Di tengah kecemasan karena harus berdiam diri di kamar kos selama wabah virus corona (COVID-19) merebak, “Marisa” juga waswas memikirkan kondisi ibu dan adik perempuannya yang terperangkap terus menerus bersama sang ayah di rumah mereka di Surabaya.
Sejak kecil, kata Marisa, ia sering melihat ayahnya melakukan kekerasan fisik dan verbal pada ibunya. Beranjak besar, ia dan saudara-saudaranya yang lain pun turut jadi sasaran kekerasan laki-laki itu. Beruntung Marisa, 20, dan kakaknya bisa keluar dari rumah setelah mendapat pekerjaan sebagai petugas administrasi dengan upah harian, dan bisa menyewa kamar kos sendiri di kota yang sama. Tapi sang ibu dan adik laki-lakinya yang masih berusia 8 tahun harus bertahan di neraka itu.
“Minggu lalu dapat informasi dari tetangga kalau Papa mengusir Mama dari rumah. Mama punya ponsel, tapi cuma buat telepon dan SMS, itu pun dia jarang punya pulsa. Aku biasanya kirim uang tiap bulan tapi sekarang karena corona aku enggak masuk setiap hari,” kata Marisa pada Magdalene, Selasa (23/3).
“Papa juga melarang Mama bergaul sama teman-teman. Tapi mamaku tetap sayang, enggak mau berpisah dengan papaku. Kata tetangga, setelah diusir, Mama akhirnya balik lagi pulang ke rumah.”
Saat kebijakan pembatasan sosial (social distancing) diberlakukan oleh pemerintah, sang ayah bukannya berdiam diri di rumah, tapi ia masih saja nongkrong di warung kopi bersama teman-temannya dan juga berkaraoke, kata Marisa, mengutip laporan tetangganya.
“Aku khawatir banget sebenarnya, takut dia nularin Mama dan adik. Tapi mau bagaimana lagi, dia susah dibilangin. Aku harap Mama bisa jauh-jauh dari orang itu,” ia menambahkan.
Bagi para korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), situasi pembatasan sosial dan imbauan kerja dari rumah untuk mencegah penyebaran COVID-19 telah menjebak mereka dengan pelaku kekerasan, membuat mereka terisolasi dari orang-orang dan sumber daya yang dapat menolong mereka.
Di Amerika Serikat, menurut laporan majalah Time, saluran pengaduan KDRT (National Domestic Violence Hotline) melaporkan peningkatan jumlah penelepon yang mengatakan pelaku kekerasan terhadap mereka menggunakan COVID-19 sebagai senjata untuk lebih mengisolasi mereka dari keluarga dan teman.
Time juga melaporkan, ada tren peningkatan pengaduan kasus kekerasan perempuan di ranah privat di dunia sejak ada pembatasan fisik, termasuk di AS dan Cina. Di Cina, laporan kekerasan dalam ranah privat yang diterima oleh pihak kepolisian meningkat tiga kali di bulan Februari dibandingkan dengan tahun lalu.
Baca juga: Sanksi Sosial Membuat Perempuan Korban KDRT Enggan Bercerai
Di Indonesia, dengan jumlah kasus corona 790 positif, 31 sembuh, dan 58 orang meninggal dunia per 25 Maret, belum ada laporan atau data semacam itu. Namun situasi pembatasan fisik telah menghambat korban KDRT di ranah privat untuk mencari pertolongan.
Hal ini sangat dirasakan oleh Marisa ketika ia hendak mencari pertolongan ke unit pengada layanan di wilayah Surabaya. Ia menelepon beberapa organisasi berkali-kali namun sama sekali tidak mendapatkan jawaban, sampai akhirnya mendapatkan respons dari sebuah women crisis center.
“Awalnya, pihak pengada layanan mengatakan mereka bisa diajak ketentuan berbicara secara langsung. Tapi selanjutnya karena kondisi pandemi corona dan beberapa daerah di Surabaya sudah ditetapkan sebagai zona merah, pihak pengada layanan menolak bertemu langsung,” ujar Marisa.
Ia mengatakan ingin sekali mengeluarkan ibu dan adiknya dari rumah dan menjebloskan ayahnya ke penjara. Namun situasi saat ini tidak memungkinkan.
“Aku pengen laporin ke polisi supaya Papa dapat tindakan yang tegas dari polisi, supaya Mama bebas," ujar Marisa.
Hambatan penanganan selama pandemi
Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) 2019 menunjukkan, kekerasan dalam ranah privat termasuk keluarga masih menjadi kasus yang paling tinggi dilaporkan di Indonesia, yaitu sebanyak 11.105 kasus, meningkat dari tahun 2018 sebanyak 9.637 kasus.
Dari data yang sama, kekerasan terhadap anak perempuan meningkat dari 1.417 kasus pada 2018 menjadi 2.314 kasus pada 2019. Jumlah terbesar masih konsisten dipegang oleh kekerasan istri sebesar 6.555 kasus, meningkat dari tahun 2018 sebesar 5.114 kasus. Hal ini memperlihatkan bahwa rumah dan keluarga masih menjadi wilayah yang tidak aman bagi perempuan.
Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin mengatakan, laporan yang ia terima menunjukkan bahwa menyusul imbauan kerja dari rumah dan pembatasan sosial dari pemerintah, ada kekhawatiran bahwa korban akan terperangkap dengan pelaku di ranah privat.
“Kebijakan #dirumahsaja belum melihat bahwa ada kerentanan yang dihadapi oleh perempuan, salah satunya perempuan korban KDRT. Karena pembatasan sosial ini, kami khawatir malah kembali mempersatukan korban KDRT dengan para pelaku,” ujar Mariana kepada Magdalene, Senin (23/3).
Namun Komnas Perempuan sendiri masih harus melakukan banyak perubahan dan penyesuaian karena pandemi Corona, ujar Mariana. Lembaga itu sekarang hanya menerima pengaduan kasus lewat telepon dan secara daring dulu, tambahnya.
“Karena regulasinya baru diterapkan Sabtu (21/3) lalu, kami masih dalam tahap penyesuaian dalam menerima pengaduan,” ujar Mariana.
Ia menambahkan, karena Komnas Perempuan bertugas untuk memberikan rekomendasi dan rujukan, kinerja mereka pun terhambat karena beberapa instansi pemerintah saat ini juga banyak disibukkan dengan urusan pandemi Corona.
“Lembaga-lembaga ini kan juga sedang sibuk untuk mengubah sistem internal mereka karena pandemi corona. Agak kurang memungkinkan untuk mendapatkan respons yang cepat entah itu dari kepolisian atau pengadilan. Kan banyak persidangan yang ditunda juga akibat situasi saat ini,” kata Mariana.
Baca juga: KDRT dan Buruh Perempuan: Rantai Kekerasan yang Sulit Diputus
Belum ada nomor tanggap darurat
Koordinator Pelayanan Hukum Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), Uli Pangaribuan mengatakan, kerja pelayanan bantuan hukum menjadi terhambat karena kebijakan pembatasan sosial. LBH APIK sudah memulai kebijakan bekerja dari rumah sejak 16 Maret, dan pengaduan semua dialihkan secara daring lewat aplikasi WhatsApp.
“Waktu konsultasinya saja kami perpanjang dari jam 9 pagi hingga 9 malam,” ujar Uli pada Magdalene.
Jika korban membutuhkan bantuan secara cepat dan ingin melapor ke polisi, Uli mengatakan pihaknya akan mengarahkan korban untuk melapor ke kepolisian resor (polres) dan menghubungi penyidik yang sudah berhubungan baik dengan LBH APIK.
“Nanti kami arahkan melapornya bagaimana dan melapornya ke siapa. Setelah itu kami beri nomor penyidiknya. Baru dari situ kami follow up lebih lanjut,” ujarnya.
“Jika korban ingin konseling psikologis di unit Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), harus berkoordinasi dulu,” kata Uli.
Ia menambahkan setelah adanya regulasi baru ini, jumlah pengaduan yang masuk lebih banyak dari biasanya, yakni kurang lebih 10 pengaduan per hari.
Permasalahan lain adalah negara ini belum memiliki sistem nomor cepat tanggap khusus yang sudah reintegrasi untuk menangani kekerasan berbasis gender. Mariana mengatakan, walaupun sudah ada beberapa nomor yang disediakan oleh pemerintah, nomor tersebut masih belum bekerja secara maksimal.
“Tapi untuk kasus-kasus kekerasan dalam ranah privat seperti KDRT, aduh jauh banget penanganan cepat tanggapnya. Responsnya pun sangat lambat,” ia menambahkan.
Mariana mengingatkan bahwa kebijakan “di rumah saja” itu tidak semudah yang dibayangkan oleh banyak orang. Ia mengatakan, relasi yang tidak setara antara suami dan istri bukan hanya bakal menimbulkan kekerasan fisik, tetapi secara keseluruhan sistem ini juga bakal membebani ibu.
“Bisa dibayangkan rumitnya memindahkan urusan publik ke rumah tanpa ada manajemen keluarga yang baik. Apalagi jika di keluarga tersebut ada kekerasan dalam rumah tangga,” kata Mariana.
“Maka dari itu seharusnya kebijakan soal tetap di rumah itu disertai dengan imbauan yang sifatnya untuk membina keluarga, supaya bekerja sama sehingga bisa melakukan perubahan yang cepat juga di rumah.”
Jika memerlukan bantuan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, silakan hubungi Komnas Perempuan (021-3903963, [email protected]); Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan/LBH APIK (021-87797289, WA: 0813-8882-2669, [email protected]). Klik daftar lengkap lembaga penyedia layanan di sini.
Illustrasi oleh Karina Tungari
Comments