Women Lead Pendidikan Seks
January 04, 2022

‘Peep Show’ ala Times Square: Berkah Muncikari, Musibah Perempuan

Sebelum mengalami gentrifikasi, Times Square New York bukan pusat kota yang ramah hiburan, tapi justru lekat dengan citra pornografi.

by Aurelia Gracia, Reporter
Lifestyle
Share:

Ketika mendengar “Times Square”, biasanya yang pertama kali muncul dalam pikiran adalah kepadatan pengunjung, billboard yang mengiklankan berbagai brand maupun rilisan film dan album musik terkini, Disney Store, pertunjukan musikal Broadway, atau lokasi New Year’s Eve ball drop.

Tak ada yang salah dengan citra destinasi turis The Big Apple tersebut. Namun, wajah ini bisa terbentuk setelah gentrifikasi (perubahan besar-besaran. Red) dan rebranding sejak 1990-an, agar pariwisata jadi pusat ekonomi.

Jika mengunjungi sudut kota yang merepresentasikan New York itu pada lima dekade lalu, pelancong akan mendapatkan atmosfer keramaian yang berbeda. Kotor, kelam, dan mencekam, terdengar seperti tiga kata yang tepat untuk menggambarkan area West 42nd Street, yang dipadati industri pornografi dan prostitusi. Bahkan, Rolling Stones menjuluki daerah tersebut sebagai “sleaziest block in America” pada 1981.

Tak hanya teater porno, toko buku dewasa, dan go-go bars, aktivitas yang tersohor dalam industri tersebut adalah peep show dewasa, yakni pertunjukan seks atau film porno yang disaksikan melalui sebuah lubang.

Mulanya, kotak peep show digunakan oleh pemain sandiwara sejak abad ke-17 dan 18 di Eropa, sebagai hiburan populer anak-anak. Merujuk Britannica, pelanggan dapat melihat pemandangan yang dilukis pada kaca berwarna transparan, dan diterangi berbagai efek seperti cahaya matahari dan bulan.

Awal 1900-an menjadi permulaan industri ini berkembang melalui What the Butler Saw, sebuah film erotis, disaksikan melalui mutoscope dengan memasukkan koin terlebih dahulu agar film dapat diputar. Lama-kelamaan, alat tersebut menjadi salah satu medium utama mengakses pornografi, baik film sebelum home video dikenal masyarakat, maupun pertunjukan seks secara langsung.

Untuk mengoperasikannya, pelanggan dapat memasukkan token ke dalam mesin, sebelum sekat pada lubang itu terbuka. Kemudian, mereka dapat memilih, memanggil, menyentuh, hingga meminta melakukan tindakan seks. Seperti di sejumlah lokasi peep show yang dimiliki Martin Hodas di Times Square, pelanggan dapat meminta performer memberikan seks oral ataupun handjob.

Baca Juga: Prostitusi Bukanlah Pilihan

Penghasilannya pun tampak “menjanjikan”. Di Playpen, salah satu tempat penyelenggara peep show, perempuan menunggu giliran mereka di pintu masuk. Sebagai tarif permulaan, pelanggan membayar 10 dolar AS. Tarif tersebut tidak termasuk tip apabila mereka menginginkan penampilan tambahan, seperti striptease dan masturbasi, yang dikenakan biaya 20 dan 30 dolar AS.

Kepada The New York Times, Anastasia, seorang penampil di peep show milik Playpen, mengungkapkan penghasilannya pada dua dekade lalu. Ia mengaku, di hari-hari yang baik ia mendapatkan keuntungan 600 dolar AS, setara Rp8,5 juta, sedangkan di hari lainnya ia meraup 200 dolar AS atau Rp2,8 juta. Para kliennya pun berasal dari berbagai latar belakang, misalnya dokter, guru, hingga selebritas, tak heran jika para muncikari meraup profit besar melalui bisnisnya.

Namun, pertunjukan ini bukan hanya “kebanggaan” New York. Sejumlah negara bagian lain seperti Nevada, California, dan Washington, bahkan kota-kota besar seperti Amsterdam, Berlin, Tokyo, London, juga menampilkan peep show. Sementara, di Barcelona, penampil perempuan dan laki-laki juga melakukan hubungan seksual.

Meskipun demikian, pada masanya, peep show merupakan salah satu “mata pencaharian” yang membahayakan nyawa perempuan, seperti Deedeh Godarzi, salah satu korban “Torso Killer” Richard Cottingham.

Perkembangan Bisnis Industri Peep Show

Sebagai miliuner yang dijuluki “King of the Peeps”, Hodas menjalani kehidupan mewah dengan menyulap Times Square menjadi industri porno, lewat 85 persen mesin peep show miliknya, yang tersebar di kawasan itu.

Kepada Page Six, Romola Hodas, anak dari King of the Peeps, mengatakan ayahnya bisa menghasilkan 20 ribu dolar AS dalam seminggu, setara Rp285 juta. Pundi-pundi itu diperoleh dengan mengekspansi bisnisnya ke panti pijat,  topless bar, dan live model photography, juga memproduksi penampilan peep show-nya sendiri.

