Women Lead Pendidikan Seks
October 18, 2022

Anak-anak itu Dijual dan Dipaksa Jadi Pekerja Seks

Perdagangan seks anak yang marak di Indonesia terkait dengan manipulasi dan kemiskinan yang berlapis-lapis.

by Theresia Amadea, Reporter
Safe Space
Sex Trafficking
Share:

Peringatan Pemicu: Artikel ini mengandung topik yang sensitif soal perdagangan anak.

Cerita ilustrasi berikut diolah berdasarkan pengalaman beberapa korban perdagangan anak yang dituturkan Yayasan Kasih Yang Utama. Magdalene menyamarkan identitas dan pengalaman spesifik demi perlindungan pada korban.

Seperti anak usia 14 tahun pada umumnya, A aktif berselancar di media sosial. Di ruang maya itulah, ia kerap curhat soal perhatian yang minim dari keluarga. Ayah dan ibunya bercerai, sang ayah sibuk dengan keluarga baru, sedangkan si ibu pontang-panting kerja serabutan sampai tak ada waktu. Sejauh ini cuma nenek dan kakeknya yang hadir, meski susah nyambung secara emosional karena selisih usia.

Suatu hari, pamannya datang ke rumah A. Ah, setelah sekian lama tak diperhatikan orang (dewasa), setidaknya masih ada satu anggota keluarga yang peduli, begitu pikir A. Si paman membelikan A pulsa, mengajaknya makan keluar, membelikan barang-barang kebutuhan harian, mendengarkan cerita, dan memberikan perhatian penuh. A tentu saja percaya pada pamannya.

Baca juga: Perempuan Muda dan Miskin Korban Utama Perdagangan Orang di Indonesia

Tak lama kemudian, paman menawarkan A untuk bekerja di restoran milik majikannya. Karena A putus sekolah, ia dengan senang hati ikut pamannya. Ia sendiri diiming-imingi akan dibayarkan transpor, ditanggung akomodasi tempat tinggal, bahkan diberikan uang tambahan untuk dikirimkan ke kakek nenek di kampung. A tak sempat pamit, hari itu ia mantap hijrah ke kota lain. A memang bermimpi bisa menafkahi dirinya sendiri, menjadi mandiri, bahkan lepas dari kemiskinan.

Sampai di tempat majikan baru, A disambut seorang perempuan yang akrab dipanggil “Mami”. A disodori kontrak kerja. Saat membaca kontrak tersebut, A kaget karena di sana tertulis dia sudah berutang jutaan rupiah. Mami mengatakan itu utang transpor, tempat tinggal, bahkan uang yang dikirimkan ke nenek kakek. Untuk melunasi utangnya, A diharuskan bekerja menjadi “ladies” di karaoke milik Mami. Lantas dimana pamannya? A tak pernah bertemu hingga hari ini. Ia sendirian di kota asing, dengan utang besar. Ia tak mungkin menghubungi ayah dan ibunya. Malu.

A berjuang mati-matian untuk melunasi utang. Gajinya hanya bergantung pada berapa banyak minuman yang dibeli pelanggan saat itu. Parahnya, utang terus bertambah karena biaya hidup seperti makanan dan baju A semua ditanggung Mami. Dia tidak bisa bekerja di tempat lain lantaran masih di bawah umur. Akhirnya Mami menawarkan pekerjaan baru.

“Kalau kamu mau terima booking tamu Mami, uangnya lebih besar daripada cuma jadi ‘ladies’ saja,” ungkap A menirukan ucapan Mami kala itu.

A tak punya pilihan lain selain mengangguk. Mulailah perjalanan dia menjadi pekerja seks. Setiap hari, A dipaksa melayani sejumlah lelaki paruh baya. Malu, sedih, bingung, perasaan-perasaan itu terus menghantuinya. Ia baru bebas dari sandera setelah aparat keamanan menggerebek tempat tinggal A. Namun, trauma sebagai korban perdagangan seks masih membekas dalam benak A hingga sekarang.

A hanya satu di antara korban perdagangan anak di Indonesia. Ada kisah serupa yang dialami oleh lebih dari 100 anak. Melansir dari Tempo, Komisi Perlindungan Anak pada 2021 menemukan 147 kasus tindak pidana perdagangan orang dan eksploitasi terhadap anak. Sebagian besar dari mereka dijebak masuk dalam bisnis prostitusi.

