Perempuan, termasuk anak-anak, merupakan kelompok yang paling rentan pada masa krisis, termasuk pandemi COVID-19. Menurut riset Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan (UN Women) berjudul Menilai Dampak COVID-19 terhadap Gender dan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia, 82 persen perempuan di Indonesia mengalami penurunan pendapatan pada masa pandemi.
Selain itu, sebanyak 19 persen perempuan mengalami peningkatan beban kerja rumah tangga tak berbayar. Akibatnya, 57 persen perempuan mengaku mengalami peningkatan stres dan kecemasan sejak pandemi COVID-19 terjadi, menurut riset yang sama.
Dwi Yuliawati Faiz, Head of Programmes di UN Women menilai, hal tersebut merupakan cerminan ketidaksetaraan gender yang bekerja di dalam kehidupan sosial dan keluarga di Indonesia. Norma sosial dan tuntutan masyarakat membuat perempuan dibebankan tanggung jawab dalam urusan domestik secara penuh, termasuk perawatan anak dan keluarga. Padahal, pada masa pandemi, kebijakan pembatasan sosial yang melahirkan kebijakan bekerja dan sekolah dari rumah membuat beban pekerjaan domestik itu semakin berlipat.
“Perempuan harus mengajari anaknya sekolah dari rumah, juga harus memenuhi kebutuhan membeli alat-alat pendukung sekolah dari rumah itu. Belum lagi kalau dia ibu bekerja, semakin bertambah bebannya, tapi bukan berarti ibu tidak bekerja bebannya jadi lebih mudah. Mereka tetap paling terdampak,” ujar Dwi kepada Magdalene, (12/7).
Ia menambahkan, “Belum lagi, pada masa krisis, perempuan itu kerap kali jadi cushion, peredam dari sebuah krisis dalam aspek ekonomi. Banyak perempuan yang buka warung, menjual makanan, dan sebagainya.”
Melihat adanya dampak tidak proporsional terhadap perempuan selama pandemi, UN Women memfokuskan program mereka pada topik Women and Girls at the Center of COVID-19 Prevention. Program tersebut direalisasikan melalui berbagai gerakan dan aktivitas yang menyasar perempuan dari berbagai kalangan dan kelas sosial. Menurut Dwi, tujuan utama program tersebut adalah untuk membangun resiliensi dalam berbagai aspek bagi perempuan dan anak perempuan pada masa krisis.
Baca juga: Rentan di Berbagai Sisi: Nasib Perempuan di Tengah Pandemi
“Misalnya, para perempuan korban kekerasan, mereka sulit mengakses bantuan karena layanan-layanan penanganan banyak yang tutup dan terhambat pada masa pandemi. Pembelajarannya adalah bagaimana membantu pemberi pelayanan tetap jalan (bekerja). Kami berupaya memberikan Standar Operasional Prosedur yang disesuaikan dengan situasi pandemi, juga rujukan rumah aman.”
Resiliensi itu juga dibarengi dengan pemberdayaan dan optimalisasi kapasitas diri perempuan dalam bidang kepemimpinan yang berkaitan pula dengan penanganan masa krisis ini, tutur Dwi.
“UN Women memang bukan organisasi yang punya kewenangan meng-adress permasalahan pandeminya itu sendiri. Tapi kami berusaha membangun resiliensi dan blue print, ketika ada krisis, bentuk respons ramah gender seperti apa yang harus dilakukan? Kami berusaha membangun itu.”
“Kami ingin mencapai dan membangun solidaritas perempuan yang berdaya. Jadi enggak biasa hanya satu dimensi yang diperhatikan, kayak ekonomi saja yang penting. Kami berharap resiliensi ini terbangun dalam aspek yang luas.”
Baca juga: Berlapis Tekanan Para Tenaga Kesehatan
Untuk mencapai tujuan tersebut, UN Women memanfaatkan jejaring-jejaring yang telah ada pada proyek-proyek terdahulunya. Misalnya dengan bekerjasama dengan jejaring kelompok masyarakat sipil untuk program Desa Damai (Peace Village). Menurut Dwi, melalui program tersebut, UN Women mendorong sekaligus membimbing para perempuan untuk menjadi bagian dari Gugus Tugas COVID-19 di komunitasnya masing-masing. Mereka berhasil membangkitkan kesadaran masyarakat akan bahaya pandemi serta pentingnya menjaga protokol-protokol kesehatan, ujar Dwi.
Selain itu, UN Women juga menggunakan pendekatan dengan melihat kelompok paling rentan (the most vulnerable of all). Di antaranya adalah perempuan buruh garmen. Banyak dari mereka yang terancam terkena pemutusan hubungan kerja (PHK).
Ia menambahkan, “Sudah ada banyak bukti bahwa bantuan yang diterima perempuan pada masa pandemi tidak maksimal, tidak semua juga menerima. Kami bekerjasama di kantong-kantong pekerja garmen melakukan kegiatan yang berbasis income generating, supaya mereka ada pendapatan.”
Menurut Dwi, kegiatan itu dilaksanakan dengan pola pikir yang ramah gender dan memberi akses ekonomi pada perempuan. Ia mencontohkan, biasanya, ketika ada krisis, lembaga pemerintah membuat program padat karya dalam bidang pembangunan atau perbaikan infrastruktur. Para pekerja di desa diberikan pekerjaan tersebut, lalu mereka diberikan kompensasi atas pekerjaan yang mereka lakukan tadi (cash for work). Sering kali intervensi cash for work difokuskan pada pengembangan infrastruktur, ujar Dwi. Akhirnya, UN Women pun berusaha memaksimalkan keterlibatan perempuan dengan strategi khusus.
“Kami juga berusaha membuat prototype. Kami ubah, karena vulnerable group-nya adalah perempuan, kami beri keterampilan pada perempuan pekerja garmen. Mereka pekerja, tapi belum bisa memproduksi garmen untuk dijual sendiri, mengubahnya jadi pakaian, dan sebagainya, akhirnya, mereka diajari membuat masker dan berjejaring untuk memasarkan masker tersebut.”
“Mereka diberikan bantuan alat, yaitu mesin jahit. Jadi, ada kelompok penjahitnya, ada kelompok marketer-nya. Mereka juga diberikan pelatihan wirausaha agar dapat berkembang, baik selama pandemi maupun setelahnya.”
UN Women juga menyasar perempuan dari kelompok pekerja migran lewat program ini karena mereka rentan mengalami PHK dan kekerasan. Menurut Dwi, selain pemberian bantuan, hal itu juga dilakukan dengan mensosialisasikan protokol kesehatan agar ketika bekerja mereka tetap aman dari paparan virus.
Baca juga: Untung Rugi Perempuan di Tengah Pandemi COVID-19
Meski begitu, Dwi juga menggarisbawahi perlunya pemerintah memperhatikan program dan pemberian cash for work untuk keluarga-keluarga di Indonesia. Karena perempuan dianggap sebagai pengambil keputusan utama dalam konsumsi dan urusan rumah tangga lainnya, biasanya bantuan diberikan kepada perempuan. Tapi, hal itu tak sekaligus menyelesaikan dinamika rumah tangganya.
“Karena perempuan punya uang, laki-lakinya sedang tidak bekerja dan tidak ada pemasukan, akhirnya terjadi krisis hubungan. Sejak awal tidak setara, sekarang perempuan berdaya, laki-laki jadi berusaha merebut resource itu.”
“Kami juga membuat training kesetaraan gender untuk suami dan istri. Output-nya juga bukan hanya dari sisi angka, tapi perhatian besar diberikan pada pembelajarannya, karena melibatkan laki-laki itu penting,” tambah Dwi.
Untuk mensosialisasikan program ini kepada kelompok yang luas, UN Women juga bekerjasama dengan berbagai mitra lembaga sosial masyarakat untuk mengembangkan kampanye ini lewat saluran komunikasi kreatif, seperti buku kumpulan cerita dari proyek ini, mixed media art, serta video yang mengilustrasikan tantangan dan solusi dalam merespons berbagai isu perempuan pada masa pandemi.
Ilustrasi oleh Karina Tungari
Comments