Awal tahun ini, warga negara Indonesia Reynhard Sinaga dijatuhi hukuman penjara seumur hidup di Inggris, setelah dinyatakan bersalah melakukan pemerkosaan dan kekerasan seksual terhadap 48 laki-laki. Di Amerika Serikat (AS), seorang psikolog di California melaporkan tindakan kekerasan seksual oleh kandidat hakim agung Brett Kavanaugh yang dialaminya. Peristiwa tersebut diakuinya terjadi ketika mereka duduk di bangku sekolah menengah.
Istilah-istilah “pencabulan” (sexual abuse), “serangan seksual” (sexual assault), “pelecehan seksual” (sexual harassment) dan pemerkosaan bertebaran di media. Banyak orang ingin memahami perilaku ini dan bagaimana mencegahnya. Karena itu, alangkah baiknya kalau kita bisa konsisten dan akurat saat menggunakan istilah-istilah ini.
Berangkat dari kepakaran kami dalam penelitian ilmiah terkait pencabulan, pemerkosaan, kekerasan seksual dan pelecehan seksual selama beberapa dekade, kami akan membahas definisi masing-masing istilah tersebut. Selain itu, kami memaparkan bagaimana perilaku-perilaku itu kadang beririsan.
Pencabulan
Istilah pencabulan kerap dikaitkan dengan tindakan pelecehan terhadap anak-anak. Di AS, istilah ini sempat ramai disinggung ketika dokter olahraga Larry Nassar diadili setelah dituduh melakukan pencabulan.
Pencabulan digunakan untuk menggambarkan perilaku terhadap anak-anak, bukan orang dewasa. Di banyak negara, terdapat hukum yang mengakui bahwa anak-anak tidak mampu memberikan persetujuan (sexual consent) yang layak terhadap tindakan seksual apa pun. Di AS, usia seseorang sudah dianggap mampu memberikan persetujuan ini dimulai dari 16 hingga 18 tahun. Sementara dalam regulasi di Indonesia seperti Undang-Undang Perlindungan Anak, seseorang dikategorikan anak selama dia berusia di bawah 18 tahun.
Pencabulan dapat mencakup banyak hal yang berbeda, dari menyentuh korban secara seksual, memaksa korban menyentuh pelaku secara seksual, hingga memaksa korban melihat organ tubuh seksual atau kegiatan seksual. Pencabulan pada anak-anak adalah tindakan kriminal.
Pemerkosaan
Di AS pada 2012, FBI mengeluarkan revisi definisi pemerkosaan, yaitu “penetrasi, walau sedikit, terhadap vagina atau anus dengan organ tubuh atau objek apa pun, atau penetrasi oral dengan organ seks seseorang, tanpa persetujuan korban.” Revisi ini netral dalam gender, artinya korban bisa mencakup siapa saja. Sementara di Indonesia, definisi pemerkosaan menurut KUHP yang berlaku mencakup lingkup lebih kecil yakni oleh laki-laki terhadap perempuan dengan kekerasan atau ancaman, serta ada persetubuhan yang dimaknai terbatas yaitu penetrasi penis ke vagina.
Pelaku dapat memaksa melakukan seks penetratif pada korban lewat berbagai cara. Pelaku bisa mengacuhkan penolakan verbal - misalnya dengan berkata “tidak”, “hentikan”, “aku tidak mau” - atau mengatasi penolakan fisik dengan menahan seseorang di bawah sehingga korban tidak bisa bergerak.
Baca juga: Definisi Hukum Soal Pemerkosaan Kerdilkan Pengalaman Korban
Seseorang dapat melakukan penetrasi terhadap korban yang tidak mampu memberikan persetujuan karena dia mabuk, tidak sadar, tidur, atau memiliki keterbatasan mental atau fisik; atau dapat mengancam atau menggunakan kekuatan fisik atau senjata terhadap korban. Intinya, cara-cara ini mengacuhkan atau menghilangkan kemampuan korban untuk membuat keputusan sendiri atas apa yang terjadi pada tubuh mereka.
Pelaku tidak dapat membela diri terhadap tuduhan pemerkosaan dengan mengklaim bahwa mereka sedang mabuk atau bahwa mereka memiliki hubungan perkawinan dengan korban.
Serangan seksual
Istilah pemerkosaan dan serangan seksual sering digunakan bergantian dalam berita terkait gerakan #MeToo. Praktik ini, walau tidak disengaja, membingungkan.
Definisi pemerkosaan itu spesifik, tapi istilah serangan seksual dapat digunakan untuk menggambarkan beberapa tindakan kejahatan yang sifatnya seksual, mulai dari menyentuh dan mencium, menggesek, meraba, atau memaksa korban menyentuh pelaku secara seksual. Namun, serangan seksual beririsan dengan pemerkosaan karena istilah itu mencakup pemerkosaan.
Peneliti bidang sosial dan perilaku sering menggunakan istilah “kekerasan seksual”. Istilah ini jauh lebih luas daripada serangan seksual. Kekerasan seksual mencakup tindakan yang secara hukum tidak termasuk kriminal tapi membahayakan dan menimbulkan trauma.
