Women Lead Pendidikan Seks
December 09, 2022

'Mau Disumbangkan, Kak?' Bagaimana Donasi di Kasir Tingkatkan Kecemasan

Riset terbaru kami menemukan ada dampak negatif dari kampanye meminta donasi di kasir.

by Na Young Lee dan Adam Hepworth
Lifestyle
Share:

Ternyata meminta pelanggan untuk berdonasi saat berbelanja bisa berdampak buruk. Alih-alih merasa senang untuk berdonasi saat membayarkan belanjaannya, kami justru menemukan ada kecemasan pelanggan dalam kampanye amal semacam ini.

Dalam studi kami, yang ditulis bersama Alex Zablah dari University of Tennessee, Knoxville (UTK) di AS, kami mempelajari bagaimana pelanggan di Amerika Serikat (AS) merespons permintaan donasi yang dilakukan kasir atau kios pembayaran otomatis.

Kami mewawancarai 60 pembelanja dan meminta mereka menggambarkan perasaan mereka ketika dimintai donasi saat melakukan pembayaran di berbagai outlet. Ini berdasarkan ingatan mereka saat interaksi tersebut terjadi.

Sebanyak 40 persen dari kata-kata yang responden kami pakai untuk menjawab pertanyaan tersebut merupakan ekspresi perasaan negatif yang berhubungan dengan kecemasan – seperti “tertekan”, “terganggu”, atau “khawatir akan dihakimi”. Sekitar 7 persen lainnya juga berkaitan dengan sentimen negatif, seperti “merasa bersalah” atau “tidak enak”. Sisanya netral seperti “biasa saja”.

Hanya 20 persen kata-kata dari responden wawancara merupakan deskripsi perasaan positif seperti “hal yang baik” atau “bentuk kasih sayang.”

Kami juga melakukan serangkaian eksperimen daring yang melibat 970 orang.

Kami meminta mereka membayangkan sedang melakukan pembelian, entah di layanan drive-through restoran cepat saji atau di supermarket. Setengah dari partisipan kami minta untuk membayangkan mereka dimintai sumbangan amal saat melakukan pembayaran.

Hasilnya konsisten dengan temuan kami saat wawancara. Peserta dalam kelompok yang diajak beramal mengalami lebih banyak kecemasan daripada mereka yang hanya harus fokus melakukan pembelian.

Kami juga menemukan bukti bahwa pelanggan bisa meredam rasa cemas ini ketika mereka setuju untuk berdonasi – tapi hanya jika permintaan ini datang dari kasir dan bukan dari permintaan otomatis yang dibuat komputer atau mesin pembayaran self-service.

Baca juga: Jangan Asal Buang, Ini Cara Bijak Donasi Baju saat Bencana

Mengapa ini Penting

Pada 2020 di AS, kampanye amal saat pembayaran menghasilkan US$605 juta (Rp9,33 triliun) untuk berbagai tujuan amal, meski banyak donasi hanya berhasil mengumpulkan beberapa sen.

Bisnis yang melakukan kampanye amal mengumpulkan sumbangan dari para pelanggannya. Mereka tak menerima keuntungan finansial langsung, seperti pemotongan pajak, dari mengumpulkan uang untuk bank makanan lokal atau kegiatan amal lainnya.

Jasa retail dan restoran mungkin berharap pelanggannya akan melihat mereka secara positif karena terlibat dalam kegiatan amal, dan terdapat beberapa bukti yang menunjukkan, pendekatan ini cukup berdampak.

Namun, studi kami menunjukkan bahwa bagi banyak pelanggan, hasilnya justru bisa berkebalikan. Mengingat alasan tersebut, jasa retail dan restoran mungkin sebaiknya mempertimbangkan risiko berpartisipasi dalam kampanye seperti itu.

Secara khusus, pelaku bisnis mungkin bisa menghindari meminta pelanggan untuk terlibat dalam kampanye amal lewat kios pembayaran otomatis – yang donasinya diminta oleh mesin alih-alih manusia.

Baca juga: Penyelewengan Dana ACT: Alasan Waspadai Lembaga Filantropi

Apa yang Belum Kami Tahu

Kami tak menyelidiki secara khusus mengapa permintaan donasi ini mengurangi popularitas tempat belanja. Bisa jadi, meminta pelanggan untuk beramal di depan pembeli lain membuat mereka merasa tertekan. Atau, mereka memang tak mau berdonasi dan merasa terganggu ketika diminta oleh kasir.

Kami juga tidak mempelajari apakah pelanggan tahu bahwa pelaku bisnis di AS dilarang untuk mengklaim uang yang didonasikan oleh pelanggan sebagai potongan pajak.The Conversation

Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.

Opini yang dinyatakan di artikel tidak mewakili pandangan Magdalene.co dan adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis.

Na Young Lee, Assistant Professor of Marketing, University of Dayton dan Adam Hepworth, Assistant Professor of Marketing, Ohio University.