakat pendidikan seks penting dan berdampak baik bagi remaja, tapi rupanya itu belum dijalankan maksimal di sekolah-sekolah. Terkait keterbatasan pendidikan seks ini sebenarnya sudah diamini langsung oleh siswa, guru, dan perwakilan orang tua yang masing-masing hadir dalam diskusi yang diselenggarakan Magdalene (1/12) untuk membahas isu ini.

Jessica Suciandy, siswi kelas 2 SMA di Makassar misalnya, mengaku punya akses terbatas terhadap pendidikan seks. “Di sekolah, kami tak mendapat pendidikan seks, tapi sekadar belajar sistem reproduksi di Biologi. Mulai dari sistem reproduksi, fertilisasi, menstruasi, penyakit menular seksual, dan sebagainya,” terangnya.

Padahal, kata dia, pendidikan seks penting mengingat remaja sepertinya membutuhkan informasi yang komprehensif soal seksualitas. Mengutip pakar anak dan psikologi perkembangan dari Universitas Texas, John W. Santrock, remaja (adolescence) adalah fase kritikal manusia karena dianggap sebagai transisi antara masa anak dan dewasa. Menurut penulis buku Adolescence (2011) tersebut, masa-masa ini umumnya diwarnai dengan perubahan biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Perempuan akan mengalami menstruasi, lelaki bakal mimpi basah dan sama-sama punya ketertarikan seksual pada sesama atau lawan jenis. Berangkat dari situ, di masa remaja, pendidikan seks tak lagi bisa ditawar-tawar.

Bagaimana cara kerja pendidikan seks untuk remaja? Kata Santrock, pendidikan seks bisa menjadi kompas pengetahuan agar remaja bisa memahami faktor risiko, mengajarkan tanggung jawab, mengenali nilai-nilai dan seksualitas diri, serta manajemen kontrol. Artinya, pendidikan seks ini tak sesempit upaya preventif agar anak tak berhubungan seks guna menekan risiko kehamilan yang tak diinginkan, tapi juga bisa jadi pedoman untuk mereka yang telah aktif secara seksual, baik dengan diri sendiri atau subjek lain sekalipun.

Hasil survei responden yang menjawab pendidikan seks diperlukan meski belum ada keinginan untuk berhubungan seksual.

Remaja bisa mengetahui segala hal yang berkelindan dengan seksualitasnya, seperti darah menstruasi yang ternyata bisa membuat perempuan rentan terkena anemia, fungsi organ genitalia, bagaimana melakukan seks aman, pentingnya consent dalam berhubungan intim, kekerasan dalam relasi, hingga kepuasan diri.

Aspek-aspek itu sukar didapatkan siswa jika hanya mengandalkan kurikulum sekolah yang ada. Apalagi jika mengandalkan sumber yang kredibilitas dan kontennya masih diragukan, seperti pornografi, artikel antah berantah di internet, atau informasi di media sosial. Inilah kenapa, Stella Masaharu, orang tua dari siswa kelas 3 Sekolah Menengah Pertama (SMP), menyatakan, pendidikan seks adalah hal yang penting dan mendesak.

“Saya sebagai orang tua bisa saja mengajarkan hal-hal yang simpel, seperti alat kelamin, menstruasi, bagian mana dari tubuh yang tak boleh disentuh. Seperti vagina, (maaf) bokong, dan dada. Namun, orang tua memiliki keterbatasan, apalagi jika yang dilawan adalah raksasa informasi bernama internet,” ucapnya.

Karena itulah, sekolah dan negara juga harus terlibat dalam menyediakan akses bagi remaja terhadap pendidikan seks yang memadai. Merespons ini, Rudolf Valantino, guru bidang kesiswaan di Charisma Global School Tangerang manggut-manggut. Ia menyadari pendidikan seks yang ada di kurikulum masih terbilang minim. Celakanya, karena pendidikan seks tak dianggap sebagai sesuatu yang mendesak oleh guru kebanyakan, maka materi yang diajarkan pun belum cukup komprehensif. Padahal, sambungnya, di era disrupsi informasi seperti sekarang, anak-anak sangat mungkin menerima informasi dari mana pun, termasuk sumber yang tak bisa dipertanggungjawabkan, lalu menelannya mentah-mentah jika tak diberi bimbingan.

“Saya setuju, pendidikan seks penting diajarkan secara berkesinambungan dari tingkat SD, SMP, dan SMA,” ujar pria yang mengaku belum pernah melihat ada modul pendidikan seks dari negara.

Baca juga: Pendidikan Seks di Usia Dini Bisa Cegah Kekerasan Seksual pada Anak

Temuan Survei 2: Remaja Mencari Sumber Alternatif Termasuk Pornografi

Minimnya pendidikan seks yang diajarkan di tingkat sekolah membuat para remaja mencari alternatif sumber pengetahuan lain. Survei Magdalene menemukan, situs internet atau aplikasi digital, film atau video, dan teman menjadi tiga sumber utama pendidikan seks yang paling sering disebut oleh para responden. Sementara, guru di sekolah berada di urutan ke-5.

