Women Lead Pendidikan Seks
March 16, 2018

Prostitusi Bisa Jadi Pilihan yang Berdaulat

Tidak semua pekerja seks masuk ke dan bertahan di dunia prostitusi karena sangat membutuhkan uang atau korban perdagangan manusia.

by Or
Issues // Politics and Society
Sexual Liberation 45 Thumbnail, Magdalene
Share:

Artikel-artikel di Magdalene selalu menarik untuk dibaca, salah satunya adalah artikel berjudul “Prostitusi Bukanlah Pilihan” yang dimuat awal minggu ini. Setelah membaca artikel itu, saya tergerak untuk memberikan sedikit pandangan pribadi tentang prostitusi, berdasarkan sebuah film dokumenter yang saya tonton beberapa bulan lalu.

Berjudul Tales of the Night Fairies yang dibuat oleh Shohini Ghosh, pembuat film dan profesor asal India, film itu membuat saya berpikir ulang (dan berulang-ulang) tentang prostitusi. Sebelum melihat film tersebut, pandangan saya tentang prostitusi kurang lebih sebagai berikut: bahwa prostitusi adalah pekerjaan paling tua di dunia dan nampaknya tak akan pernah bisa dihilangkan; para pekerja seks terjun ke profesi itu karena membutuhkan uang atau menjadi korban perdagangan manusia; perlu adanya perlindungan baik bagi pekerja seks maupun pelanggan dan pasangan resmi pelanggan; dan setiap perempuan adalah korban patriarki dalam ranah prostitusi. Secara emosi, perasaan saya campur aduk tentang prostitusi karena ide monogami dan kesetiaan begitu lekat di kepala.

Dengan dasar pandangan itulah saya menonton Tales of the Night Fairies. Film ini menakjubkan, karena membuat saya mempertanyakan kembali apa yang sudah tertanam dalam pikiran. Singkatnya, film dokumenter tersebut menunjukkan bahwa tidak semua pekerja seks masuk ke dan bertahan di dunia prostitusi karena sangat membutuhkan uang atau korban perdagangan manusia. Bahkan para pekerja seks yang diwawancara di film tersebut tidak menganggap pekerjaan mereka itu rendah. Beberapa dari mereka memang masuk ke dunia prostitusi karena sangat butuh uang, namun mereka bertahan di pekerjaan mereka karena merasa berdaulat dan merdeka dengan kehidupan yang mereka jalani.

Dalam salah satu petikan wawancara, seorang pekerja seks bahkan mencibir para istri, karena menurut dia, istri pun pelacur karena dia menjaja tubuhnya sebagai ganti mendapatkan perlindungan suami. Baginya, istri malah pelacur yang diperbudak, karena selain digunakan untuk hubungan seksual, seorang istri juga harus merawat rumah dan keluarga, bahkan harus tunduk pada aturan suami dan mertua. Sementara pekerja seks? Mereka bebas menentukan kapan akan menerima pelanggan atau tidak, boleh menolak pelanggan, uang yang diterima bisa mereka gunakan sesuka hati, dan bebas melenggang ke mana saja.

Karena ucapan si pekerja seks tersebut, saya jadi terpikir tentang fenomena prostitusi mandiri, tanpa germo. Beberapa yang terjun ke bidang ini memang sadar betul potensi tubuhnya untuk dijadikan modal mendapatkan uang. Ia merdeka mengapitalisasi tubuhnya sendiri. Bagi yang terjun ke dunia prostitusi atas keinginan sendiri, mereka tampaknya memiliki satu pandangan yang sama: seks adalah seks, uang adalah uang. Mereka yang berada dalam dunia prostitusi atau pornografi secara mandiri bahkan lebih merdeka dan berdaulat. Bebas menentukan kapan akan menerima pesanan, jenis pelanggan yang akan dilayani, atau bebas menentukan genre pornografi apa yang dia ingin tampilkan.

