Sabtu lalu, seorang teman perempuan mengundang saya menghadiri sebuah pertunjukan teater monolog yang disponsori oleh perusahaan yang telah dirintisnya dari nol. Saya datang dengan sukacita, dengan kebahagiaan dan perasaan turut bangga karena menjadi saksi hidup bagaimana ia membangun perusahaan tersebut hingga pencapaiannya mampu melaksanakan program yang bersifat CSR, sebagai sebuah bentuk rasa tanggung jawab perusahaan terhadap lingkungan sosial melalui sebuah pertunjukan kesenian dan budaya.
Saya juga datang, tanpa melakukan riset apa pun tentang pertunjukan tersebut.
Di akhir pertunjukan, saya berdiri bersama teman saya dan seisi teater, memberikan standing ovation kepada perempuan pemeran utama yang telah bernarasi selama dua jam non-stop, dengan detail, intim dan menggugah mengenai sejarah kehidupan dan pengalaman seorang perempuan.
Saya yakin dibutuhkan energy dan kecerdasan yang luar biasa untuk bernarasi tanpa jeda dengan plot maju-mundur didepan ratusan penonton secara langsung dengan detil fakta yang mengagumkan. Setelah pertunjukan, saya lanjut berefleksi dan mencoba meredam perasaan marah yang muncul selama pertunjukan dan mencerna informasi sejarah yang tidak pernah saya tahu sebelumnya.
Pertunjukan tersebut berjudul "Inggit", berkisah mengenai seorang perempuan kelahiran Kamasan bernama Inggit Garnasih yang bercerai dari suaminya untuk menikah dengan Ir. Sukarno, presiden pertama NKRI, yang pada saat itu masih menjadi seorang mahasiswa baru di Bandung, tinggal di rumahnya sebagai "anak kos sementara" dan dipanggilnya, Kusno.
Sebelumnya, Kusno telah menceraikan istri pertamanya, Utari, dan mengaku bahwa pernikahan tersebut bersifat platonik, seperti adik-kakak saja. Menurut berbagai sumber yang saya telusuri, selama dua tahun pernikahan Kusno dan Utari, keduanya tidak pernah berhubungan seksual. Pernikahan Inggit Garnasih dan Kusno direstui suami pertama Inggit yang kemudian menjadi saksi pernikahan mereka.
Baca Juga: Hantu Orba yang Bangkit dalam ‘KKN di Desa Penari’
Sejak pernikahan tersebut, Inggit Garnasih bekerja serabutan dan berjualan berbagai hal untuk membiayai kuliah Kusno hingga selesai; membiayai berbagai macam kegiatan politik dan aktivisme Kusno yang berambisi melawan pemerintah Hindia-Belanda dan terus melakukan pergerakan untuk melawan Imperialisme dan Kolonialisme.
Beberapa kali Kusno dipenjara karena itu, Inggit Garnasih pun tetap setia datang menjenguk, mencari berbagai cara untuk menyelundupkan buku-buku berisi gagasan-gagasan perlawanan terhadap pemerintah kolonial ke dalam penjara, hingga menyogok sipir agar lebih lunak dan tidak menyiksa Kusno.
Inggit Garnasih terus bersama Kusno ketika ia dalam tahanan di Bandung, masa pembuangan di Ende, Flores, hingga masa pengasingan di Pulau Bangka. Keduanya mengangkat dua anak perempuan, dan sempat mengasuh Fatmawati di rumah mereka, yang kemudian menikahi Kusno sebagai istri ketiga, setelah dua puluh tahun pernikahan Kusno dengan Inggit, dan Kusno tiba-tiba menginginkan anak biologis, namun Inggit menolak untuk dipoligami dan bersikeras untuk bercerai.
Dalam pelajaran sejarah Sekolah Dasar yang saya terima tiga puluh tahun lalu, saya tidak pernah mengingat nama Inggit Garnasih sedikit pun disebut. Inggit Garnasih dianggap bukan pahlawan oleh Negara, bahkan hingga kini, setelah 38 tahun kematiannya di tahun 1984. Hanya ada nama Fatmawati, yang dikenang sebagai istri Ir. Soekarno; berjasa sebagai penjahit bendera kemerdekaan yang tertulis dalam pelajaran sejarah di sekolah-sekolah.
Nama Inggit Garnasih menjadi perempuan yang terlupakan dalam sejarah, seorang perempuan mandiri yang berjasa besar menjadikan Kusno menjadi sosok Ir. Soekarno yang dihormati, berhasil menjadi penggagas kemerdekaan Indonesia, menjadi proklamator, dan menjadi presiden pertama Republik Indonesia.
Tanpa Inggit Garnasih, mungkin nasib Kusno dan nasib bangsa ini akan berbeda.
Baca Juga: Kisah Dua Perempuan Sulap Sampah Plastik jadi Bahan Bangunan
Tentu bukan hanya Inggit Garnasih yang menjadi perempuan yang terlupakan dalam sejarah. Banyak tokoh-tokoh perempuan lainnya yang terlupakan hingga bahkan dihapuskan dari sejarah. Tidak usah jauh-jauh mengacu pada tokoh-tokoh yang memiliki prestige dan jasa tinggi bagi bangsa, namun di rumah, ibu atau nenek kita pun seringkali terlupakan dalam sejarah keluarga.
Dalam momen mudik beberapa saat lalu, saya dan suami memanfaatkan pelonggaran pemerintah yang mengizinkan mudik lebaran setelah dua tahun adanya PPKM. Ketika mudik tersebut, keluarga besar saya menginisiasi sebuah napak tilas ke desa tempat kakek dan nenek saya dibesarkan dan menginap di sebuah rumah ukir kayu yang dibangun sebagai monumen keluarga besar kami.
Mengunggah foto-foto mudik di media sosial, para tante maupun sepupu saya seringkali hanya menuliskan nama kakek sebagai nama keluarga kami. Nenek, yang telah melahirkan tujuh anak, dilupakan begitu saja. Seakan-akan, keluarga kami ada hanya karena eksistensi dan perjuangan kakek. Jumlah anggota keluarga yang meledak dan membesar atas hadirnya cucu dan cicit seakan terjadi hanya atas jasa kakek atau ayah mereka saja.
Menuliskan nama ayah atau kakek sebagai wakil nama keluarga besar tentu menjadi praktek yang jamak dan umum terjadi di Indonesia, atau mungkin, di seluruh dunia yang patrilineal ini. Kesadaran kecil tersebut membawa saya melakukan sebuah perubahan kecil yang saya harapkan melegakan hati saya, yaitu dengan juga menambahkan nama nenek, bersama nama kakek saya sebagai nama keluarga dalam grup whatsapp keluarga besar.
Saya ingin keluarga saya tidak melupakan nama nenek dalam sejarah keluarga kami. Setidaknya, dalam sejarah keluarga besar saya, nenek adalah perempuan yang disebutkan namanya, walaupun mungkin, sedikit dilupakan jasanya.
Hal tersebut juga saya lakukan ketika seorang sepupu suami mengajak saya membuat buku direktori keluarga besar mereka. Ayah suami saya tiga belas bersaudara yang dilahirkan hanya oleh satu ibu. Kini keturunannya, cucu hingga cicit, berjumlah sekitar 90 orang.
Baca Juga: Glorifikasi Sifat Maskulin: Bumerang Penanganan Kekerasan Seksual pada Laki-laki
Judul buku direktori tersebut awalnya hanya memuat nama kakek suami saya, tapi saya bersikeras bahwa ini adalah direktori keluarga yang harus menggunakan nama nenek dan kakek bersamaan. Walaupun pencapaian kakek mereka di sektor publik sangat membanggakan, tapi sejarah mengenai jasa nenek yang melahirkan 13 anak setiap satu-dua tahun sekali selama dua puluh tahun akan terlupakan cucu hingga cicitnya, jika nama itu terhapus dari judul direktori keluarga kami.
Ketua program studi Kajian Gender tempat saya mencapai titel magister juga melakukan hal yang sama, namun dengan cara yang berbeda. Ia bahkan melewati proses persidangan negara untuk menambahkan nama tengahnya agar bersanding bersama nama suaminya, yang disambung dengan tanda "-" sebagai nama keluarga anak sulungnya dan mengesahkannya secara legal.
Praktik menyandingkan dua nama keluarga dari ayah dan ibu sekaligus yang disambung dengan tanda "-" (strip) sebagai nama keluarga anak keturunan mungkin bukan hal yang umum terjadi di Indonesia, namun saya tahu praktek ini umum dilakukan di negara lain, seperti Amerika Serikat.
Namun, nama keluarga modifikasi tersebut adalah sambungan nama "ayah dari ibu" dan "ayah dari ayah", yang tetap saja menghapus nama perempuan; tetap berbeda dengan yang dilakukan kaprodi Kajian Gender yang saya ceritakan tadi, yang berusaha agar namanya tidak terlupakan dalam sejarah keluarga.
Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.
Comments