Uniknya, ada 16,88 persen responden yang menggunakan film porno sebagai sumber untuk belajar tentang seks. Di sinilah letak masalahnya, karena di usia remaja, mereka dianggap belum cukup bertanggung jawab memilih apa yang layak dikonsumsi, apa yang tidak, termasuk dalam konteks konten pornografi.

Selain biasanya tak realistis menggambarkan relasi seksual para pemainnya, konten pornografi juga sarat muatan kekerasan. Dosen Sosiologi UI Diana Teresa Pakasi bilang, konten pornografi yang menunjukkan seksualisasi kekerasan bisa berdampak pada cara remaja memaknai hubungan dan relasi seksualnya. Di sinilah poin kritisnya karena kebanyakan konten pornografi dimaksudkan untuk menjual, alih-alih edukasi.

“Karenanya konten porno tidak lepas dari objektifikasi, seksualisasi perempuan, berlanjut pada kekerasan bahkan melanggengkan rape culture atau budaya pemerkosaan. Khawatirnya konten yang mengobjektifikasi kekerasan dianggap normal oleh remaja,” ujarnya.

Remaja mengakses konten pornografi untuk belajar tentang seks



Meski cenderung mengakses sumber yang tak disarankan termasuk konten pornografi, survei kami menunjukkan, responden remaja ternyata memiliki pemahaman mendasar tentang seksualitas. Hal ini terlihat dari jawaban-jawaban mereka saat kami uji dengan sejumlah pernyataan benar dan salah. Misalnya, berenang dengan lawan jenis bisa menyebabkan kehamilan. Hasilnya, 94,07 persen merespons pernyataan itu dengan jawaban “salah”. Ini berlaku pula ketika mereka diuji pengetahuannya dengan pernyataan, vagina tak harus melulu berdarah ketika pertama kali berhubungan seksual. Sebanyak 80 persen menjawab “benar”, 8,64 persen salah, dan sisanya tidak tahu.

Baca juga: Ganti Nama Pendidikan Seks Jadi Pendidikan Kesehatan Remaja

Temuan Survei 3: Kekerasan Bisa Ditekan dengan Pendidikan Seksual Remaja

Temuan survei Magdalene lainnya yang perlu digarisbawahi adalah sebanyak 42 orang dari 405 responden pernah mengalami kekerasan. Dari jumlah itu, 6 orang adalah laki-laki. Bentuk kekerasan yang dialami berupa kekerasan verbal, psikis, seksual, pemerasan, kekerasan gender berbasis online (KGBO), psikis, dan gabungan dari dua atau lebih. Dari semua responden yang mengalami kekerasan tersebut, hanya 63,21 persen yang mengatakan pernah mendapatkan pendidikan seks.

Ini mendukung temuan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang menyebutkan, dari hampir 300 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan di 2020, kekerasan dalam pacaran menempati posisi kedua atau 20 persen di kategori kekerasan di ranah pribadi. 

Dari kekerasan yang kerap dialami remaja dalam relasi romantis, sering kali kekerasan terjadi berulang kali. Hal ini karena korban tidak menyadari mereka sedang berada dalam lingkaran kekerasan, apalagi mampu mengidentifikasi kekerasan yang mereka alami.

Kembali lagi pada angka 63,21 persen yang mengaku mendapat pendidikan seks, tapi juga tetap menjadi korban kekerasan, bisa dimaknai bahwa pendidikan yang dimaksud belum cukup memadai. Tak ada pengajaran soal bagaimana mencegah dan memitigasi kekerasan. Menurut pengakuan responden Magdalene dari Semarang, Gabriella Lakshmi, 19, yang absen dari pendidikan seks yang ia terima di sekolah salah satunya adalah soal melindungi diri dari kekerasan seksual. Ini senada dengan pernyataan responden dari Gorontalo, Jein Palalita, 19, yang bilang pendidikan seks penting memasukkan aspek ini sekaligus.

Hasil survei responden yang menjawab bahwa pendidikan seksual komprehensif bisa mencegah kekerasan seksual

Pendidikan Seks Komprehensif, Bagaimana Idealnya?

Marcia Soumokil, Direktur Yayasan Inisiatif Perubahan Akses menuju Sehat (IPAS) mengakui, pendidikan seks, pendidikan kesehatan reproduksi, apapun namanya, sudah mulai ada tapi belum cukup terstruktur. “Kita tahu, beberapa (materi) pendidikan seks sudah mulai diintegrasikan dalam mata pelajaran di sekolah formal juga di masyarakat, baik media massa, media sosial, keluarga. Hanya saja, kita harus sepakat, pendidikan seks untuk remaja ini belum dikemas secara komprehensif.”

