Feminisme Muslim Indonesia - Di tengah masyarakat yang konservatif dan religius seperti Indonesia, banyak ditemukan penafsiran ajaran agama serta keyakinan yang menempatkan perempuan di posisi yang tidak setara atau bahkan di bawah laki-laki. Hal tersebut melahirkan diskriminasi sistematis terhadap perempuan.
Profesor Alimatul Qibtiyah, guru besar bidang Ilmu Kajian Gender Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, mengatakan untuk mengatasi masalah diskriminasi terhadap perempuan, gerakan dan penerapan nilai-nilai feminisme di berbagai aspek kehidupan perlu dilakukan, termasuk dalam aspek agama, dalam hal ini Islam.
Seperti apa sesungguhnya gerakan feminisme muslim atau Islam di Indonesia? Menurut Alimatul, seperti halnya gerakan feminisme secara umum di Indonesia, gerakan feminisme muslim dipengaruhi faktor internal dan eksternal.
“Di dalam faktor internal, perjuangan keadilan gender di Indonesia sangat dipengaruhi oleh perjuangan aktivis-aktivis perempuan dalam organisasi-organisasi pergerakan dengan pemahaman beragam mengenai isu perempuan. Dalam faktor eksternal, ideologi gender pemerintah, pengaruh internasional, pergerakan Islam progresif dan kelompok Islam konservatiflah yang memainkan peran,” ujar Alimatul, yang juga Komisioner Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dalam forum bertajuk “Peta Pemikiran dan Gerakan Perempuan Indonesia” yang diselenggarakan lembaga Reducates (13/11).
Meski telah ada gerakan perempuan muslim dari lembaga-lembaga afiliasi agama, gerakan feminisme muslim hadir dan menguat pada tahun 1990an di Indonesia sebagai hasil dari pengaruh internasional. Akademisi UIN Sunan Gunung Jati, Prof. Nina Nurmila, menyatakan dalam jurnalnya bahwa feminisme muslim muncul di Indonesia sekitar satu dekade lebih lama dibanding feminisme sekuler karena baru pada periode tersebut muncul pionir-pionir feminis muslim Indonesia setelah mereka menyelesaikan pendidikan terkait gender dari luar.
Baca juga: Feminisme, Islam, dan Permainan Waktu
Lalu sejak awal 1990-an, banyak karya feminis Muslim global telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia seperti karya-karya Fatima Mernissi, amina wadud, Nawal el-Saadawi, dan Asma Barlas. Karya-karya mereka sangat berpengaruh dalam meningkatkan kesadaran umat Islam Indonesia tentang Islam sebagai agama yang mendukung kesetaraan dan keadilan. Sayangnya, ajaran Islam tersebut telah dikaburkan oleh tafsir patriarkal yang kerap menempatkan perempuan di posisi subordinat.
“Feminisme muslim muncul dalam diskursus pergerakan perempuan di Indonesia sebagai usaha untuk memastikan perempuan tidak mengalami diskriminasi dari pemahaman dan praktik beragama yang mereka yakini sebagai jalan kebenaran,” kata Alimatul dalam pidato pengukuhan guru besarnya pada 17 September 2020, yang membahas mengenai arah gerakan feminis muslim di Indonesia.
Pendekatan Feminisme Muslim di Indonesia
Alimatul mengatakan, dalam mengupayakan keadilan gender di Indonesia, para feminis muslim memakai pendekatan sejarah dan hermeneutika dalam membaca juga menafsirkan ulang ayat-ayat suci.
“Hal ini dilakukan untuk membongkar pemahaman bias gender dan patriarkal yang sudah mapan dalam budaya masyarakat Indonesia,” ujarnya.
Selain mengedepankan pendekatan hermeuneutik dan sejarah, Alimatul mengatakan bahwa para feminis Muslim juga menggunakan pendekatan bayani, burhani, dan irfani. Bayani mengacu pada landasan normatif baik dari ayat Al-Qur’an dan hadis, sedangkan burhani mengacu pada ilmu pengetahuan dan fenomena empiris. Sementara irfani berarti hati nurani atau nilai-nilai kemanusiaan.
Baca juga: Menelusuri Jejak Feminisme di dalam Islam
Dalam konteks keseluruhannya, ketiga pendekatan itu memiliki makna yakni saat mendiskusikan isu-isu terkait gender dan hak-hak perempuan, para feminis Muslim akan mencari tahu dahulu landasan normatif (bayani), landasan pengetahuan dan fenomena empiris (burhani), dan kemudian dikontemplasikan dengan nilai-nilai kemanusian (irfani).
Alimatul menjelaskan, pergerakan feminis muslim memiliki tiga isu utama yang menjadi lokusnya: Tubuh perempuan, keluarga, dan peran publik. Dalam isu tubuh perempuan, tercakup masalah otonomi tubuh di mana feminis muslim cenderung menyerahkan keputusan negosiasi agama dan feminisme kepada sang pemilik tubuh itu sendiri.
“Dalam kasus marital rape misalnya, feminis Muslim berpendapat bahwa relasi seksual suami-istri harus dilakukan dengan cara yang makruf (mua’syaraoh bil ma’ruf) dalam artian kepuasan seksual itu hak dan kewajiban bersama antara suami dan istri. Di dalam relasi seksual itu, perempuan sebenarnya memiliki kuasa atas tubuhnya sendiri dan memiliki hak untuk mendapatkan kepuasan seksual mereka tanpa adanya paksaan dari pihak laki-laki,” ujar Alimatul.
“Feminisme muslim muncul dalam diskursus pergerakan perempuan di Indonesia sebagai usaha untuk memastikan perempuan tidak mengalami diskriminasi dari pemahaman dan praktik beragama yang mereka yakini sebagai jalan kebenaran.”
Hal ini juga pernah disampaikan oleh feminis muslim Prof. Musdah Mulia, yang menyatakan bahwa di Al-Qur’an dalam Surat Al-Baqarah ayat 187, laki-laki dan perempuan diibaratkan sebagai pakaian yang saling melengkapi satu sama lain. Oleh sebab itu, perkawinan hendaknya dibangun atas dasar-dasar prinsip kesetaraan yang didasarkan oleh kesepakatan atau negosiasi bersama. Di sinilah titik temu antara ajaran agama dan feminisme dimunculkan dengan kesepakatan bahwa marital rape benar adanya dan praktiknya menentang nilai-nilai keislaman yang ada.
Negosiasi Nafkah dan Reproduksi
Terkait isu keluarga, Alimatul mengatakan bahwa para feminis muslim dengan pemahaman agama yang progresif menganggap bahwa nafkah dan reproduksi itu dapat dinegosiasikan oleh laki-laki dan perempuan.
“Negosiasi ini memiliki arti ketika sang istri sudah tidak mengemban tugas reproduksi yang berat, maka masalah nafkah dapat dipenuhi baik oleh laki-laki maupun perempuan sesuai dengan kesepakatan yang didasarkan pada kebaikan untuk keluarga masing-masing. Pertimbangan lainnya juga dapat didasarkan pada pembagian peran mana yang lebih menguntungkan untuk semua anggota keluarga tanpa melihat jenis kelaminnya,” ujar Alimatul.
Dengan demikian, ujarnya, persoalan nafkah utama keluarga bukan menjadi sebuah beban sepihak yang diberikan kepada laki-laki, melainkan lebih kepada tanggung jawab bersama suami dan istri.
Hal serupa berlaku dalam konteks pembagian kerja domestik, yang juga dapat dinegosiasikan oleh suami dan istri terkait siapa yang melalukan apa, dan proporsi di antara keduanya.
Berbicara mengenai peran publik perempuan, Alimatul menilai bahwa isu tersebut menjadi satu tantangan tersendiri bagi feminis muslim, akibat menguatnya kelompok konservatif agama di Indonesia yang kerap menggaungkan kembali ajakan perempuan untuk keluar dari ranah publik.
Baca juga: Apakah Feminisme Bisa Selaras dengan Ajaran Islam?
Dalam lokus pergerakan ini, feminis muslim memiliki tujuan khusus dalam mendorong perempuan untuk berkiprah seluas-luasnya dengan bebas di ruang publik demi kebaikan umat Islam itu sendiri.
“Tujuan lokus pergerakan ini menjadi titik temu dengan prinsip feminis di mana akses, partisipasi, kontrol, dan manfaat dari pembangunan atau sumber daya harus diikuti dan dinikmati oleh perempuan,” kata Alimatul.
Dalam lokus pergerakan ini, feminis muslim berusaha untuk mengangkat kembali isu kepemimpinan perempuan melalui historiografi pada zaman Nabi Muhammad dan sahabat Nabi. Contohnya, kiprah Khadijah sebagai saudagar kaya, Aisyah sebagai ahli hadis, atau Asy-Syifa binti Abdullah yang pakar dunia pengobatan dan merupakan guru perempuan pertama dalam Islam.
Tidak hanya itu, feminis muslim juga berjuang dalam menawarkan wacana alternatif dengan mengacu pada penafsiran dalil Al-Qur’an dan hadis yang mengedepankan persamaan hak laki-laki dan perempuan di berbagai bidang, termasuk di dalamnya bidang ekonomi sebagai bagian dari peran publik manusia.
Lewat perjuangan mengusung tiga lokus tadi, Alimatul mengatakan, feminisme muslim menunjukkan bahwa prinsip feminisme dan ajaran Islam bisa dipertemukan dan memiliki benang merah mengedepankan kesetaraan di antara semua umat manusia. Kehadiran kelompok feminis ini pada akhirnya menjadi angin segar bagi pergerakan perempuan di Indonesia dalam menghadapi kelompok konservatif agama. Lewat wacana alternatif yang feminis Muslim sampaikan, agama tidak lagi dilihat sebagai sebuah dogma misoginis yang buta gender, namun sebagai agama yang adil bagi tiap manusia.
Comments