Kekerasan seksual mencakup penggunaan janji palsu, tekanan terus-menerus, kata-kata yang melukai, maupun ancaman terhadap reputasi seseorang untuk memaksa adanya tindakan seksual. Istilah ini juga mencakup tindakan non-sentuhan seperti catcall dan siulan, yang dapat membuat perempuan merasa diobjektifikasi dan dirugikan.
Kekerasan seksual mencakup penyebaran gambar-gambar tidak senonoh secara elektronis tanpa persetujuan, mempertunjukkan alat kelamin atau secara sembunyi-sembunyi melihat orang lain sedang telanjang atau melakukan hubungan seks.
Pelecehan seksual
Pelecehan seksual adalah istilah yang lebih luas dibanding serangan seksual, istilah ini mencakup tiga kategori perilaku yang tidak dibolehkan.
Pertama, pemaksaan seksual - secara legal disebut “pelecehan quid pro quo” - yang mengacu pada upaya implisit atau eksplisit untuk membuat suatu kondisi terkait pekerjaan bergantung pada perilaku seksual. Skenario klasik “tidur dengan saya atau kamu dipecat” adalah contoh pemaksaan seksual.
Bentuk pelecehan yang kedua, dan lebih sering terjadi, adalah perhatian seksual yang tidak diinginkan: Sentuhan, pelukan, elusan, ciuman yang tidak diinginkan, tekanan terus-menerus untuk melakukan kencan atau tindakan seksual. Patut dicatat bawah pendekatan romantis atau seksual dapat bervariasi dalam lingkungan kerja, tidak semuanya adalah pelecehan.
Untuk bisa disebut pelecehan seksual yang melanggar hukum, perilaku seksual tersebut harus tidak diinginkan dan tidak menyenangkan bagi korban. Menurut Mahkamah Agung AS, perilaku pelecehan seksual harus “cukup parah atau meluas” dalam “menciptakan lingkungan kerja yang membahayakan”.
Sementara di Indonesia, regulasi khusus yang menyebut dan mengatur pelecehan seksual belum terwujud. Inilah yang tengah diperjuangkan hadir melalui Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Perhatian seksual yang tidak diinginkan bisa mencakup serangan seksual dan bahkan pemerkosaan, jika seorang atasan memaksa mencium atau meraba seorang resepsionis tanpa persetujuan, maka ini adalah contoh perhatian seksual yang tidak diinginkan sekaligus serangan seksual.
Namun, sebagian besar pelecehan seksual tidak melibatkan perilaku seksual. Kategori ketiga dan yang paling sering terjadi adalah pelecehan gender: Tindakan yang merendahkan orang lain terkait gender, namun tidak melibatkan ketertarikan seksual.
Baca juga: Pembaruan Draf RUU PKS: Jangan Ada Lagi Alasan Pembahasan ‘Sulit’
Pelecehan gender bisa termasuk istilah dan gambar seksual yang kasar, misalnya komentar merendahkan terkait tubuh atau kegiatan seksual, grafiti yang merendahkan perempuan atau laki-laki. Seringnya, perilaku ini sepenuhnya seksis, misalnya komentar bahwa seorang perempuan tidak pantas memimpin atau laki-laki tidak bisa mengurus anak. Tindakan semacam ini termasuk pelecehan “seksual” karena berdasarkan seks (jenis kelamin), bukan karena terkait seksualitas.
Semuanya buruk
Dalam sejarah, sikap sosial terhadap tindakan-tindakan ini mendapat reaksi yang berbeda-beda. Grafiti seksis dan celaan dianggap menghina, tapi bukan masalah yang sangat besar, kan? Ucapan pastinya tidak seburuk tindakan fisik. Dan jika tidak terjadi penetrasi, maka belum tentu itu kejadian buruk.
Namun, asumsi-asumsi dipatahkan oleh temuan ilmiah. Misalnya, peneliti di University of Melbourne menganalisis data dari 73.877 perempuan yang bekerja. Mereka menemukan bahwa pelecehan sekual, perilaku seksis dan semacamnya lebih merusak dalam hal pekerjaan dan kesehatan jiwa dibanding perhatian seksual yang tidak diinginkan dan pemaksaan seksual.
Kami telah mencoba mengklarifikasi istilah-istilah yang kini semakin banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Namun, kehidupan itu rumit. Tindakan cabul, serangan atau pelecehan tidak selalu dapat dengan mudah dikategorikan satu sama lain – kadang satu tindakan dapat masuk dalam lebih dari satu kategori. Akan tetapi, menggunakan istilah-istilah ini dengan tepat tetaplah penting untuk mendorong pemahaman publik.
Pada akhirnya, kami memahami bahwa masyarakat saat ini berada dalam periode yang tidak pernah ada sebelumnya dan yang tidak kita sangka akan terjadi. Orang-orang merefleksikan dan membicarakan dan mempertimbangkan berulang kali pengalaman dan perilaku mereka. Definisi, baik yang kriminal atau tidak, berubah seiring berubahnya standar sosial.
Artikel ini telah disunting dan ditambahkan konteks Indonesia. Artikel asli terbit pada 7 Februari 2018 di The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments