Penelitian dari Pamflet Generasi, organisasi orang muda yang bergerak di bidang sosial, menemukan, minimnya akses penyandang disabilitas muda terhadap pendidikan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR). Penelitian tersebut dilakukan dengan diskusi kelompok terarah (Focus Group Discussion) dengan 31 orang muda berusia 19-24 tahun, tiga di antaranya penyandang disabilitas, di Medan, Bandung, dan Surabaya.
Coory Yohana, koordinator Youth Studies dari Pamflet Generasi mengatakan, intervensi untuk pendidikan HKSR masih sulit di Sekolah Luar Biasa (SLB) karena kebutuhan ragam disabilitas yang berbeda-beda. Berkaca dari pengalaman peserta FGD tersebut, lembaga pendidikan formal sempat memberikan pembelajaran dasar tentang HKSR yang kemudian dihentikan oleh pihak sekolah itu sendiri.
“Dari pengalaman peserta, pihak sekolah menyesuaikan untuk teman Netra dan teman Tuli, tetapi karena ada effort lebih sekolah menghentikan sama sekali (pendidikan HKSR). Ini menjadi tantangan di jalur sekolah,” ujar Coory dalam ‘Diseminasi dan Publikasi Riset Anak Muda Menyuarakan HKSR’, (13/12).
Dalam laporannya yang berjudul Mau Tahu Tapi Tabu: Tantangan dan Kebutuhan Orang Muda dalam Menyuarakan HKSR masalah lain yang dialami berupa tidak adanya akses atau penggunaan bahasa isyarat, closed caption pada video, materi dalam bentuk braille, hingga alat pembaca layar atau screen reader. Selain itu, ada stigma anak dan orang muda disabilitas tidak memiliki kemampuan pencernaan informasi dan pengetahuan, seperti orang muda non-disabilitas, ujar Coory.
Baca juga: Bagaimana Cara Tepat Ajarkan Pendidikan Seks pada Anak? Ini Pendapat Akademisi
Berkaitan dengan hal itu, seorang peserta, ARS (19) dari Binjai, mengatakan dalam laporan, “Jadi dari pengalaman saya, ada orang-orang yang merasa saya tidak memiliki hak dan saya sering mendapat diskriminasi karena ketulianku, saya dianggap enggak paham. Padahal (ini) karena mereka saja yang enggak bisa ngasih akses bahasa isyarat.”
Selain itu, AAY dari Surabaya juga mengatakan, “Setelah kelas 2 SMP, pelajaran seperti ini diadakan dengan alasan teman-teman difabel yang multi interpretasi sehingga memiliki kecenderungan untuk multitafsir dan akhirnya pendidikan seks ditiadakan dan menjadi tabu untuk teman-teman difabel.”
Weni Muniarti, Kepala Seksi Kesehatan Usia Sekolah dan Remaja di Luar Sekolah Direktorat Kesehatan Keluarga, Kementerian Kesehatan mengatakan, selalu diupayakan pemberdayaan agar anak dan remaja dapat menerima pendidikan HKSR secara komprehensif. Meski demikian, Kemenkes menemukan kesulitan dalam memberikan pendidikan HKSR komprehensif untuk teman Tuli dan masih mengupayakan aksesibilitasnya.
“Sudah ada pendidikan dan pelatihan untuk SLB tapi masih terbatas untuk teman Tuli. Ini tetap menjadi PR. Untuk usia dewasa sudah ada panduan terkait layanan reproduksi dan (masih) memastikan pendidikan reproduksi usia sekolah dan remaja disabilitas (bisa diakses),” ujarnya.
Baca juga: Meski Belum Aktif Seksual, Remaja Bilang Butuh Pendidikan Seks
Tabu Menambah Hambatan Berlapis
Laporan tersebut juga menyampaikan kesulitan yang berlapis itu ditambah dengan masyarakat yang masih tabu membicarakan isu HKSR. Pandangan negatif tersebut menjadi tantangan besar bagi orang muda yang memiliki keingintahuan tinggi.
“Orang muda ingin tahu tentang pendidikan HKSR, tapi ada penilaian bahwa (pendidikan seksual) tabu. Jadi perlu menguatkan orang muda supaya bisa berdaya dan menikmati hak inheren mereka sejak lahir terkait informasi HKSR,” ujar Astried Permata, General Coordinator Pamflet Generasi.
“Kesehatan reproduksi masih dianggap isu terlarang dan tidak boleh mengetahui apa yang terjadi di tubuh kita yang mengalami perubahan signifikan. (Mengetahui) pubertas dan perubahan tubuh dianggap menyalahi norma khususnya perempuan,” tambahnya.
Sementara Coory mencontohkan, di kalangan kampus ada larangan membahas isu HKSR karena dianggap akan memengaruhi citra universitas. Terlebih kampus cenderung tidak berpihak dengan keragaman ekspresi seksual dan gender. Hambatan itu juga diiringi dengan tanggapan sarat ageism, merendahkan karena usia, bahwa orang muda tidak tahu apa-apa dan hanya boleh membicarakan isu HKSR setelah menikah.
Hambatan tersebut berbanding terbalik dengan kepentingan pendidikan HKSR yang dimulai sejak dini. Weni berujar, isu HKSR harus dimulai sejak usia 10 tahun karena perkembangan otak anak yang pesat di usia tersebut serta harus dilakukan secara bertahap sesuai umur anak.
Pendidikan HKSR menjadi krusial, tambahnya, karena tidak seputar organ reproduksi saja, tetapi juga asupan gizi, isu anemia yang berkelindan dengan aspek seperti melahirkan, dan ada juga isu kehamilan usia anak dengan angka kematian ibu dan stunting yang tinggi.
“Di Puskesmas juga ada pendekatan dengan orang muda, jadi petugas tidak menunggu remaja datang untuk pelayanan. Ada sekitar 6.300 puskesmas yang melabel ramah remaja, meski tidak sempurna secara paripurna,” ujarnya.
Baca juga: Yang Ideal dari Pendidikan Seks Komprehensif Remaja
Selain itu, cara lain untuk mengatasi hambatan itu, Coory menuturkan, “Untuk mendorong anak muda membicarakan HKSR, masyarakat luas butuh memandang mereka sebagai mitra setara yang mampu menyuarakan tanggapan mereka. Selain itu, untuk menyuarakan pendapat orang muda menyatakan butuh legitimasi lewat organisasi yang memberikan kredibilitas,”
Selain itu, ia melanjutkan, orang muda juga menilai influencer berpengaruh dalam menyuarakan isu kesehatan reproduksi dan seksualitas. Meski demikian, aspek digital dan influencer juga belum ramah secara aksesibilitas untuk teman penyandang disabilitas. Berkaitan dengan hal itu, laporan juga menyarankan agar lembaga dan pegiat pendidikan seksualitas harus memastikan inklusivitas dan aksesibilitas dalam kegiatan HKSR.
“Jadi, catatan penting dalam pelibatan orang muda dengan disabilitas, apabila menggunakan platform digital dan kehadiran influencer harus diperhatikan aksesibilitas dan menjamin apakah yang disampaikan bisa sampai kepada mereka sesuai dengan kebutuhan masing-masing, seperti screen reader atau caption,” tandasnya.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments