Women Lead Pendidikan Seks
September 02, 2020

Menjadi Janda Saat Pandemi, Tak Ada yang Perlu Disesali

Seorang penyintas KDRT merefleksikan pengalamannya dalam pernikahan penuh kekerasan.

by N
Safe Space
Share:

Beberapa portal media online memuat judul-judul bombastis belakangan ini: “Kasus KDRT meningkat di Kota X, muncul ribuan janda baru di kota Y.” Hal ini berarti bahwa pandemi COVID-19 tidak hanya berimbas pada ranah publik, tetapi juga ranah privat. Saya adalah salah satu yang kehidupan pribadinya terimbas oleh pandemi alias menjadi salah satu dari ribuan janda baru di masa pandemi ini.

Tulisan ini bukan tentang bagaimana proses saya menjadi seorang janda. Ini adalah sebuah refleksi dari seorang penyintas kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sebelum pemerintah menerapkan kebijakan work from home pun rumah tangga saya sudah diwarnai kekerasan. Saya membagi kisah ini dengan harapan agar ada sesuatu yang dapat dipetik darinya, sekaligus merefleksikan bagaimana kisah ini telah mengubah hidup saya dan membentuk diri saya sekarang

Pernikahan saya dan mantan suami tidak diawali dengan rasa cinta, karena merupakan hasil perjodohan. Sebelum menikah, pikiran saya kerap dipenuhi keraguan. Bagaimana jika dia kasar atau pelit? Pikiran itu saya kesampingkan, tapi saya menyiapkan diri seandainya suatu hari  pernikahan ini tidak berjalan baik. Saya pikirkan segala kemungkinan buruk, walau tentu saya juga berharap agar ia adalah suami yang baik dan berbahagia.

Baca juga: Mimpi Buruk Baru: Mengurus Perceraian di Tengah Pandemi

Akad nikah berjalan lancar. Tibalah saya memasuki kehidupan pernikahan. Hanya dalam waktu kurang dari sebulan, segala kekhawatiran saya terbukti. Dia adalah orang yang tidak bisa mengontrol kata-katanya ketika marah. Apa yang ditampilkannya di depan keluarga saya hanya pencitraan. Ia tidak mengizinkan saya bekerja meskipun saya mampu. Saya iri dengan teman-teman yang  berdandan cantik untuk berangkat kerja.

Pernikahan saya waktu itu baru seumur jagung, tapi saya tidak mengalami honeymoon phase sebagaimana yang dialami pengantin baru lainnya. Saya sering menangis. Saya membenci hidup saya. Hari-hari yang saya lalui terasa berat. Tidur adalah satu-satunya waktu ketika saya merasa tenang. Kerap saya berharap tidak pernah bangun lagi. Kemudian pagi datang, saya bangun dengan hati yang berat.

Saya menjauhi teman-teman saya. Hati saya teriris setiap kali mereka mengajak bertemu. Saya hanya menjanjikan akan menemui mereka tanpa tahu kapan akan terwujud. Saya tidak mengangkat panggilan video dari sahabat-sahabat saya, padahal kami sudah mengenal sejak SMA, jauh sebelum saya mengenal suami. Saya tidak lagi mengikuti kumpul-kumpul bersama sepupu. Saya jarang menghubungi orang tua. Kalaupun berbicara di telepon, percakapan itu berlangsung singkat. Apa yang akan saya jawab ketika mereka menanyakan kabar? Apakah saya harus berkata bahwa saya tidak baik-baik saja karena setiap hari disiksa suami?

Baca juga: Jangan Takut Mencampuri, Bantu Korban KDRT

Saya berdialog dengan diri sendiri untuk memahami apa yang terjadi. Kenapa dia berperilaku seperti ini? Ternyata ia juga adalah korban kekerasan orang tuanya semasa kecil, lalu ia melampiaskan luka lamanya kepada saya. Saya belum bisa memahaminya secara utuh, tetapi keadaan mental saya semakin terpuruk. Saya kehilangan jati diri. Dalam interaksi dengannya yang paling ringan sekalipun, energi saya langsung terkuras habis dan saya merasa tidak mampu untuk melalui hari. Setiap malam saya merasa seperti berjalan di atas pecahan kaca dan mengira-ngira apa lagi yang akan dia perbuat.

Setelah pandemi bagaimana?

Orang-orang, termasuk saya, berpikir bahwa pandemi ini hanya berlangsung selama satu babak dan setelahnya dunia akan berjalan normal kembali. Saya membaca caption atau twit yang diunggah teman-teman saya, “Kalau corona sudah selesai, gue mau ke..., mau ketemu si..., mau makan di...”. Ah, betapa indahnya jika kita bisa bepergian dengan aman dan nyaman, tanpa kekhawatiran akan ditularkan atau menularkan virus.

Saya bukan panti rehabilitasi untuk memperbaiki kebobrokan mentalnya. Saya pergi sebelum kekerasan emosional yang saya alami berubah menjadi kekerasan fisik.”

Bisakah saya hidup normal setelah pandemi? Pernikahan kami sudah berlangsung berbulan-bulan, namun saya tidak pernah sedikit pun merasakan ketenteraman darinya. Lama sudah sejak saya terakhir makan camilan favorit, bertemu dengan sahabat dan keluarga, atau sekadar menonton film di laptop. Kehidupan saya setelah menikah jauh dari kata normal. Kehidupan rumah tangga saya hanya berfokus kepada suami. Masalah yang saya hadapi dengannya itu-itu saja, seperti saya mengharapkan partisipasinya untuk meringankan beban pekerjaan rumah tangga, atau harapan saya agar ia dapat berlaku lembut terhadap istrinya. Tapi dia tidak pernah mendengarkan saya. Saya merasa dia tidak bisa memenuhi keinginan saya untuk membantu saya dalam hal pekerjaan rumah dan didengarkan.

Perilaku kasarnya semakin menjadi-jadi. Saya kemudian mulai mencari tahu tentang kekerasan verbal dalam rumah tangga dan mulai memahami perilaku toksik oleh pasangan. Saya mencari bantuan kepada teman dan keluarga terdekat. Saya memberanikan diri untuk menceritakan kisah saya kepada komunitas yang bergerak pada pemberdayaan perempuan.

Ada dua tipe korban kekerasan dalam hubungan: Orang yang tidak menyadari bahwa dirinya sedang menjadi korban, dan orang yang mengetahui benar dirinya adalah korban tetapi tidak bisa mengambil tindakan. Saya adalah tipe kedua, dan saya tidak tahu mana yang lebih buruk. Saya gamang karena saya berpikir jika saya menyadarinya, akan lebih mudah untuk mengambil tindakan. Ternyata tidak.

Baca juga: ‘Safety Plan’ dari KDRT di Tengah Wabah Corona

Tidak pernah terbayang bahwa saya pernah menjadi penyintas KDRT. Saya memutuskan untuk meninggalkannya bukan karena saya tidak ingin mempertahankan rumah tangga kami, tetapi karena saya memilih diri sendiri. Saya bukan panti rehabilitasi untuk memperbaiki kebobrokan mentalnya. Saya pergi sebelum kekerasan emosional yang saya alami berubah menjadi kekerasan fisik.

Terkadang saya mempertanyakan apakah saya telah mengambil keputusan yang tepat. Rasanya seperti tidak nyata. Kemarin saya meratapi nasib menikahi orang yang salah, hari ini saya mengumpulkan keberanian untuk bercerita. Tidak ada hal lain yang saya syukuri karena telah diberi kesempatan kedua untuk hidup lagi. Rasanya seperti dibukakan pintu dan memasuki dunia baru yang saya pikir tidak ada sebelumnya.

Satu hal yang belum saya lakukan adalah berterima kasih pada diri saya dan menepuk punggung sendiri sambil berkata: Thank You, self. You did a great job!

N, yang masih meyakini bahwa “Reply 1988” adalah drama Korea terbaik karena ketidakmampuannya buat ‘move on’.