Apakah mereka yang masuk dan bertahan di dunia prostitusi atau pornografi karena keinginan sendiri, bahkan menentukan sendiri pola kerja mereka dapat kita sebut sebagai korban? Bila mendengarkan kesaksian mereka (para pekerja di film dokumenter tadi, wawancara Harriet Sugarcookie dengan UNILAD, atau artikel yang ditulis oleh seorang mantan pekerja seks), mereka bukanlah korban. Jadi, prostitusi seperti apa yang kita tentang sebenarnya?

Perdebatan tentang prostitusi jelas bukan hal baru, bahkan di kalangan feminis. Ada yang melihatnya sebagai produk patriarki, di mana obyektifikasi perempuan terlihat utuh dan jelas dalam prostitusi dan pornografi. Reaksi yang muncul juga beragam. Ada yang menentang prostitusi sama sekali, ada yang membebaskan, dan ada yang ingin mengaturnya. Tentu saja, terhadap masing-masing pendapat ada pro dan kontra. Namun, berhubung prostitusi adalah pekerjaan yang sudah sangat tua sekali usianya (sejak manusia mulai melembagakan seks melalui perkawinan), pekerjaan ini tidak akan lekang oleh waktu. Dilarang atau tidak, diatur atau tidak, prostitusi akan tetap ada.

Tales of Fairy Night mengajarkan saya untuk melihat sisi lain prostitusi. Para pekerja seks dalam dokumenter tersebut justru menjadi agen perubahan dalam dunia mereka. Mereka mengampanyekan penggunaan kondom, pemeriksaan kesehatan seksual berkala, dan membentuk aliansi pekerja seks untuk memberi perlindungan pada sesama sejawat. Mereka memberikan edukasi ke rumah-rumah bordil akan pentingnya penggunaan kondom, dan menariknya, mereka bahkan berani menolak dan mengusir pelanggan yang tidak ingin menggunakan kondom. Jika kita lihat fenomena di dalam negeri, para pekerja seks kita pun ada (mungkin lebih banyak dari yang saya perkirakan) yang sudah sangat sadar dan berdaulat dalam melindungi tubuhnya dari penyakit menular seksual. Apakah mereka bisa kita sebut korban?

Menariknya lagi, para pekerja seks yang digambarkan dalam film ini menjadi penahan dalam perdagangan manusia. Setiap ada perempuan baru yang ingin masuk ke dunia prostitusi, mereka wawancarai betul-betul, dan mereka berikan informasi apa yang akan terjadi bila si perempuan betul-betul menjadi pekerja seks. Mereka ingin perempuan yang masuk ke dunia prostitusi, masuk dengan kesadaran penuh. Mereka juga meminta perjanjian dari rumah-rumah bordil untuk tidak mempekerjakan pekerja seks di bawah umur.

Melihat perkembangan dunia prostitusi yang seperti itulah yang mengubah pandangan saya. Tentu saja, kekelaman dunia prostitusi tak bisa kita nafikan. Masih banyak yang terlibat dalam perdagangan manusia dan tidak mendapatkan hak-hak yang seharusnya melekat pada pekerja seks. Namun, kita juga tidak bisa menutup mata terhadap perubahan di bisnis prostitusi (sebagai gambaran, cobalah membaca linimasa akun Twitter @DrSprankle dan @LauraAgustin).

Karena itulah, saya pribadi tidak bisa lagi melihat prostitusi dan mereka yang terlibat di dalamnya mutlak sebagai korban. Sebagian (sebagian besar mungkin) memang korban, tapi ada sebagian lagi yang merdeka dan berdaulat menjalani pekerjaannya. Bila pekerjaan lain memiliki banyak sisi untuk ditilik, mengapa tidak dengan prostitusi?

Or meyakini ada banyak perspektif dalam sebuah isu, sehingga ia mencoba membuka pikirannya terus menerus (meski hal itu lebih mudah dikatakan daripada dilakukan).