Di atas ranjang berderik di bawah semburat temaram purnama,
Peluh dan lenguh menelisik kelopak sanggama demi selembar angka.
Erang dan gerayang sesap atma pada pucuk-pucuk geliat malam,
Merebah segenap nestapa dalam bebat selimut dan sudut pelupuk mata.
Noda bengis dan serapah mencengkeram serumpun helai pengap harap haluan.
Kidung-kidung penghiburan didendang kesiur angin dan dinding kalam.
Menggeligis remai tungkai kaki tercabik seperdu hardik oleh para wali tuhan,
atas selaput koyak moralitas yang telah tercoreng.
Mohonnya tak bertepi, meski angkuh mereka senantiasa merajai
Namun raung rengek tangis bayi butuh diredam sebotol perah dan sesuap nasi
Tersuruk-suruk berlari,
Bukan pendar sang surya yang dicari.
Cukup lengkung sabit dalam genggam, maka semuanya telah tercukupi.
Barangkali sembur kutuk mendabik muka tak lagi banyak berarti
Sebab segelintir sembilu berlabuh singgah dan esok lusa boleh jadi berlayar pergi
Puan geliat kelam malam, engkau benar perihal rumpang,
Bahwa utuh hanya sebatas legenda karangan pembual.
Kita tidak kembali seperti sediakala kita datang,
Selalu ada yang terpatri dan tertinggal.
Kita tidak pernah tetap perawan kembang,
Sebab ada satu-dua hal yang pernah kita lacurkan.
Dan apa yang tersisa bukan semata cacat rupa,
Hanya rekam jejak peristiwa manusia pernah dibawa ke mana.
Comments