Baru-baru ini saya menghadiri acara #PerempuanBerHak di Gedung Pertunjukan Bulungan, Jakarta, sebuah pementasan komedi buah kerja sama enam perempuan dari beragam latar belakang: Sakdiyah Ma’ruf yang berasal dari komunitas keturunan Arab di Pekalongan, Jessica Farolan dari komunitas keturunan Cina di Jakarta, Alison Thackray seorang imigran Inggris yang tinggal di Bandung, Fathia Saripuspita yang mengaku seorang bule girlfriend, dan Ligwina Hananto, seorang ibu haji dan penasihat finansial. Tak ketinggalan, Gamila Arief, musisi yang malam itu tampil sebagai pembawa acara.
Pementasan #PerempuanBerHak minggu lalu adalah yang kedua—yang pertama diadakan dalam skala lebih kecil pada 2014. Tahun ini pertunjukan dimulai dengan lagu oleh Gamila dan kawan-kawan yang mengusung poster bertuliskan slogan-slogan seperti Perempuan Berhak Bersuara dan Perempuan Berhak untuk Tidak Tampil Sopan. Penampilan kelima komika malam itu sungguh-sungguh memanfaatkan kesempatan itu. Mereka berbagi cerita dari pengalaman hidup masing-masing dalam bentuk lelucon yang blak-blakan: memek, penis(taan agama), seks—semua terlontar tanpa malu-malu.
Yang pertama tampil adalah Sakdiyah, ia bertutur tentang komunitasnya yang banyak menikahkan perempuan pada usia muda. Maka adalah suatu kemenangan baginya dapat menikah di usia mapan dan dengan orang pilihannya sendiri. Sakdiyah mahir membuat kita melihat kekonyolan yang terkandung dalam pengaruh intoleransi atau komersialisme pada praktek agama sehari-hari. Misalnya, saudara-saudaranya yang mengharamkan musik dan pesta membantunya memotong anggaran pernikahan karena ia jadi tidak usah menyewa band dan katering. Larangan bagi perempuan dan laki-laki untuk bertatapan mata membuat laki-laki merasa bebas menatap dada perempuan. Merk-merk terkenal pun mengeksploitasi norma agama dengan mengeluarkan produk yang menyasar perempuan Muslim walau belum tentu memberdayakan mereka.
“Nike mengeluarkan sepatu khusus untuk para hijabi, cocok untuk atlet perempuan dan untuk lari dari suami serta rezim yang menindas,” kata Sakdiyah yang pada malam itu berbicara dalam Bahasa Inggris.
Saat wawancara, Sakdiyah mengatakan Bahasa Inggris adalah alat bertahan hidup baginya—ia jadi dapat mengutarakan pikirannya, walau dalam bahasa yang tidak dipahami orang-orang di komunitasnya yang tertutup. Ia merasa lebih nyaman menulis dan menyampaikan lelucon dalam bahasa Inggris, sebab sumber ilmunya dari Amerika Serikat dan Inggris. Ia pun merasa lebih aman tampil dalam bahasa Inggris, walau ia percaya itu seperti preaching to the choir (mengatakan sesuatu yang pada khalayak yang sepaham dengan kita).
“Makanya saya harap bisa punya lebih banyak kesempatan untuk tampil di Indonesia secara umum dan di komunitas saya,” ujarnya.
Paling menyentuh adalah ketika Sakdiyah bercerita tentang kekerasan yang dilakukan oleh ayahnya kepada ibunya.
“Ketika kamu mengalami kekerasan, pengalaman itu tidak sekadar membekas di benakmu, tetapi juga merasuk ke darahmu. Itu sungguh memengaruhi keputusan-keputusanmu di kemudian hari. Misalnya, ketika kuliah ada beberapa orang yang memanfaatkan saya,” ujarnya. Masuk akal, tak banyak yang tertawa saat itu. Kurasa itulah salah satu tantangan bagi komika seperti dirinya yang ingin membuat kita tertawa sekaligus merenungkan masalah seserius kekerasan dalam rumah tangga.
