Happy Valentine’s Day! Pada Hari Kasih Sayang yang katanya akal-akalan kapitalisme dan kebarat-baratan ini, Magdalene meluncurkan sesuatu yang (inginnya) lebih substansial. Kami sering sekali mendapatkan DM-DM berisi curhat, dan beberapa di antaranya mengenai isu LGBTQ. Kontributor Magdalene Paramita Mohamad kemudian dengan sukarela menawarkan untuk menjadi pengasuh kolom tanya jawab alias agony column untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar “loving and living while queer.” Kami menyambut hangat usul Mita, karena membayangkan mungkin sulit bagi para muda-mudi queer jika ingin bertanya mengenai kehidupan dan hubungan.
Kami kemudian mendapuk kontributor lain, Downtown Boy, untuk turut mengampu kolom ini. Keduanya menurut kami cukup tepat untuk berdiskusi mengenai permasalahan queer karena kebijakan yang datang tidak hanya dari usia (ahem) tapi juga pengalaman jatuh bangun di dunia queer. Mita dan DB bukan psikolog atau profesional kesehatan mental, hanya dua orang kakak yang ingin berbagi pengalaman dan tips seputar kehidupan sebagai queer di Indonesia. Jika ada yang ingin bertanya, silakan kirim pertanyaan kalian ke alamat email [email protected] dengan subjek “Queer Love.”
Hai Magdalene,
Bener enggak sih, laki-laki gay itu enggak bisa commit dalam suatu relationship? Is it a default by nature or common sense?
-- Pemuda gay nyaris frustrasi mencari komitmen
Kata Mita:
Pemuda yang baik,
Sebelum mulai, terima kasih atas pertanyaanmu. Semoga pendapat saya bisa membantumu dan mereka yang punya kegundahan (atau kegemasan) yang sama.
Saya menduga kamu menggunakan kata “commit” untuk merujuk pada kesetiaan dalam berhubungan seks, bukan keengganan membahas topik “Mau dibawa ke mana hubungan kita?” atau “Di mana nanti kita akan menghabiskan masa pensiun?”. Mungkin kamu ingin tahu apa betul laki-laki gay memang sulit melakukan monogami, dalam arti hanya berhubungan seks dengan satu orang saja, yakni pasangan romantisnya.
Saya melihat beberapa cara untuk menafsirkan pertanyaanmu. Penafsiran pertama adalah urusan statistik deskriptif: Betulkah sebagian besar laki-laki gay yang punya pasangan juga berhubungan intim dengan orang lain? Sebuah penelitian di AS tahun 2019 oleh Rhonda N. Balzarini dkk dengan sampel lebih dari 22.900 orang menunjukkan, proporsi mereka yang mengaku homoseksual (gay atau lesbian) dan terlibat dalam hubungan monogami tidak berbeda dengan yang mengaku homoseksual dan terlibat dalam hubungan non-monogami. Dengan kata lain, identifikasi diri sebagai gay atau lesbian tidak bisa memprediksi apakah seseorang akan terlibat hubungan monogami atau tidak.
Singkatnya, di AS kita punya peluang yang sama menemukan laki-laki gay yang hanya akan berhubungan seks dengan pasangan romantisnya dengan yang promiscuous. Saya tidak punya statistiknya untuk Indonesia, jadi saya tidak punya dasar yang kuat untuk bilang polanya akan beda di sini. Saya juga tidak pernah bertanya ke teman-teman pasangan gay tentang kehidupan seksual mereka. Pada dasarnya saya tidak tertarik dengan banyak hal yang melibatkan penis.
Baca juga: Budaya Kencan Gay: Rumit dan Diskriminatif
Saya duga pertanyaanmu muncul karena adanya stereotip tentang laki-laki gay. Stereotip ini tidak hanya ada di Indonesia. Kalau kita melihat budaya pop yang dibuat oleh dan untuk kalangan LGBTQ, stereotip ini pun sering diamini. Tapi apakah stereotip ini, walau ternyata mungkin bukan cerminan statistik, menunjukkan “apa yang seharusnya” atau “yang sudah dari sana-nya”?
Ada yang mengaitkan stereotip ini dengan evolutionary psychology, bahwa laki-laki memang punya insting untuk menyebarkan spermanya ke banyak perempuan, karena itulah cara untuk memastikan keberlangsungan spesies. Penjelasan yang sama sering pula dipakai untuk menjustifikasi poligami atau perselingkuhan oleh laki-laki heteroseksual.
Saya tidak pernah menelan begitu saja penjelasan evolutionary psychology, karena perilaku manusia selalu dipengaruhi oleh konteks, yang sering kali pengaruhnya lebih dominan daripada faktor internal.
Lagi pula, Pemuda Gay Pencari Pasangan Monogami, mengapa kita harus menerima “apa yang seharusnya” atau “apa yang secara alamiah sudah digariskan”? Bukankah itu dalil yang sering digunakan mereka untuk menyingkirkan LGBTQ?
Buat saya, komitmen adalah masalah mengikuti kesepakatan bersama. Dalam setiap hubungan, heteroseksual atau homoseksual, monogami atau poliamori, kesepakatan ini harus berasal dari pihak yang terlibat. Kesepakatan itu bisa diilhami norma yang dominan, bisa juga tidak. Yang lebih penting adalah kesepakatan ini dihasilkan dari negosiasi di antara pihak-pihak yang berkedudukan setara. Dalam sebuah hubungan, kesepakatan ini mencakup banyak hal, termasuk perilaku seksual.
Teruslah mencari, Pemuda. Secara statistik, kamu punya peluang mendapatkan pasangan yang mau diajak bermonogami. Jangan lupa sempatkan bersenang-senang dalam pencarianmu.
Baca juga: Bagi ‘Queer’, Kegagalan adalah Alternatif Bahagia
Downtown Boy says:
You ask a lot of question, don't you Missy? Or Mister? Ah, it doesn't matter, we're in a safe space here at Magdalene.
Quick and short answer: Yes gay men can and are capable of having monogamous relationship, meaning we are capable of having a sexual relationship with one person only.
Nonetheless, (gay) boys will be boys. We are sexual beings where emotional intelligence comes third (after contact sports and tote bags). Hence, many gay couples I know tend to break away from the conventional understanding of a monogamous relationship and they exercise varying degrees of “openness” in their relationship.
Much of this liberal thinking stems from the fact that gay marriage doesn’t exist in Indonesia, therefore gay couples don’t have–for a lack of better word–an end goal in their monogamous relationship. Things are surely different in countries where gay marriages are legal and socially accepted. I can imagine that younger gay guys now have greater incentives to enter into a monogamous relationship, so they can get married and adopt kids. Over there in the greener pasture, they have more choices and they can.
In the meantime, here In Indonesia, we’ll have to make do with what works best for each couple. How we make our relationships work may be different from the rest of our largely monogamous communities, but at the end of the day, we are capable of sharing our genuine love and dedication to other people–just like the rest of us in this wonderful world.
Comments