Women Lead Pendidikan Seks
February 07, 2022

Merebut Tafsir: Yang Tersisa dari Kontroversi Oki Setiana Dewi

Dik Oki, sebelum bicara kekerasan dalam rumah tangga, saya sarankan ‘iqra’ dulu.

by Lies Marcoes
Issues
Merebut Tafsir: Yang Tersisa dari Kontroversi Oki Setiana Dewi
Share:

Kontroversi “ceramah” Oki Setiana Dewi (OSD) meninggalkan beberapa catatan penting. Pertama, kesadaran tentang kekerasan terutama kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) telah go public. Begitu potongan ceramahnya mengudara, reaksi pun muncul, dari yang tipis-tipis sampai yang teoretis. Tak hanya perempuan yang ahli di bidangnya tetapi para lelaki yang merasa dipermalukan.

Ini sebuah capaian hebat. Ini sungguh buah kerja keras kampanye dan aksi anti-kekerasan terhadap perempuan yang bergulir sejak era Reformasi, terutama setelah terbentuknya Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) di era Presiden Habibie, keluarnya kebijakan Pengarusutamaan Gender di era Presiden Abdurrahman Wahid, dan keluarnya UU Anti-Kekerasan terhadap Perempuan di era Presiden Megawati, untuk sekadar menyebut beberapa tonggak penting. 

Kedua, isu kekerasan juga telah mengalami proses konseptualisasi teoritis. Istilah  “normalisasi KDRT” yang digunakan untuk melawan pandangan Oki adalah sebuah konsep yang mengekstraksikan kekerasan sebagai sesuatu yang tak normal dan biasa saja, melainkan tindakan kejahatan kemanusiaan.

Dalam hal ini, kerangka teori untuk menjelaskan apa, mengapa kekerasan terjadi dengan basis ketimpangan gender, bukan sesuatu yang tak disengaja, telah menjadi pengetahuan umum yang dapat menjelaskan seluk beluk kekerasan perempuan (Silakan Oki baca-baca buku dulu ya sebelum ceramah, referensinya telah bertebaran dalam Bahasa Indonesia, imbauan yang sama berlaku bagi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menggantung RUU Kekerasan Seksual). 

Baca juga: Beranilah untuk Berpisah

Ketiga, kekerasan yang berbungkus pandangan agama telah dikupas tuntas untuk melawan pendekatan tekstual. Meski ada ustaz mazhab “sejenis” yang mengutip ayat untuk membenarkan pandangan OSD, sayangnya pandangan itu hancur lebur oleh konsep lebih matang yang telah dibangun dalam tradisi pemikiran di lingkungan kiai, nyai, ustaz, dan ustazah yang telah khatam baca kitab dalam tradisi pesantren.

Mereka membaca dan paham konsep maqashid syariah atau tujuan-tujuan inti ajaran/ syariat Islam. Di antaranya, konsep hifdzun nafs (menjaga nyawa/ menjaga jiwa). Dalam konsep itu, kekerasan apa pun bentuknya adalah manifestasi pelanggaran salah satu dari lima maqashid syariah.

OSD sebaiknya belajar lagi tentang prinsip-prinsip hak asasi manusia, termasuk hak asasi perempuan dalam pemikiran Islam yang terus dikembangkan sejak masa Rasulullah, Imam Ghazali di abad ke-11 hingga saat ini (Oki sekali-kali ikut, deh Kajian Islam dan Gender asuhan Nyai Dr. Nur Rofiah, ngaji di lingkungan KUPI dengan Ibu Nyai Badriah Fayumi, ngaji Mubadalah yang diasuh Kiai Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, Kiai Dr (HC) Kiai Husein Muhammad, atau ngaji tafsir dari Prof. Nasaruddin Umar, Prof. Hamim Ilyas, dan banyak lagi).   

Keempat, dan ini tampaknya kurang tereksplorasi dalam diskusi. Bahwasanya, kekerasan adalah siklus. Jika hari itu OSD menceritakan suami perempuan itu memukul (OSD malah mencontohkannya menggampar sekuat tenaga), maka ketahuilah, kekerasan itu pasti telah berlangsung bertahun-tahun ke belakang.

