Bagi perempuan di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan, menenun sutra bukan sekadar identitas kebudayaan, tapi sumber ekonomi utama. Bahkan di masa lampau kemampuan mereka untuk menenun sutra dengan warna cerah dan motif garis vertikal maupun horizontal, jadi parameter kelayakan seseorang untuk menikah.
Tak hanya dari proses pembuatan kain sutra saja, pemasaran kain untuk dijual, juga menjadi lahan yang didominasi perempuan. Meski demikian, di sektor budidaya ulat sutra hingga mengolah lahan daun murbei, semua dilakukan lelaki.
Sukma Taroniarta dan Nurul Huda Yahya dari Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Wilayah Sulawesi Selatan menyatakan, pengolahan daun murbei, budidaya ulat sutra, hingga hasil kain sutra termasuk produk turunan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Seluruh proses produksi tersebut termasuk dalam program Perhutanan Sosial dari pemerintah, guna memberi akses kelola atas wilayah hutan kepada masyarakat sekitar agar lebih sejahtera.
Sukma mengatakan, mengikuti Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial, pemerintah memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh akses kelola hutan.
“Ada 168 kelompok petani hutan di Sulawesi Selatan yang memperoleh akses Kelola Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) dengan rasio 53,98 persen anggotanya perempuan. Selain itu ada dua KUPS yang dipimpin perempuan,” ujar Sukma dalam peluncuran Jurnal Perempuan Edisi 111, bertajuk “Pendidikan Publik 111: Perempuan dan Perhutanan Sosial”, (30/5).
Akan tetapi, Sukma dalam penelitian berjudul Perempuan Pejuang Sutra di Kabupaten Wajo: Aktor Tunggal dan Tantangan Akses Program Perhutanan Sosial yang diterbitkan Jurnal Perempuan menemukan, beberapa tahun terakhir, ada pergeseran peran yang membuat perempuan melakukan seluruh proses produksi sutra. Akibatnya, perempuan tersebut mengalami beban kerja yang berlipat-lipat.
Beban kerja ini terkait dengan alih fungsi lahan murbei dengan kebun jagung lantaran lebih komersil. Daun murbei pun ditanaman di pekarangan rumah atau pinggir kebun. Perawatan daun murbei dan budidaya ulat sutra lalu dilimpahkan kepada perempuan sebab dinilai tak memerlukan waktu banyak untuk dikerjakan.
“Diversifikasi lahan dinilai sebagai tindakan ekonomi yang rasional dan lumrah. (Tetapi) mengubah struktur nafkah rumah tangga. Pergeseran berdampak pada perempuan menjadi aktor tunggal dalam usaha sutra,” ungkapnya.
Baca juga: Masyarakat Adat Kian Rentan AKibat Omnibus Law UU Cipta Kerja
Perhutanan Sosial dan Ketimpangan Gender
Sukma mengatakan, meskipun ada aturan yang tidak mengecualikan perempuan, pada praktiknya, masih ada stereotip negatif yang menganggap perempuan lamban dan pemalu. Dengan demikian, ruang geraknya untuk mendapatkan akses pelatihan dan pengembangan diri dalam produksi sutra dibatasi.
Ini kontras dengan nasib lelaki yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi. Mereka biasanya bakal diajak mengikuti beragam pelatihan pengembangan diri dalam pengolahan kain sutra, agar penjualannya dapat bersaing di era modern. Padahal kenyataannya, perempuan yang banyak bergerak di bidang tersebut.
“Ada perhitungan yang menyebutkan kualifikasi perempuan tak bisa masuk. Misalnya melek teknologi, saat ada e-learning di kampung, mereka tak bisa akses karena bapak-bapak yang memegang teknologi, seperti ponsel,” kata Sukma.
Isu ketimpangan yang dialami perempuan penenun sutra di Wajo tersebut juga dialami perempuan yang bergelut dalam program Perhutanan Sosial di daerah lain. Misalnya, Desa Harumansari, Kabupaten Garut yang memiliki skema Pengakuan dan Perlindungan Kemitraan Kehutanan (Kulin KK).
Ini tercermin dari riset bertajuk Analisis Politik Agraria dalam Akses Hutan di Wilayah Perhutani Melalui Program Perhutanan Sosial oleh asisten riset Yayasan Indonesia Cerah Sartika Nur Salahati. Salah satu poin di riset itu adalah masyarakat penerima SK pengelolaan kehutanan berhak mendapatkan pengakuan yang adil atas gender. Namun ironisnya, Lembaga Masyarakat Desa Hutan yang mengatur pengelolaan hingga program perhutani, masih didominasi lelaki.
Baca juga: Peran Vital Ibu Rumah Tangga dan Petani Perempuan dalam Aktivisme Lingkungan
“Dominasi itu menyebabkan perempuan mencari alternatif pekerjaan keluar desa, seperti menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau buruh tekstil di kota, seperti Bandung dan Bogor. Ini memisahkan perempuan dengan kehidupannya,” kata Sartika.
Selain itu, lanjutnya, jika perempuan menjual hasil pertaniannya, maka mereka akan menerima upah yang lebih kecil daripada laki-laki. Umumnya, perempuan menerima upah sebesar Rp10.000 untuk hasil kebunnya, sedangkan laki-laki menerima upah Rp30.000. Sementara alokasi (waktu) kerja perempuan lebih panjang karena ketika laki-laki bekerja di kebun atau sawah banyak yang menghabiskan waktu merokok atau minum kopi.
Ketimpangan upah itu juga tak bisa lepas dari stereotip perempuan lemah dan pantas diupah kecil. Hal itu memberi pengaruh buruk pada kebutuhan ekonomi, sedangkan banyak dari perempuan petani tersebut yang menjadi pencari nafkah tunggal karena menjadi janda atau suami yang mengalami sakit bertahun-tahun.
“Penyebaran informasi terpusat dan tidak (adanya) transparansi Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dalam proses bantuan menyulitkan sumber ekonomi karena ada resiko kecurangan dalam pembagian. Sementara kalau dilihat perempuan lebih banyak terlibat dalam hampir semua proses pertanian baik itu kebun atau sawah,” jelas Sartika.
Baca juga: Ekofeminisme: Perempuan dalam Pelestarian Lingkungan Hidup
Kebijakan Belum Sensitif Gender
Menurut laporan yang dirilis Pusat Telaah dan Informasi Regional, walaupun Permen LHK Nomor 9 Tahun 2021 tak mengecualikan perempuan sebagai subjek dalam mengelola hutan, implementasi kebijakannya belum sensitif gender. Pasalnya, pengajuan Perhutanan Sosial hanya bisa dilakukan oleh kepala keluarga. Sementara, menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, suami adalah kepala keluarga.
Berdasarkan laporan itu, Abby Gina Boang Manalu, Direktur dan Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan juga mengatakan, walaupun Perhutanan Sosial tidak melarang perempuan secara tertulis, kebijakan belum mengakomodasi perempuan akar rumput dan pedesaan. Ketika perempuan mengajukan surat izin mengelola hutan mereka kerap diremehkan oleh pemerintah daerah maupun laki-laki. Hal itu disampaikan dalam penelitiannya Partisipasi Perempuan dalam Perhutanan Sosial: Studi Kasus di Lima Provinsi di Nanggroe Aceh Darussalam, Bengkulu, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, dan Papua Barat.
“Di wilayah Aceh, pemerintah tak menganggap serius (surat izin untuk mengelola wilayah hutan) sebab stereotip gender dan pembagian kerja berdasarkan gender masih sangat kuat. Asumsinya kerja-kerja terkait hutan atau yang menggunakan tenaga fisik adalah bidang laki-laki,” ujarnya.
Hal senada juga terjadi di empat wilayah lain. Di Bengkulu, perempuan sulit terlibat dalam tata kelola hutan sosial karena dinilai tak memiliki kompetensi atau kecerdasan. Sedangkan di Kalimantan Barat, perempuan juga dipandang sebelah mata ketika berbicara tentang hutan dengan tingkat keterlibatan di bawah 30 persen.
Akan tetapi, ketika perempuan diberi ruang untuk terlibat, maka muncul perubahan yang cukup signifikan. Di Aceh, misalnya, dengan keterlibatan perempuan dalam pengelolaan hutan, mereka melakukan pendekatan dialog dan memberi pemahaman kepada pembalak liar kalau perbuatan mereka dapat dikenai sanksi hukum.
“Dari dialog itu hasilnya tidak terjadi banjir di beberapa tahun terakhir sejak perempuan terlibat dan mereka bisa mengembangkan ecotourism dengan tujuan pendidikan,” kata Abby.
Hana Satriyo, Deputy Country Representative Indonesia untuk The Asia Foundation juga bilang, “Berbagai studi menunjukkan, (saat) perempuan terlibat Perhutanan Sosial, hutan bisa dikelola lebih berkelanjutan. Ekonomi keluarga juga meningkat dan muncul kesetaraan karena ada pembagian peran. Ini bukti terstruktur soal peran perempuan.”
Dimintai pendapat soal peran perempuan, Kepala Biro Perencanaan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Apik Karyana angkat suara. Dalam hematnya, Kemen LHK berkomitmen dalam pengarusutamaan gender dan mengutamakan partisipasi masyarakat.
“Harus ada tambahan akses yang diberikan kepada kelompok tani (dan) paling penting akses pendampingan yang tak lepas dari mainstreaming gender,” ujarnya.
Masalahnya, apakah hal itu sudah dilakukan? Menurut Abby, kendati ada intervensi di level nasional, tapi jika instansi pemerintah tingkat rendah belum punya perspektif gender yang cukup. “Karenanya, kebijakan menjadi sekadar kebijakan, dan permasalahan yang dialami perempuan untuk terlibat lebih jauh tak terjawab.”
Jurnal Perempuan Edisi 111 dapat diakses di sini
Comments