Hari Kamis, jam 5 lewat 15 menit.
Duduk di bangku pendek kecil dalam kamar dengan kapasitas 10 orang, gue cuma berduaan sama Oma-oma umur 70-an yang masih ingin disebut Bunda. Kalau melihat Oma, eh.. Bunda, gue jadi rindu berat sama nyokap.
Nyokap gue tuh unik. Dia enggak seperti emak-emak pada umumnya yang romantis dan keibuan. Bagaimana bisa dibilang romantis, beliau cium pipi gue aja pakai pipi lagi, kayak ibu-ibu arisan. Sekalinya cium pipi pakai bibir itu pas pernikahan gue. Itu pun terpaksa biar keren saat di foto. Selain enggak romantis, nyokap gue tuh tegas banget, kayak alis-alis perempuan zaman now: kereng! Beliau ini enggak bisa diajak kompromi. Kalau sudah berkata A, ya A.
Baca juga: Surat dari Penjara: Pura-pura Bahagia Saat Terpaksa Jadi Janda
Waktu SMP, karena mau datang ke acara ulang tahun teman yang spektakuler, dari seminggu sebelum acara, gue sudah beli baju sesuai dress code. Tiba-tiba pada hari H, emak gue yang tegas kaya tato alis itu mencabut izin pergi. Alasannya, gue telat pulang sekolah karena mampir dulu ke salon. Tidak peduli gue menangis meraung-raung di lantai sampai lantainya dekok, emak gue malah asyik baca berita tentang Sumanto yang lagi hit pada waktu itu.
Itulah nyokap gue. Tapi di balik itu semua, dia adalah perempuan yang sangat gue kagumi. Umurnya sekarang 68 tahun, janda, pekerja keras, kuat, dan juga salihah. Dia memang bukan seorang kapiten yang kalau berjalan prok prok prok, atau seorang pelaut yang gemar mengarungi luas samudera dan menerjang ombak tiada takut. Tapi dia cukup kuat untuk disetarakan dengan kapiten dan pelaut paling garang sekalipun.
Baca juga: Surat dari Penjara: Rindu Aku Padamu, Privasi
Dengan segala cobaan pahit yang harus dihadapi, seperti ditinggal suami, anak dituduh yang enggak-enggak, anak dipenjara, dan anak dicerai, dia bertahan. Dia juga mampu merawat cucu-cucunya seorang diri karena ibu anak-anak itu sedang mempertanggungjawabkan perbuatannya, sementara si bapak anak-anak itu entah ada di mana. Mungkin tertelan ikan hiu di Samudera Antartika. Dia enggak pernah mengeluh sama sekali. Katanya dia cukup bahagia dengan cucu-cucunya. Padahal anak-anak gue itu sangat pecicilan.
Enggak cukup sih kalau harus diungkapkan dengan kata-kata buat menceritakan sekuat apa nyokap gue. Semoga suatu saat ketika gue bebas, gue masih sempat buat sekedar bilang terima kasih dan masih dikasih kesempatan untuk membahagiakan dia. Ibuku, Si Tato Alis yang Kereng Itu.
Artikel ini merupakan hasil dari #Surat (Suara dari Balik Sekat), inisiatif kolektif dari Jurnal Perempuan, Konde.co, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), dan Magdalene.co untuk memberi pelatihan menulis dasar dan menyediakan sarana menulis bagi narapidana perempuan. #Surat yang ditampilkan telah mendapatkan persetujuan dari penulis.
Comments