Kehadiran juru bahasa isyarat dan teks bantuan untuk mengakses informasi adalah hal esensial bagi komunitas tuli agar mereka dapat berpartisipasi di ruang publik dalam keseharian. Namun, survei terbaru kami bersama Pusat Studi Layanan Disabilitas (PSLD) Universitas Brawijaya dan Australia-Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN)—yang saat ini masih dalam tahap penerbitan—menemukan bahwa hal tersebut belum tersedia pada banyak layanan publik di Indonesia.
Di sektor pendidikan misalnya, 64 persen mahasiswa penyandang disabilitas menyatakan guru mereka tidak menyertakan subtitle dalam materi belajar yang diberikan. Hal ini diperburuk kondisi pandemi, ketika semua pembelajaran berlangsung online dan tidak ada fasilitas yang disediakan baik dari pemerintah maupun sekolah untuk membantu pelajar tuli.
Keputusan Google untuk menutup fitur yang memungkinkan orang untuk menggugah teks terjemahan pada video yang diunggah (subtitle) adalah pukulan tersendiri bagi komunitas tuli. Situasi kian memprihatinkan bagi mereka ketika layanan umum lainnya mulai dari rumah sakit, kantor pemerintah, hingga informasi umum yang disampaikan via internet dan televisi, juga tidak menyertakan penerjemah bahasa isyarat atau bantuan teks lainnya.
Jarak aksesibilitas media pada komunitas tuli
Di Indonesia sendiri, Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) tahun 2015 menyebutkan bahwa 3,34 persen atau sekitar 8,9 juta penduduk di atas 10 tahun mengalami kesulitan mendengar. Jumlah ini belum termasuk usia di bawah 10 tahun dengan prevalensi ketulian 0,09 persen, atau hampir 1 bayi dari setiap 1.000 kelahiran. Tingkat kesulitan mendengar tersebut tentu beragam, dari ringan hingga tidak dapat mendengar sama sekali.
Baca juga: UU Penyandang Disabilitas Sudah Ada, Tapi Pejabat Pemerintah Sendiri Belum Paham
Terbatasnya aksesibilitas komunitas tuli terhadap layanan umum karena tidak adanya fasilitas ramah penyandang tuli sudah menjadi masalah klasik. Layanan publik berupa pengumuman dalam bentuk suara—seperti di rumah sakit, kantor pemerintahan, dan layanan publik lainnya—tidak disertai teks pendamping misalnya melalui papan pengumuman digital, nomor antrean digital, atau digital signage. Keterbatasan akses memperoleh informasi berdampak secara beruntun terhadap pengetahuan, keterlibatan dalam masyarakat, hingga kesejahteraan tuli.
Hanya ada beberapa lembaga negara seperti Kementerian Sekretariat Negara yang menggunakan subtitle di saluran YouTube mereka - itu pun hanya pada beberapa video. Mayoritas siaran di televisi dan video berita di media sosial juga tidak disertai teks subtitle atau penerjemah bahasa isyarat.
Pandemi memperburuk nasib komunitas tuli
Pada masa pandemi, masalah ini bertambah parah. Komunitas tuli telah berupaya mengkritik penyampaian informasi terkait virus yang tidak memperhatikan kebutuhan individu tuli. Banyak nomor panggilan (hotline) untuk berbagai layanan penting seperti hotline satuan tugas (Satgas) Covid-19 juga tidak menyediakan alternatif lain seperti menghubungi via pesan teks atau panggilan video.
Di sektor pendidikan, dalam survei kami, 68 persen guru siswa penyandang disabilitas tidak menyediakan subtitle pada video mereka. Sebanyak 64 persen mahasiswa penyandang disabilitas juga menyatakan konten video bahan belajar mereka tidak disertai teks bantuan atau penerjemah isyarat.
Hambatan komunitas tuli di sektor pendidikan sangat kompleks—mulai dari pemisahan sejak usia sekolah melalui sekolah luar biasa (SLB), tidak tersedianya fasilitas yang memadai, penyesuaian aktivitas belajar-mengajar, kekerasan seksual, hingga penggunaan sistem bahasa isyarat dari pemerintah yang tidak sesuai dengan kebiasaan sehari-hari mereka.
Ada beberapa alasan mengapa penyediaan akses untuk komunitas tuli sangat terbatas. Pertama, ada pengabaian dari masyarakat dan negara terhadap keragaman cara berkomunikasi akibat stigma dan anggapan bahwa komunitas tuli tidak membutuhkan informasi. Pada akhirnya, banyak orang menjadi tidak tahu mengenai berbagai undang-undang, aturan, dan cara menyediakan informasi yang mudah diakses.
Kedua, masyarakat menganggap penyediaan juru bahasa isyarat dan pemasangan subtitle video memakan banyak tenaga dan biaya. Hal inilah yang membuat fasilitas kontribusi komunitas yang sebelumnya ada di YouTube sangat membantu bagi komunitas tuli.
Baca juga: Gender dan Disabilitas: Dua Sisi Mata Uang yang Sama
Apa yang bisa dilakukan?
Permasalahan aksesibilitas media digital dan aktivitas pembelajaran untuk komunitas tuli sebenarnya sudah direspons oleh pemerintah melalui berbagai produk hukum seperti Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Namun dalam praktiknya, berbagai peraturan yang ada belum diterapkan sepenuhnya oleh seluruh penyelenggara layanan di Indonesia.
Hal ini diperparah minimnya keterlibatan penyandang disabilitas di sektor publik maupun pada posisi pengambilan kebijakan karena anggapan bahwa mereka tidak sepenuhnya ‘sehat jasmani dan rohani’.
Untuk menjamin pemenuhan hak-hak penyandang tuli, pemerintah harus memantau dan mengevaluasi kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat hingga pemerintah daerah, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 27 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Pemerintah melalui kementerian, perguruan tinggi, pemerintah kota/kabupaten, dan dinas terkait perlu melakukan sosialisasi yang lebih efektif dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap hak-hak penyandang disabilitas.
Artinya, pemerintah perlu lebih tegas dalam mengatur aksesibilitas konten yang disiarkan secara publik - termasuk seperti stasiun televisi dan pengelola saluran informasi lainnya.
Pemasangan subtitle dan penyediaan juru bahasa isyarat adalah langkah minimum yang perlu diambil. Misalnya, pemerintah bisa menggandeng kelompok seperti Komunitas Typist Bergerak untuk menjalankan ini. Selain membantu komunitas tuli, hal ini juga bisa membuka peluang kerja baru.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments