Women Lead Pendidikan Seks
June 23, 2014

Reformasi: Di mana Sekarang?

Seorang mantan aktivis mahasiswa yang diculik militer pada 1998, dan seorang ekonom yang secara aktif terlibat dalam gerakan Reformasi berbagi apa yang mereka pikirkan mengenai Indonesia sekarang, 16 tahun setelah rezim Soeharto berakhir.

by Karima Anjani
Issues // Politics and Society
Share:

Mei 1998 adalah peringatan lahirnya reformasi di Indonesia yang mengakhiri kekuasaan otoriter Soeharto selama tiga dekade. Namun, 16 tahun setelah proses demokrasi dimulai di Indonesia, begitu banyak hal yang masih perlu diperbaiki, bahkan menimbulkan pertanyaan apakah masa sekarang lebih baik atau buruk sebelum Reformasi. Kami bercakap-cakap dengan dua tokoh gerakan reformasi pada saat kebangkitan politik di Indonesia pada 1998. Mereka berbagi pendapat tentang perjuangan masa lalu dan perkembangan masa kini.
 
Nezar Patria adalah seorang aktivis pro-demokrasi. Pada 1998 ia diculik dan disandera selama beberapa hari. Ia menceritakan pengalamannya secara detail di laman  http://peace.home.xs4all.nl/pubeng/mov/movto/kepa.html.
 
     1. Apa menurut Anda hal positif dari gerakan reformasi?
 
Reformasi itu suatu fenomena yang mengubah cara fundamental hubungan kekuaasaan di Indonesia. Dua regulasi yang penting misalnya perubahan UU politik dimana semua orang bisa berpolitik tidak seperti sebelumnya. Kedua kebebasan pers. Dua aturan itu menjadi semacam garis pembatas rezim lama dan baru. Kebebasan pers tentu saja kemajuan yang bisa kita nikmati sampai hari ini, semua orang bisa mendirikan media tanpa harus melapor atau mempunyai izin khusus seperti SIUPP pada masa orde baru.
 
Dunia pers bisa menikmati kebebasan di bawah UU Pers No.40/1999. Semua orang bisa mendirikan media, bisa mengemukakan pendapatnya secara bebas dalam bentuk media apapun. Banyak orang mungkin saja tidak puas dengan beberapa pencapaian misalnya korupsi masih ada, soal pelanggaran HAM pada masa lalu tidak ada yang tuntas. Itu kekecewaan yag bisa dicatat. Tetapi perlu dicatat bahwa kesempatan orang untuk terus bertanya soal hal itu, menggugat kekuasaan hanya mungkin dalam ruang yang demokratis seperti sekarang ini.
 




      2. Apa dampak negatif atau penyesalan dari apa yang selama ini terjadi?
 
Hubungan antara politik semakin dekat dengan pasar. Ini juga akibat dari reformasi tadi, dan sistem politik makin jauh dari publik. Politik menjadi dekat dengan pasar sehingga menginterupsi wilayah-wilayah politik. Para pelaku bisnis masuk pada partai politik. Mereka menjadi ketua partai politik bahkan penguasa media, sehingga terjadi berbagai macam konflik kepentingan. Sebenarnya politik mengabdi pada publik, tapi yang terjadi tidak demikian. Gugatan-gugatan yang mengarah mengembalikan politik pada publik makin hari makin kuat. Maka dari simpati yang muncul untuk Jokowi yang sekarang begitu kuat dan juga tema-tema populis yang dibawa oleh Gerindra dan Prabowo dimakan dengan cepat di bawah. Itu karena ada kerinduan mengembalikan politik kepada publik.
 
      3. Apakah Anda masih punya harapan pada politik di Indonesia?
 
Saya berusaha untuk tidak pesimis dengan apa yang terjadi sekarang. Kalau kita lihat korupsi saat ini yang paling kasat mata, korupsi yang dilakukan oleh anggota parlemen, yang di banggar, dan sebagainya. Itu adalah excess dari yang namanya politik liberal dimana pemilu diselenggarakan dengan ongkos mahal, dan ada usaha-usaha untuk mengembalikan uang dengan korupsi pada saat berkuasa. Hampir semua partai politik terlibat korupsi dan tentu saja ini kita harus memperhatikan fenomena ini.
 
Apakah sistem pemilu sudah benar atau tidak? Apakah memberikan dampak positif atau justru yang negatif? Memang tidak ada satu sistem yang sempurna, namun sistem yang sekarang ini mengakibatkan pembelian suara itu menjadi merebak luar biasa, pembelian suara memanipulasi suara di bawah. Seorang caleg menghabiskan Rp 10 -15 milyar di dapilnya utk maju ke parlemen.
Vote buying, suap menyuap itu buruk utk demokrasi karena mereka mendidik rakyat untuk tidak bertanggung jawab pada pilihannya. Semakin banyak partai yang sangat korup atau yang sangat fasis, partai yang tidak punya komitmen dengan uang yang banyak, sehingga rakyat makin lama makin apolitis, makin lama makin oportunis. Sungguh mengerikan dan buruk  bagi character building pada bangsa ini.
 
Faisal Basri adalah seorang dosen di Universitas Indonesia. Ia adalah seorang ekonom dan salah satu pendiri Partai Amanat Nasional, namun ia telah keluar dari partai tersebut. Ia pernah mencalonkan diri pada pilkada gubernur Jakarta di tahun 2012 sebagai calon independen.
 

  1. Apa yang Anda lakukan pada jaman gerakan refomasi? 

Selama pergolakan politik yang melahirkan reformasi, saya dosen FEUI dan ketua jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan. Saya berpidato pada demonstrasi pertama di UI. Tapi pada waktu demokrasi pertama di UI, dia atas kap mobil (belum pakai panggung) saya tegas mengatakan bahwa musuh kita adalah Soeharto.
Saya kerap diminta masukan oleh mahasiswa yang tergabung dalam KB-UI (Keluarga Besar UI) yang mejadi ujung tombak demonstrasi menumbangkan Soeharto dan menduduki gedung DPR/MPR.
Di dalam negeri kami sangat intensif berdiskusi dan mempersiapkan langkah-langkah gerakan dan bagaimana mengisi pasca Soeharto. Bersama Goenawan Mohammad, Sandra Hamid, Santoso, Syamsuddin Haris, kami membentuk tim monitoring Kabinet yang baru dibentuk Soeharto. Kami meminta Amien Rais sebagai ketuanya. Namun, tim monitoring tak berumur panjang karena tidak relevan lagi.
Perkembangan sedemikian cepat. Tak ada gunanya lagi memonitor, toh tim Soeharto sudah di ujung  kehancuran. Karena itu kami membentuk Majelis Amanat Rakyat (MARA) yang dideklarasikan pada hari pertama kekacauan di ibukota. Saya adalah salah satu deklaratornya. MARA merupakan cikal bakal PAN.
 
     2. Apa yang paling menggembirakan dari Reformasi?
Yang paling menggembirakan adalah karunia kebebasan. Tak ternilai. Kini segala perbedaan diselesaikan lewat mekanisme demokratis. Memang demokasi kita jauh dari sempurna, baru sebatas demokrasi prosedural, itu pun masih banyak kelemahannya. Tugas kita bersama untuk memperkokoh institusi politik dan ekonomi lewat mekanisme demokrasi. Mentransformasikan dari extractive political and economic institutions menuju inclusive political and economic institutions.
 

  1. Apa penyesalan Anda pasca Reformasi?

Demokrasi tidak sekali jadi. Harus terus diperkaya. Kalau ada yang hendak disesali, barangkali adalah: ketika Soeharto jatuh, sebetulnya rezim Orde Baru tetap kokoh. Mereka sedemikian kuat puluhan tahun menghimpun rente ekonomi, menggalang logistik maha dahsyat lewat praktek KKN. Sayangnya kekuatan reformis tak bersatu. Mereka sangat kompromistis pada kesempatan pertama, sehingga gagal mengunci kekuatan yang nyata-nyata telah memorakporandakan negeri Indonesia.
Pasca reformasi ketua DPR diduduki Akbar Tanjung, jabatan menteri pun mereka dapatkan. Pemilu 1999 Golkar menduduki posisi kedua dan pemilu 2004 Golkar pemenang. Tentu saja mereka kuat. Mereka memiliki kecukupan logistik dan jaringan yang kuat, dan pengalaman politik yang panjang. Jika kekuatan reformis bersatu dan tidak kompromistis, niscaya perubahan bakal lebih mudah, tidak dikendalai oleh vested interest kekuatan lama yang sudah mengakar.

  1. Apakah Anda akan mencalonkan diri untuk berpolitik lagi di masa depan?

Saya adalah salah seorang pendiri PAN dan menjadi sekjen yang pertama. Tapi hanya bertahan 2 tahun di partai. Pada awal tahun 2001 saya mundur dari partai. Tidak berarti saya surut dari arena politik, bahkan mungkin semakin intens berpolitik walau tidak lewat partai. Kami mendirikan organisasi politik Pergerakan Indonesia beberapa tahun kemudian. Kami berjuang memperkuat civil society untuk mengimbangi partai politik sekaligus mencetak kader-kader politisi muda yang mumpuni. Banyak di antaranya telah masuk partai politik dengan yang kiprah cukup membanggakan.
Saya pun ikut bangga memperjuangkan kehadiran kekuatan politik independen. Kami berhasil memperjuangkan calon independen sebagai calon pemimpin daerah: gubernur, bupati, walikota di Mahkamah Konstitusi. Bahkan pernah menjadi calon independen dalam Pilkada Jakarta. Kami merasa menang karena bisa mengimbangi partai politik, meredam praktek politik uang, dan mengajukan gagasan-gagasan alternatif yang segar. Harus ada yang tetap di luar arena partai politik, tetap bersuara lantang bagi terwujudnya perubahan yang hakiki. Memperkaya demokrasi kita, menghadirkan demokrasi substansial yang menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat banyak dan berkeadilan.
 
Ikuti @sirimski di Twitter
Diterjemahkan dari artikel “Reformasi: Where are We Now?