Kekerasan fisik yang terjadi hari itu, menurut catatan lembaga-lembaga perlindungan perempuan korban KDRT di seluruh dunia, memberi isyarat bahwa kejadian kekerasan itu bukan baru pagi itu tetapi minimal telah berlangsung dua tahun ke belakang. Dari yang berbentuk hardikan, bentakan, merendahkan, ancaman, sumpah serapah, predikat sebutan sekebun binatang, sampai kekerasan fisik, memukul, menyundut dengan rokok, dilempar benda-benda yang ada di dekat pelaku, dan berakhir dengan kekerasan yang benar-benar merampas nyawa

Ini beda dari kekerasan non-gender, seperti kekerasan berbasis konflik Suku Agama Ras dan antar-Golongan (SARA) yang eskalasinya linier memuncak, dari adu mulut sampai benar-benar adu fisik.

Baca juga: Jenis Kekerasan dalam Rumah Tangga

Hal yang bahaya dari KDRT (mohon perhatian ya, Oki) adalah kejadian kekerasan itu berbentuk siklus melingkar, bukan linier. Siklus melingkar artinya satu kejadian kekerasan dalam rumah tangga biasanya diikuti dengan penyesalan pelaku, lalu suasana psikologisnya masuk ke masa permakluman dan pengampunan dari istri. Selanjutnya, masa “bulan madu”, diikuti masa jeda kekerasan dan jika ada pemicu lain, pelaku akan menghajar lebih keras lagi. Begitu seterusnya dengan intensitas yang makin kuat dan siklus waktu yang makin pendek. Lantaran KDRT membentuk siklus, itu sangat berbahaya dan menjadi biang pembunuh dalam rumah tangga.  

Kelima, ini juga kurang tereksplorasi dalam diskusi, yakni soal standar ganda dan stereotip kekerasan. Oki mengatakan, perempuan itu suka “lebay”. Suka mengadu dan melebih-lebihkan. Ini sebuah pernyataan yang menjadi stereo/ gaung suara yang bergema tapi menyesatkan.

Perempuan, seperti Oki ya, dikonstruksikan secara sosial (termasuk dari ceramah agama) agar  menjadi  “perempuan”. Itu artinya  perempuan dibentuk sesuai dengan  harapan sosialnya dalam bertingkah laku. Mereka harus lemah, sabar, pasrah, mengalah, tidak boleh lebih dari lelaki, dan seterusnya.

Baca juga: Nyaring dan Sunyi KDRT: Suramnya Budaya Kepemilikan dalam Keluarga

Harapan sosial itu tentu harus diekspresikan dalam tingkah laku: Ramah tidak judes, baik tidak galak, diam tidak bersuara, dan tak masalah jika emosional. Nah, jika asuhannya menghendaki begitu, tentu perempuan dikonstruksikan untuk menyampaikan segala sesuatu dengan ekspresi dan harapan sosial demikian.

Bicara hal yang rasional (anak sakit, harga susu mahal, suami selingkuh) tapi dengan ekspresi emosional, menangis misalnya. Namun, karena penilaiannya menggunakan standar ganda, sikap serupa itu dinilai “berlebih-lebihan”. Coba bandingkan kalau hal serupa terjadi kepada lelaki, ia menangis dalam mengekspresikan perasannya, tanggapannya bukan “berlebih-lebihan” tapi dianggap lelaki yang lembut, sensitif, perasa. Air matanya dinilai sebagai bentuk sikap sportifnya, sementara pada perempuan dianggap emosional karena mendahulukan rasa  daripada  otak.

Nah, enggak adil, kan? Mungkin baiknya iqra dulu ya, Dik Oki! 

Artikel ini pertama kali terbit di Rumah Kitab dan direpublikasi untuk tujuan pendidikan publik.

Aktivis perempuan dan Direktur Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB).