Peringatan Pemicu
Ani Ema Susanti, seorang produser film dokumenter, gemetar saat ia bercerita tentang pelecehan seksual yang dialaminya saat SMP, di sebuah asrama pesantren di Jombang, Jawa Timur. Suatu malam Ani terbangun karena merasa ada yang janggal, dan ia melihat roknya sudah menyingkap dan gurunya sedang berdiri di dekat pintu.
“Kejadian ini terus terjadi sampai pada suatu malam, setelah salat tahajud berjamaah, santri lain disuruh kembali ke kamar, sementara saya diminta untuk tetap di ruangan. Guru yang sama kemudian mendekat dan memegang tangan saya sambil berkata, ‘Kamu akan menjadi istri keduaku’,” ujar Ani, 36, dalam diskusi mengenai pendidikan seks pada anak akhir bulan April di Jakarta.
Selama beberapa hari, Ani menyimpan cerita itu sendiri, sebelum kemudian dia melaporkannya pada ibunya. Sang ibu tidak melaporkan pada sekolah namun sempat membahasnya dengan para tetangga, katanya.
“Dari pembicaraan itu terungkap bahwa banyak kasus pelecehan seksual terjadi pada anak-anak mereka di sekolah,” ujar Ani, dalam Dolpin Festival 2019 yang diadakan oleh Tulodo, sebuah perusahaan konsultan proyek yang berfokus pada perubahan perilaku sosial.
Data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2016 menunjukkan bahwa satu dari lima perempuan di dunia melaporkan pernah mengalami kekerasan seksual saat masih usia anak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) juga melaporkan ada 116 kasus kekerasan seksual pada anak terjadi pada 2017.
“Salah satu faktor di balik maraknya kasus kekerasan seksual pada anak adalah kurangnya pendidikan seksual. Hal ini karena pendidikan seks masih dianggap tabu,” ujar Putu Monica Christy selaku Co-Founder Dolpin dan Program Manager Tulodo Indonesia.
“Lewat pendidikan seks, anak-anak dapat mengerti bagian-bagian tubuh yang tidak seharusnya disentuh atau dilihat, sehingga dapat mencegah kemungkinan terjadinya kekerasan seksual pada anak,” tambahnya.
Menurut Puput Susanto, Program Officer untuk Kesehatan Reproduksi Remaja dan Pendidikan Seksualitas Komprehensif di Rutgers WPF Indonesia, pendidikan seks untuk anak efektif karena pada masa ini mereka sangat diliputi rasa ingin tahu.
“Di umur ini, biasanya anak sudah mulai bertanya mengapa mereka beda dari saudara perempuannya. Tugas orang tua adalah untuk menjelaskannya dengan jujur, bukan dengan kiasan,” ujarnya dalam diskusi.
“Jelaskanlah bahwa yang mereka punya adalah penis atau vagina, jangan membingungkan mereka dengan kiasan seperti ‘burung’,” lanjutnya.
Puput mengingatkan pentingnya membahas tentang seksualitas tanpa ada rasa malu atau ragu, agar anak tidak akan merasa hal itu adalah sesuatu yang negatif atau tabu untuk dibahas.
“Arti seksualitas untuk anak sangat berbeda dengan seksualitas untuk orang dewasa. Mereka tidak mengasosiasikan itu dengan kenikmatan seksual melainkan untuk memahami diri sendiri dan teman-temannya,” ujarnya.
Rutgers mengembangkan program “You and Me” untuk memberikan pendidikan seksual kepada anak lewat buku anak. Topik yang diangkat dalam buku ini adalah bagian-bagian tubuh diri sendiri dan bedanya dengan lawan jenis, bagaimana cara mengurus tubuh sendiri, dan juga bagaimana menghargai teman.
Menurut Monica, ini juga menjadi alasan di balik pembuatan Dolpin, atau dolanan pintar, yaitu untuk menjadi alat bantu komunikasi untuk membantu orang tua dalam diskusi tentang bagian-bagian tubuh dan cara melindungi diri sendiri dengan cara yang lebih ringan, seperti mendongeng.
Ani memproduksi dua film pendek yang ditayangkan di Dolpin Festival, salah satunya berjudul Ngintip, yang didasarkan pada pengalamannya di pesantren.
“Saya sadar ada anak-anak perempuan di luar sana yang mengalami hal yang sama tapi takut untuk menceritakannya. Saya membuat film ini mereka bisa terdorong dan berani untuk bercerita kepada orang lain. Kita harus memberitahu seseorang agar hal ini tidak terulang lagi ke korban lain,” kata Ani.
Baca juga tentang pentingnya peran laki-laki dalam kesetaraan gender.
Ilustrasi oleh Adhitya Pattisahusiwa
Comments