Saya berkenalan dengan banyak orang baru dan dari berbagai kalangan setiap harinya. Sebagian besar hari-hari saya selama saya menetap di Bali saya habiskan bersama teman-teman yang tak lain adalah residen di panti rehabilitasi milik LSM tempat saya bekerja dan rekan-rekan kerja saya yang hampir semuanya merupakan mantan pecandu. Kami berkomunikasi dan berinteraksi seperti biasa, seperti layaknya teman bermain atau sebuah keluarga kecil.
Semua stigma tentang pecandu yang selama ini dijejalkan di kepala saya sejak dulu perlahan cair. Mereka sama seperti kita, makan makanan yang sama, membicarakan hal yang kurang lebih sama, dan kami berinteraksi dan berteman baik dengan mereka, pecandu maupun mantan pecandu. Hal yang mereka coba tekankan dan jelaskan pada saya adalah kecanduan tidak bisa sembuh, melainkan bisa perlahan dikurangi kadar konsumsinya dan diharapkan seiring berjalannya waktu akan berhenti menggunakan zat adiktif lagi (tentunya dengan pola hidup yang sehat dan tekad yang kuat untuk menjadi clean atau bersih). Namun, hal tersebut tidak serta merta menjamin mantan pecandu untuk tidak kembali lagi menggunakan zat adiktif. Semua dikembalikan lagi kepada niat dan tekad seorang pecandu ketika memutuskan untuk di rehabilitasi dan tentu saja, tidak terlepas dari dukungan keluarga, teman-teman dan orang terdekat pecandu itu sendiri.
Masyarakat awam secara umum menganggap pecandu narkoba sampah masyarakat, penyakit rakyat yang harus disembuhkan dan jika tidak bisa sembuh, dibasmi saja. Semua stigma yang terbangun dalam masyarakat mengenai seorang pecandu tak jauh-jauh dari citra negatif dan dampak negatif yang diperkirakan akan selalu menghantui kehidupan para pecandu tersebut --terkena HIV, kualitas hidup rendah, meninggal karena overdosis, dan lain-lain. Dan stigma dalam masyarakat itulah yang sedang diperjuangkan untuk diluruskan kembali oleh rekan-rekan kerja dan saya di LSM tersebut. Pentingnya peran keluarga, dukungan mental dan moral orang-orang di sekitar pecandu sejatinya mampu mendorong pecandu meningkatan kualitas hidupnya menjadi lebih baik. Namun hal ini tidaklah mudah, jangankan mengubah stigma, menggeser prespektif publik terhadap seorang pecandu secara umum saja sangat susah.
Bagi perempuan pecandu narkoba, di tengah masyarakat yang menganut nilai-nilai patriarkal yang kental, stigma yang dihadapi mereka berlipat ganda. Selama saya bekerja pada LSM tersebut, saya tidak berhasil bertemu dengan teman-teman pecandu perempuan yang berada di dalam lembaga pemasyarakatan. Beberapa rekan kerja menyatakan bahwa sangat sulit melakukan pendekatan terhadap pecandu perempuan karena mereka sangat tertutup, terutama terkait hal-hal buruk yang secara spesifik menimpa mereka, seperti pemalakan, dimana mereka/keluarga (jika ada yang mengakui mereka, entah suami/anak/orangtua) dimintai uang sebagai jaminan, entah jaminan untuk apa oleh oknum-oknum tertentu), hingga kekerasan baik verbal, fisik hingga seksual yang dialami oleh mereka sejak mereka dinyatakan sebagai tahanan.
Saya akhirnya berkesempatan bertemu para perempuan pecandu dan mantan pecandu dari seluruh Indonesia dalam sebuah pertemuan nasional. Ketika berkenalan dengan mereka, semua terasa cukup normal. Obrolan kami santai seperti mengobrol dengan teman sebaya. Beberapa dari mereka adalah orangtua tunggal dan ibu rumah tangga. Mereka sama seperti saya dan mungkin anda, sama seperti ibu saya dan mungkin ibu anda. Mereka perempuan dengan segala tanggung jawab yang disematkan pada mereka dan mereka menjalankan tanggung jawab dengan baik. Mereka membesarkan anak-anak mereka dengan penuh cinta, mendidik mereka, merawat keluarga mereka selayaknya seorang ibu, seorang perempuan pada umumnya (beberapa dari peserta pertemuan tersebut sedang dalam keadaan hamil saat itu, sekarang beberapa di antaranya sudah melahirkan dan bayinya tumbuh menjadi bayi-bayi yang sehat dan bahagia).
Dalam pertemuan tersebut kami banyak sekali menghabiskan waktu dengan berdiskusi hingga larut malam dan mengobrol mengenai program apa saja yang sudah ada dari masing-masing daerah dan sebagaimana besar dukungan pemerintah dan pihak berwenang terhadap program tersebut dalam memfasilitasi pecandu perempuan. Kami sempat membedah beberapa program yang kami rasa dibutuhkan oleh pecandu perempuan seperti tempat layanan kesehatan yang ramah dan nyaman, terutama bagi perempuan yang memiliki anak atau bayi. Pelayanan disini tidak terlepas bagi pecandu perempuan saja namun juga bagi perempuan maupun anak-anak yang berstatus HIV positif maupun dengan Hepatitis C.
Lebih dalamnya, kami membahas peran perempuan dalam penanggulangan HIV/AIDS di daerah masing-masing dan keterlibatan perempuan dalam pembuatan kebijakan didaerah masing-masing. Hasil dari diskusi tersebut kurang lebih sama di setiap daerah. Hal yang ditemui di setiap daerah kurang lebih adalah adanya stigma ganda terhadap pecandu perempuan sehingga kebutuhan mereka yang seharusnya dipenuhi seringkali tumpang tindih dengan kebutuhan pecandu secara umum. Adanya stigma ganda yang dihadapi oleh pecandu perempuan membuat tantangan yang mereka hadapi semakin besar untuk setidaknya mendapatkan pengakuan dan dilibatkan dalam pembuatan kebijakan yang menyangkut hajat hidup pecandu perempuan.
Saya berharap tulisan ini dapat membantu pembaca untuk melihat permasalahan ini melalui perspektif yang berbeda. Memang dibutuhkan sebuah keberanian untuk memperluas ranah berpikir dan memperluas pandangan untuk dapat mengerti bahwa sesuatu hal tidak selalu seperti apa yang kita lihat pada awalnya.
Joan Pattiwaellapia akan berusia 22 tahun ini. Sekarang ia berjuang mendapatkan gelar S1 dari jurusan Hubungan Internasional, dengan spesialisasi dalam Keamanan dan Perdamaian Internasional, dari Universitas Brawijaya. Ia masih mengerjakan tesisnya dan menulis di blog pribadinya
Comments