Hal ini dibenarkan oleh Kepala Badan Kependudukan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo. “Yang kita lawan ini sebenarnya kan berat. Ketidaktahuan. Mungkin banyak orang enggak paham, pendidikan seks itu bukan semata-mata mengajarkan sex intercourse (berhubungan seks. Red) tapi juga bagaimana mengenali kondisi patologis lelaki dan perempuan. Bagaimana menstruasi perempuan yang normal dan tak normal. Bagaimana seks yang tak aman bisa berubah jadi ancaman. Sejak 1997 saya aktif berkecimpung di bidang ini tapi belum pernah melihat ada revolusi besar agar pendidikan seks untuk menjadi mainstream,” katanya, (1/12).

Klaim Hasto sebenarnya adalah wujud kritik yang tak hanya bisa ditujukan pada institusi seperti sekolah dan keluarga, tapi juga negara selaku pembuat regulasi dan penyedia infrastruktur pendidikan seks. Di Indonesia, pendidikan seks lebih banyak ditujukan untuk upaya pencegahan seks bebas (abstinensi) saja. Dalam Pasal 136 ayat (1) dan (2) Undang-undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 misalnya disebutkan, pemeliharaan kesehatan remaja ditujukan untuk mempersiapkan menjadi orang dewasa yang sehat dan produktif, baik sosial maupun ekonomi, dan dilakukan agar remaja terbebas dari berbagai gangguan kesehatan yang dapat menghambat kemampuan menjalani kehidupan reproduksi secara sehat.

Aturan ini kemudian ditafsirkan sebagai upaya pencegahan seks bebas oleh remaja. Program BKKBN Generasi Berencana (GenRe) Goes to School, salah satu yang digadang-gadang sebagai jalan mengarusutamakan pendidikan seks, bahkan hanya berada di level sosialisasi untuk pencegahan remaja melakukan perilaku seks berisiko, mengonsumsi narkoba, aborsi, dan HIV/AIDS. Kendati semangatnya sudah relatif lebih baik karena memandang seks bukan sebagai hal yang berbahaya, tapi program ini belum cukup memberdayakan para remaja.

Mengacu pada opini dari sejumlah responden soal ini, yang paling mendesak dibutuhkan mereka adalah pendidikan seks komprehensif. Pendidikan tersebut harus mampu merangkul semua dimensi seksualitas remaja, mulai dari dorongan seksual, kenikmatan diri, perilaku berisiko, relasi sehat, ajaran agama, norma budaya, faktor kesehatan reproduksi, dan risiko sosial.

Lebih lanjut, melansir laman UNESCO, pendidikan seks komprehensif haruslah memuat aspek kognitif, emosional, fisik, dan sosial dari seksualitas. Tujuannya, yakni membekali anak-anak dan remaja dengan pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai yang bisa memberdayakan mereka untuk: Menyadari hal-hal seputar kesehatan, kesejahteraan, dan martabatnya; mengembangkan hubungan sosial dan seksual yang penuh rasa hormat; mempertimbangkan bagaimana pilihan mereka berpengaruh terhadap kesejahteraannya dan orang lain; serta memahami dan memastikan hak-hak mereka terlindungi.

Lantas bagaimana dengan keinginan remaja itu sendiri? Bagaimana pendidikan seks komprehensif yang ideal versi mereka.

Akbar, 17, remaja asal Bangka Belitung bilang dalam survei Magdalene, “Pendidikan seks mestinya tidak hanya membahas sebatas organ reproduksi dan konsep abstinensi saja seperti yang saya terima di sekolah. Lengkap dengan ancaman berupa sanksi sosial, agama, dan ditakut-takuti soal penyakit menular seksual.”

Nyatanya, kata dia, abstinensi saja tidak cukup untuk menghentikan beberapa orang dari melakukan hubungan seks. Oleh karena itu, pendidikan seks komprehensif yang mencakup seks aman, consent, juga risiko dan tanggung jawab setelah melakukan hubungan seks jadi sangat penting.

Senada, Rena, 18, remaja dari Jakarta Utara menyebutkan, pendidikan seks komprehensif haruslah mengajari remaja pengetahuan yang komplit soal sistem reproduksi, consent, keterbukaan komunikasi dengan pasangan, penghargaan atas preferensi seksualitas pribadi, dan seks positif. 

Pada akhirnya, akan ganjil jika membahas pendidikan seks tapi mengecualikan suara dan kebutuhan para remaja. Jika remaja menginginkan ada revolusi baru dalam pendekatan pendidikan seks, maka diskusi dan wacana tentang pendidikan seks harus berangkat dari kebutuhan, berbasis bukti, dan bebas dari asumsi-asumsi yang menyesatkan tentang remaja itu sendiri.

Proyek jurnalistik ini didukung oleh International Media Support.

MAGDALENE is an online publication that offers fresh perspectives beyond the typical gender and cultural confines. We channel the voices of feminists, pluralists and progressives, or just those who are not afraid to be different, regardless of their genders, colors, or sexual preferences. We aim to engage, not alienate.