Menurut data yang diterima Magdalene dari International Organization for Migration (IOM), kebanyakan korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) adalah perempuan. Korban yang dibantu IOM sejak 2005 hingga 2021, dari 9.438 orang, 68 persen di antaranya adalah perempuan. Kemudian, 19 persen korban adalah anak-anak.

Winda Winowatan, Direktur Yayasan Kasih Yang Utama (YKYU) yang fokus pada pendampingan korban eksploitasi seksual mengatakan, korban yang ditangani berumur kisaran 12-17 tahun. Mereka umumnya mengalami kesulitan finansial dan berasal dari latar keluarga tak harmonis atau tak utuh.

Korban anak-anak dengan latar belakang semacam ini biasanya sudah diincar oleh para pelaku, baik langsung atau daring. Memang, kata Winda, terkadang ada juga korban yang berasal dari keluarga mampu. Namun, dengan dalih mencari perhatian emosional dari orang lain, korban juga turut jadi target empuk.

Baca juga: Kejahatan Perdagangan Orang dengan Modus Pengantin Pesanan Luput dari Perhatian

Ruang Aman Palsu bagi Korban

Berkaca dari kasus A, kebanyakan perekrut memang orang terdekat korban. Winda menyebutkan, dari pacar, teman, hingga keluarga, semua bisa berpotensi menjadi pelaku perdagangan anak. Karena kedekatan ini, anak yang sudah rentan lebih mudah dimanipulasi (grooming) oleh perekrut.

Psikolog remaja Danny Irawan menjelaskan, grooming adalah pendidikan anak dari orang tua agar kelak saat dewasa memiliki tata krama yang baik. Namun, berbeda halnya dengan kasus kekerasan seksual, grooming adalah cara orang dewasa membangun hubungan dengan anak dan menciptakan kepercayaan tapi dilakukan dengan maksud seksual.

“Dalam beberapa tahun terakhir, istilah ini (grooming) dipakai untuk perkara seksual, terutama yang terkait pedofilia,” tutur Danny kepada Magdalene pekan lalu.

Masalahnya, tanggung jawab mencegah grooming dan perdagangan anak tidak hanya bisa diserahkan pada orang tua. Terlebih pada keluarga yang memang tidak mampu dalam ekonomi. Orang tua yang sibuk bekerja demi memenuhi kebutuhan sehari-hari akan kesulitan dalam memberi perhatian yang cukup. Lalu siapa yang bertanggung jawab?

Baca juga: 'Sekali Berstatus PRT Migran Selamanya PRT Migran'

Pemerintah Harus Andil

Kondisi ekonomi menjadi satu faktor dalam kerentanan anak terhadap grooming yang berujung pada perdagangan orang. Selain memberi kebutuhan emosional, perekrut juga menyuntikkan bantuan finansial. Contohnya memberikan hadiah hingga kebutuhan hidup anak.

Salah satu kasus yang tangani YKYU misalnya, korban memiliki utang kepada pelaku hingga puluhan juta. Sehingga, mereka pun dipaksa membayar “tebusan” demi menyelamatkan korban dari jeratan perdagangan anak. Hal ini kecil kemungkinan dilakukan keluarga korban dengan keadaan ekonomi lemah (miskin).

Menurut Danny, kemiskinan menjadikan kasus perdagangan anak lebih kompleks. Karena itulah pemerintah perlu lebih berperan. Pemerintah harus lebih memerhatikan penanganan kasus perdagangan anak. Misalnya, membentuk lembaga yang komprehensif dan protokol penanganan dari pengaduan, pencegahan, serta pemulihan bagi korban.

Perbaikan ekonomi juga berkontribusi dalam pencegahan perdagangan anak. Sebab, jika kondisi rumah tangga memiliki ekonomi yang baik, maka mengurangi kerentanan pada anak.

Theresia Amadea, reporter yang bermimpi hidup dengan tulisannya dan hidup sederhana dengan circle pilihannya. Menyukai budaya Korea dan Jepang dan bermimpi kuliah lanjut ke Eropa.