Sebagai “putri sulung reformasi”, Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berperan krusial dalam melawan dan menghapus kekerasan terhadap perempuan, yang angkanya cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Data yang dirilis pemerintah, dibantu oleh United Nations Population Fund (UNFPA), pada Maret 2017 menunjukkan bahwa sepertiga populasi perempuan Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual dan fisik.
Aktivis hak asasi manusia Usman Hamid dalam artikelnya yang dimuat Magdalene mengatakan, Komnas Perempuan perlu diperkuat untuk mendobrak dominannya cara pandang dan praktik yang cenderung patriarkal dan merendahkan harkat dan martabat perempuan.
Komnas Perempuan resminya adalah badan lembaga negara independen Indonesia, tulis Usman, namun masih kerap dianggap sebagai organisasi non pemerintah.
"Sebenarnya itu tidak keliru. Tetapi karakter ini cenderung membuat Komnas Perempuan terpinggirkan dari proses pembuatan kebijakan publik," tulis Usman, yang juga merupakan Direktur Amnesty International Indonesia.
Usman kini merupakan ketua panitia seleksi calon anggota Komnas periode 2020-2024, memimpin tim panitia seleksi yang terdiri dari akademisi Mamik Sri Supatmi, jurnalis Ahmad Junaidi, Miryam S.V. Nainggolan dari Yayasan Pulih yang mendampingi perempuan korban kekerasan, serta aktivis perempuan dan juga mantan ketua Komnas Perempuan Kamala Chandrakirana.
Pendaftaran calon anggota Komnas telah resmi dibuka pendaftarannya pada 25 Mei 2019 dan akan ditutup pada 31 Juli 2019. Bagi para individu yang berminat dapat mendaftar ke email: [email protected].
Panitia seleksi mengajak warga negara yang aktif terlibat dalam perjuangan HAM untuk mendaftarkan diri. Mereka memastikan pemilihan calon anggota yang lebih inklusif dan juga proses yang lebih transparan.
“Komposisi anggota paripurna Komnas Perempuan diharapkan ideal dalam mewakili kepentingan-kepentingan perempuan dari berbagai kelompok, termasuk kelompok rentan seperti kelompok rawan konflik, kelompok disabilitas dan lainnya,” ujar Miryam dalam konferensi pers mengenai pembukaan pendaftaran calon anggota Komnas Perempuan pekan lalu.
Usman mengatakan bahwa para calon anggota disyaratkan telah terlibat memperjuangkan HAM perempuan sekurang-kurangnya selama sepuluh tahun. Pendaftar juga tidak memiliki rekam jejak sebagai pelaku kekerasan, poligami, korupsi, atau perusakan lingkungan. Pengurus atau anggota partai politik tidak diperbolehkan untuk mendaftarkan diri kecuali siap untuk melepas jabatannya.
Usman mengatakan ada perubahan dalam persyaratan pendaftar agar proses penyeleksian lebih inklusif.
“Dulu usia minimal 35 tahun dan maksimal 65 tahun. Tetapi kami memandang perkembangan HAM mutakhir dan kami menyadari bahwa usia tidak lagi boleh membatasi seseorang untuk berpartisipasi,” ujarnya dalam konferensi pers.
“Selain itu, kami juga hapuskan kewajiban syarat pendidikan formal. Dulu syaratnya adalah pendaftar minimal lulusan SMA. Pertimbangan terakhir kita adalah banyaknya perjuangan HAM atau penghapusan kekerasan pada perempuan di berbagai wilayah yang ditempuh dengan cara kultural yang tidak mengandalkan pendekatan legal atau formal,” tambah Usman.
Pemilihan calon anggota yang teliti dibutuhkan agar membentuk Komnas Perempuan yang mampu menghadapi tantangan-tantangan ini untuk masa depan perempuan-perempuan Indonesia.
Mamik Sri Supatmi, sekretaris pansel dan dosen kriminologi di Universitas Indonesia, mengakui bahwa proses penyeleksian mungkin belum ideal dan kewenangan pansel dapat diperkuat lagi, tetapi Komnas Perempuan telah melakukan berbagai upaya agar penyeleksian kali ini lebih transparan.
“Benar penetapannya ada di sidang paripurna Komnas, tetapi tidak berarti paripurna bisa dengan semena-mena memveto keputusan pansel. Mereka hanya berhak untuk memberikan tanggapan terhadap 15 calon anggota yang diusulkan oleh Pansel,” ujar Mamik.
Usman menjelaskan bahwa mekanisme penyeleksian adalah berdasarkan urutan 15 pendaftar terbaik yang diusulkan oleh Pansel.
“Seandainya terdapat peserta sidang anggota komisi paripurna yang keberatan terhadap satu atau lebih dari 15 calon yang diusulkan, maka peserta wajib memberikan alasan yang jelas dengan merujuk ke syarat dan kriteria calon anggota,” ujarnya.
“Proses ini kemudian dilanjutkan dengan pemungutan suara atas keberatan tersebut Apabila keberatan tersebut diterima, maka peringkat tertinggi setelah urutan ke-15 yang menggantikan calon tersebut. Jika keberatan tersebut melebihi dari 30 persen dari 15 calon peringkat tertinggi yang ditentukan oleh Pansel, maka seluruh proses seleksi harus diulang,” tambah Usman.
Ia mengatakan bahwa proses penyeleksian juga termasuk proses uji publik di mana masyarakat dapat mengajukan pertanyaan kepada calon anggota untuk menggali lebih dalam tentang pandangannya atau mempertanyakan konsistensi calon dengan rekam jejaknya.
“Pemilihan calon anggota yang teliti dibutuhkan agar membentuk Komnas Perempuan yang mampu menghadapi tantangan-tantangan ini untuk masa depan perempuan-perempuan Indonesia,” ujar Usman.
Baca bagaimana Kemenrisdikti menyangkal adanya diskriminasi terhadap mahasiswa LGBT di kampus-kampus Indonesia.
Comments