Women Lead Pendidikan Seks
August 13, 2021

‘Revolusi’ Anti-Kekerasan Seksual Bisa Dimulai dari Anak Muda

Peran anak muda diperlukan dalam melawan kekerasan seksual, yakni dengan mengedukasi diri dan menyuarakan pencegahannya di media sosial.

by Aurelia Gracia, Reporter
Safe Space
upaya melawan kekerasan seksual
Share:

Setelah melaksanakan kampanye No! Go! Tell! dan Creative Skills Training sejak Juni lalu, The Body Shop Indonesia bersama Yayasan Plan International Indonesia, Yayasan Pulih, Magdalene dan Makassar International Writers Festival (MIWF), melanjutkan program tersebut dengan Kompetisi Karya Kreatif hingga 25 Juli 2021. Program ini merupakan salah satu rangkaian dari advokasi pencegahan kekerasan seksual di Indonesia, dengan melibatkan anak muda, khususnya mahasiswa.

Public Relations and Community Manager The Body Shop Indonesia, Ratu Ommaya menuturkan, pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki peserta kompetisi dapat digunakan untuk mengadvokasi dan mengampanyekan isu kekerasan seksual.

“Mudah-mudahan dengan kampanye ini, tidak hanya mengedukasi dan memberikan awareness, tetapi menciptakan agen perubahan, supaya semakin banyak anak muda yang bersemangat dan memiliki kapasitas dalam menyuarakan isu-isu yang saat ini masih jarang dibicarakan,” ujarnya pada “Create and Drive Change, Pengumuman Pemenang Kompetisi Karya Kreatif”, (12/8).

Baca Juga: Kampanye ‘Shoes Art Installation’ Dorong Pengesahan RUU PKS

Sebuah perjalanan panjang dalam mengupayakan penghapusan kekerasan seksual, terlebih tindakan ini naik 8 kali lipat dalam 12 tahun terakhir jika merujuk pada data dari Komisi Nasional Anti-Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan). Isu ini pun terjadi selama pandemi—yang disebut sebagai shadow pandemic atau pandemi bayangan, baik itu terjadi lewat daring maupun rumah tangga, namun tetap bersaing dengan isu lain yang juga harus diprioritaskan.

Selain itu, mahasiswa rentan menjadi korban kekerasan seksual di lingkungan kampus, dengan pelaku yang umumnya memiliki relasi kekuasaan. Biasanya, para korban tidak mengetahui wadah untuk melaporkannya karena ketiadaan sistem maupun Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dapat menanganinya, serta ketiadaan perspektif gender dari pihak universitas membuat penanganan sering kali tidak berperspektif korban.

Lily Yulianti Farid selaku aktivis, pendiri, dan Direktur MIWF menuturkan, anak muda yang memiliki keahlian memproduksi konten perlu memegang tongkat estafet pembicaraan kekerasan seksual. Tujuannya agar isu ini akan tetap muncul di permukaan. Sementara para stake holders yang setiap harinya bergerak menangani isu ini, dapat bekerja sama sebagai mitra dengan memberikan kontribusi pada substansinya.

Baca Juga: Kiriman 'Dick Pic' dan Video Porno Tak Konsensual Naik Selama Pandemi

“Semakin banyak ruang yang membicarakan kekerasan seksual, dan tersedia sumber daya pembelajaran isu ini, maka teman-teman yang melakukan kegiatan aktivisme akan melihat isu ini dengan pendekatan lebih komprehensif,” ujarnya.

Ia menambahkan, kita tidak cukup berperan sebagai warganet yang reaktif ketika sebuah kasus meledak, tapi turut mengambil peran edukasi yang konsisten. Misalnya, membentuk organisasi di kampus sebagai salah satu tempat yang rawan kekerasan seksual.

Ambil Peran lewat Media Sosial

Sebagai pengguna media sosial, kita memiliki privilese untuk menyuarakan pencegahan kekerasan seksual lewat platform tersebut. Dalam acara virtual ini, aktris Rachel Amanda Aurora mengatakan, sebagai agen terdekat dari orang-orang di sekitar, kita memiliki kuasa dan dampak dalam mengadvokasi isu ini.

“Teman-teman jangan merasa hanya public figure yang punya power dalam menyuarakan kekerasan seksual, justru kita adalah orang terdekat dalam melihat tindakan ini di lingkungan sekitar, apalagi RUU PKS masih belum disahkan,” katanya.

Menurut Amanda, kita memiliki tanggung jawab untuk mengedukasi agar orang lain tidak menormalisasi kekerasan seksual, sekecil apa pun aksinya seperti catcalling. 

Baca Juga: Inisiatif Mahasiswa di Kampus Secercah Harapan Hapuskan Kekerasan Seksual

“Manfaatkan segala fitur yang ada di media sosial, atau kolaborasi membangun ruang diskusi mengenai kekerasan seksual. Selain itu, ciptakan safe space untuk teman-teman di sekitar kita yang mengalaminya,” ujar Amanda.

Aurelia Gracia adalah seorang reporter yang mudah terlibat dalam parasocial relationship dan suka menghabiskan waktu dengan berjalan kaki di beberapa titik di ibu kota.