Sementara itu, Jessica menimba pengalamannya memberikan pendidikan seksualitas di sekolah-sekolah di daerah Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi selama enam tahun. Menurutnya, kurangnya pengetahuan seks akan menjerumuskan perempuan sebagai korban. Contohnya, lelaki berpoligami karena menganggap istrinya gagal memberinya keturunan laki-laki, walaupun secara biologis sperma ayahlah yang menentukan jenis kelamin janin. Kemudian, keperawanan dianggap simbol moral dan keberhargaan perempuan, padahal ketebalan selaput dara bervariasi dari orang ke orang.
“Gue kasih tahu sama lu, cewek ngewe itu bukan karena bermoral atau tidak, cewek ngewe itu karena kita horny, bego!” kata Jessica, setia kepada gayanya yang tak segan-segan ‘ngomong jorok’.
“Lu enggak bisa menggeneralisasi cewek yang berselaput dara itu lebih bermoral daripada cewek yang tidak berselaput dara. Lu juga enggak bisa kan menggeneralisasi semua yang putih itu suci? Lu kira FPI suci?”
Sementara itu, Alison mengawali gilirannya dengan menyatakan, “Gue bule, gue janda, dan gue kafir.” Penampilannya seolah meredefinisi kata ‘kafir’ dari arti seseorang yang salah karena tidak beragama Islam menjadi seseorang yang normal dan kebetulan saja tidak terlahir dalam keluarga Islam. Alison telah menetap di Bandung selama 13 tahun, dan dalam waktu itu semua pacarnya kebetulan Muslim. Ia bercerita tentang seorang mantannya yang mengucap Alhamdulillah ketika orgasme di mulutnya.
“Saat itu gue jadi tahu rasanya dosa,” kata Alison dalam bahasa Indonesia. “Agak panas dan lumayan asin.”
Ia juga berbicara tentang mantan suaminya yang mencoba bunuh diri sebanyak tiga kali tetapi gagal. “My crazy ex-husband itu hampir saja jadi cowok impian, kan banyak sekali cewek yang mimpi suaminya bisa mati. ... Makanya my definition of a loser adalah too payah even to kill himself. ... Ketahuan ya kalau mantan suami gue, my crazy ex-husband, adalah bule, kalau ia harus cari perhatian dengan cara lebay kayak begitu.”
Bagian itu bagiku terasa mengecilkan penderitaan mereka yang mengalami masalah kesehatan jiwa, apalagi hal itu masih sering mendapat stigma buruk di masyarakat. Ketika diwawancara, Alison mengungkap bahwa mantan suaminya adalah pencandu alkohol dan ia bercerai agar anaknya tidak meniru bapaknya yang pencandu. Sayang latar belakang itu tidak diikutsertakan dalam materinya minggu lalu, supaya hadirin dapat lebih memahami situasinya dan mantan suaminya.
“Yang saya harap dari cerita saya cuma [supaya] perempuan punya keberanian untuk menjalani kehidupan sebagai ‘janda’ kalau itu lebih baik untuk anak-anak mereka,” ujarnya.
Melawan anggapan bahwa perempuan lajang adalah sesuatu yang mesti dikasihani juga dilakukan oleh Fathia. Ia pun menyentil kebiasaan kita menanyakan hal-hal pribadi kepada orang lain.
“Pacarmu kan bule, kamu pasti berbuat hal-hal yang tidak kita lakukan,” kata Fathia, menirukan seorang kawannya. “Sama saja kok dengan kalian,” lanjut Fathia yang pada malam itu berbicara dalam Bahasa Inggris. Ketika temannya tidak percaya, Fathia membalas, “Aku mengembangkan desaku. Kamu berbuat apa dengan pacarmu?”
Dalam nada serupa, Ligwina Hananto menyenggol secara humoris stereotip perempuan yang membayangkan dirinya putri Disney walaupun cerita-cerita itu tidak realistis. Fathia berguyon bahwa dirinya tidak melakukan seks bebas, sebab ia selalu ditraktir makan malam sebelumnya. Ligwina pun bercanda soal perempuan semestinya tidak mau dinikahi hanya dengan mas kawin seperangkat alat salat. Fathia mengejek ketakutan kita akan orang-orang yang memilih untuk berhubungan seks tanpa menikah, dan Ligwina mungkin ingin mendorong perempuan untuk lebih menghargai diri. Sayangnya, rasanya lontaran-lontaran semacam itu mendorong peran gender yang membebankan perempuan sendiri. Apa salahnya bayar sendiri-sendiri, hidup dari penghasilan sendiri-sendiri, dan tidur bersama tanpa kencan asal suka-sama-suka?
Dengan bercanda Ligwina mengutarakan kekhawatiran bahwa di luar sana ada yang mengedit video acara malam itu dan menggunakannya untuk menyulut kebencian. “Ada alasan kenapa Bu Haji yang nutup show hari ini,” katanya. Namun, saat diwawancara Ligwina mengatakan tidak sengaja Sakdiyah dan dirinya—dua komika yang berhijab—diletakkan sebagai penampil pertama dan terakhir. “Tapi bit itu memang saya tulis karena khawatir tentang kebebasan berbicara.”
Saat ditanya tentang reaksi-reaksi yang muncul dari penonton maupun media, Jessica berkata ia sangat puas dengan ulasan tentang penampilannya. Alison mengatakan ia banyak dipuji oleh komika senior atas keberaniannya berbicara tentang situasi-situasi yang ia alami. Sakdiyah juga menyatakan banyak reaksi positif yang ia dapatkan, meskipun demikian ia menyayangkan lebih tersorotnya materi terkait pemilihan kepala daerah Jakarta, sehingga sedikit menutupi pesan-pesan terkait hak perempuan.
Tak lama setelah acara usai, saya mendengar beberapa penonton mengatakan mereka keberatan dengan penampil yang bukan Muslim tapi mengkritik orang Islam. Alison menanggapi, “Yang saya bahas adalah pengalaman saya yang tinggal di tempat yang hampir semua sahabat, tetangga, dan mantan adalah orang Islam. Apa saya tidak boleh menceritakan pengalaman saya? Lalu bagaimana dengan konsep dasar #PerempuanBerHak bahwa seorang perempuan berhak untuk bersuara? Justru demi toleransi, kudu terima hak saya untuk menceritakan pengalaman saya yang nyata.”
Bagi Sakdiyah, mengkritik harus berdasarkan otoritas—bisa jadi otoritas pengetahuan, otoritas data, atau yang paling penting otoritas pengalaman. “Orang punya cerita berinteraksi dengan Muslim, apakah pengalaman orang itu lalu tidak diakui karena dia bukan muslim?” katanya.
“Kalau ada yang mengatakan kebenaran tapi beda agama, tidak mau terima? Aneh kan. Seharusnya siapa pun yang bicara, kita dengar,” ujar Ligwina. “Biar bagaimana juga, kenyataannya, it's the singer not the song. Sekarang waktunya Muslim bersuara. Beri ruang agar representasi Muslim Indonesia tidak selalu Rizieq Shihab dan kawan-kawan. … Umat Islam sedang banyak masalah. Kalau tidak mau menerima kenyataan itu, bagaimana bisa mencari solusi? Dengan komedi kita belajar menertawakan diri sendiri.”
Ia menyebut Ahmed Ahmed, Dean Obeidallah, Maz Jobrani, dan Hasan Minhaj sebagai contoh komika yang disukainya yang sering membawakan lelucon-lelucon tentang Muslim. Saya sendiri mengagumi karya Aziz Ansari terutama Master of None dalam episode “Religion” yang memperlihatkan orang Muslim sebagai karakter yang utuh, seperti halnya orang-orang lain yang perilakunya dipengaruhi oleh nalar, nafsu, emosi, nilai agama atau sosial, dan seterusnya.
Salah satu lelucon tentang Muslim dari Alison malam itu membuat saya tercenung: “Justru yang harus dipertanyakan, laki-laki yang ML sama gue selama 13 tahun ke belakang ini, mereka ngerti enggak agama mereka? Gue fucking mereka enggak ada batas, sah-sah aja dari sisi gue, tapi kalau mereka, perasaan, enggak boleh deh fucking sama gue.”
Masih terlalu berat tuntutan bagi orang Muslim untuk menaati semua ajaran agama mereka, berat pula penghakiman apabila mereka melanggar ajaran-ajaran tersebut. Saya punya kawan-kawan yang beragama Kristen atau Yahudi, dan tidak dipermasalahkan kalau mereka punya anak di luar nikah atau tidak makan secara kosher. Tidak ada yang menuduh mereka bukan Kristen atau Yahudi yang baik, atau tidak memahami agama mereka. Kenapa orang Muslim cuma bisa jadi saleh atau brengsek? Bukankah lebih baik kita tidak menilai perilaku orang dari agamanya? Dan biarkan saja mereka menjalankan ajaran agama yang dapat mereka terima dan meninggalkan sisanya?
Acara diakhiri dengan tanya-jawab dengan penonton. Mengharukan mendengar seorang perempuan muda keturunan Arab merasa sangat terwakili oleh suara Sakdiyah. Ia pun ingin menghindari perjodohan dan pengekangan. Bagi saya hal itu membuktikan bahwa #PerempuanBerHak berhasil menjadi sebuah ruang bagi perempuan untuk berguyon dengan jujur, mempercandakan hal-hal yang sering dianggap tabu, dan membanggakan identitas yang sering dipandang rendah di luar sana—entah itu perempuan, Cina, lajang, janda, atau ‘kafir’.
Dengan mengangkat permasalahan serius seperti KDRT dan intoleransi dengan cara yang juga membuat kita tertawa, #PerempuanBerhak membuat kita memikirkan masalah-masalah itu tanpa merasa canggung, kewalahan, atau terlalu sedih untuk berbuat sesuatu. Kata Sakdiyah ketika ditanya mengapa ia berani tampil seperti malam itu, “Karena banyak rasa sakit, kepahitan, dan seutas optimisme,” kata Sakdiyah. “Lebih baik tertawa daripada menangis,” timpal Alison yang berencana pulang kampung ke Inggris, antara lain karena ia merasa Indonesia sudah tidak setoleran dulu.
Komedi mengakui hal-hal ‘menggelikan’ pada diri kita yang sering kita sanggah atau abaikan. Sakdiyah bercerita tentang pengalamannya memandu acara diskusi bersama seorang penulis lesbian. Ketika acara itu diserang oleh orang-orang yang membawa pentungan, Sakdiyah melindungi si penulis dengan badannya. “Pikiran pertama yang terlintas di benak saya: semoga deodoran saya berfungsi sebagaimana diiklankan. Kalau kita meninggal, saya tidak mau bau badan saya adalah hal terakhir yang dicium si penulis.”
Kalau kita bicara di podium, kemungkinan besar kita tidak akan mengakui pikiran seperti di atas, walau bisa jadi pikiran serupa terlintas di benak kita. Kita akan menyebut prinsip membela kebebasan berekspresi dan seterusnya. Komedi berani berterus-terang soal hal-hal ‘remeh-temeh’ yang juga bagian dari diri kita. Dengan demikian, ia menantang kita untuk melihat hidup dan masyarakat kita dengan lebih utuh.
Eliza Vitri Handayani adalah penulis, kekasih, introvert, petualang, tidak religius, sering depresi dan kurang percaya diri, tapi pantang menyerah. Ia juga seorang penyintas dan banyak lagi. Sapa dia melalui Instagram dan Twitter: @elizavitri.
*Foto: Twitter @Sakdiyah Maruf
Comments