Baca Juga: Politisasi Pekerja Seks Bukti Politisi Hanya Cari Jalan Pintas

Tanpa segan, Hodas bersedia diwawancara pers dan menyukai perhatian publik, hingga menyita perhatian Federal Reserve System, sistem bank sentral di AS. Mengutip Untapped New York, di puncak kejayaannya, muncikari tersebut dibekuk karena menghindari pembayaran pajak, setelah tidak melaporkan tempat tinggalnya. Soal ini, BBC menyitir llaporan Presiden AS pada 1986 yang menyatakan, pornografi meraup pendapatan signifikan yang tidak dikenakan pajak. 

Usai masa tahanannya berakhir dalam setahun, ia merasa muak dengan bisnis yang dirintisnya, sehingga memilih pensiun dan menjual kepemilikannya.

Setelah sang raja mundur dari “kekuasaannya”, Richard Basciano meneruskan “takhta kerajaan” industri pornografi. Pada pertengahan 1970-an, ia memiliki 150 toko seks di Times Square, yaitu Show World Center, sebuah pusat perbelanjaan seks terbesar. Oleh William H. Daly, direktur Mayor’s Office of Midtown Enforcement, bisnis milik Basciano diibaratkan seperti “McDonald’s”-nya industri seks.

Berbeda dengan Hodas, Basciano cenderung bungkam di depan pers, berorientasikan uang bukan seks, dan lebih sering berdiam di penthouse mewahnya sehingga jarang tertangkap kamera.

Bisnis ini mulai padam, ketika Mantan Wali Kota New York, Ed Koch, meluncurkan kampanye untuk mempromosikan bisnis yang lebih ramah terhadap masyarakat dan turis. “Membersihkan Times Square merupakan komponen penting untuk mengubah citra kota ini setelah pulih dari krisis keuangan,” ujar Koch melansir NY Curbed.

Ia menambahkan, secara hukum, kota dan negara bagian bersedia melakukan apa pun untuk memastikan wilayah barat tidak lagi disorot sebagai pemandangan yang merusak elit bisnis.

Namun, saat Rudy Giuliani memenangkan pemilihan dan menggantikan posisi Koch, ia langsung melarang keras bisnis dalam industri ini, dan mengeluarkan undang-undang zonasi baru. Mereka melarang bisnis terkait seks beroperasi dalam jarak 500 kaki—atau 150 meter, dari rumah ibadah, sekolah, dan satu dengan lainnya.

Alhasil undang-undang itu membentuk peraturan 60/40, untuk melarang pendirian industri seks lebih dari 40 persen di area pemukiman. Karena itu, Basciano mengubah 60 persen ritel di Show World Center, dengan produk berupa kaos “I Love NY” hingga kaset kungfu.

Baca Juga: Nasi Goreng Viral dan Cerita Lama Objektifikasi Tubuh Perempuan

Kepada CNN  President of Times Square Alliance, Tim Tompkins menyampaikan, saat itu kriminalitas di New York City menjadi sebuah permasalahan besar, membuat masyarakat menjauh dari pusat hiburan dan menutupi kekayaan kota tersebut. Karenanya, Times Square merupakan simbol pemerintah memiliki kapasitas untuk membuat kota tersebut aman. 

Kini area bekas kekuasaan Hodas dan Basciano berganti menjadi perhotelan, gedung perkantoran, dan gerai restoran.

Gerakan “Women Against Pornography”

Pesatnya perkembangan industri pornografi dan prostitusi membuat kelompok feminis radikal asal New York, membentuk gerakan Women Against Pornography (WAP). Mereka memiliki kekuatan dalam memengaruhi gerakan anti pornografi pada akhir 1970, hingga 1980-an.

Salah satu cara yang dilakukan gerakan ini dalam melakukan aksi protesnya, adalah menggelar tur ke toko-toko seks dan teater porno di Times Square. Tujuannya, mengedukasi orang-orang yang tidak mengonsumsi pornografi, tentang konten atau suasana di tempat tersebut.

Kemudian, pada Oktober 1979, mereka melakukan pawai di Times Square yang melibatkan lima ribu pendukung, bentuk pertentangan terhadap industri pornografi lantaran mengeksploitasi perempuan dan tubuhnya, serta mendorong kekerasan terhadap perempuan. Pawai tersebut bukan hanya terdiri dari feminis dan aktivis komunitas, melainkan mahasiswa dari Connecticut, Massachusetts dan Rhode Island, rombongan serikat pekerja, kelompok teater, hingga asosiasi masyarakat di area sekitar.

Lewat pawai yang melibatkan lima ribu pendukung itu, WAP menuntut agar New York menjadi kota yang lebih aman. Pada akhirnya, gerakan ini berhasil mendatangkan dukungan finansial dari kantor wali kota, pemilik teater, maupun pihak yang berkepentingan dalam gentrifikasi di Times Square.

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.