Ah-hyun Seo dan Kang-Won Song adalah sahabat masa kecil. Ikatan mereka begitu kuat selayaknya kakak dan adik yang lahir dari satu rahim. Mereka ada untuk satu sama lain hampir di setiap fase kehidupan yang mereka jalani. Tumbuh dewasa bersama sembari berusaha kuat menavigasikan harapan keluarga mereka.
Ah-hyun tentu merasa telah mengenal Kang-Won dengan baik. Namun, ternyata ia salah. Pada 2014, Kang-Won putuskan untuk melela melalui sebuah unggahan di Facebook. Keputusan ini kemudian disusul dengan Kang-Won yang pindah kewarganegaraan. Dari warga negara Korea Selatan, Kang-Won menjadi warga negara Amerika dan memulai kehidupan baru sebagai bagian dari angkatan darat Amerika Serikat.
Ah-Hyun cukup terkejut dengan keputusan Kang-Won yang bisa dibilang cukup tiba-tiba. Akan tetapi, ia tidak serta-merta menghakimi Kang-Won. Ia justru ingin memahami sahabatnya. Mencari tahu isi benak sang sahabat: Mengapa Kang-Won melakukan banyak keputusan berat dalam hidupnya di waktu bersamaan.
Dari titik ini, Ah-Hyun kemudian mengarahkan kamera ke arah Kang-Won dan dirinya sendiri.
Ada kerapuhan dan duka dalam perjalanan mereka. Perjalanan yang kemudian dikemas dalam film dokumenter Queer My Friends. Film yang ditayangkan secara daring pada Jakarta Independent Film Festival pada 2 sampai 6 November lalu.
Baca Juga: 6 Film Gay Thailand Rekomendasi 2021
Teralienasi dari Agama
Baik Ah-hyun dan Kang-Won adalah penganut agama Kristen yang taat. Apalagi keduanya juga datang dari keluarga yang religius. Absen dari kebaktian di gereja pada hari Minggu bukanlah opsi buat mereka.
Karena itu, ketika Kang-Won melela. Ah-hyun sempat dilanda kebingungan. Pasalnya, dalam ajaran agama yang selama ini ia ketahui homoseksualitas dianggap sebagai perbuatan dosa. Perbuatan dosa karena Allah menciptakan seks sebagai sesuai yang suci dan dipakai di dalam ikatan pernikahan. Sehingga, dimaksudkan hanya untuk memperkuat kesatuan suami istri dan melanjutkan keturunan.
Hal ini bikin Ah-hyun sempat bingung. Ia tak tahu harus bersikap seperti apa di depan sahabatnya sendiri. Ia juga bingung dengan keimanan dan ajaran agamanya sendiri.
Tahu bahwa kebingungan ini jika dibiarkan terlalu lama akan melukai keduanya, Ah-hyun pun akhirnya berefleksi tentang esensi beragama. Dalam sebuah adegan, Ah-yun yang sedang menyeruput kopi panas di rooftop atap apartemennya, merenung dan bertanya pada dunia.
Apakah ada orang yang tak pantas mengenal Tuhan?
Apakah benar agama tak mampu mengasihi dan merangkul setiap manusia?
Keputusan Kang-Won melela pada Ah-yun memantik pertanyaan-pertanyaan itu. Bukankah agama yang seharusnya mendamaikan jiwa manusia dengan segala pilihan yang mereka ambil, bukan justru berusaha mengotak-otakannya?
Refleksi yang kurang lebih sama juga dialami Kang-Won. Namun, rasa teralienasi lebih terasa dalam diri Kang-Won. Hal ini tak lain karena agama yang ia anut seakan berusaha menolak kehadirannya di dunia sekuat tenaga. Menjauhkan dirinya dari pilihan untuk bisa hidup bahagia. Misal, dalam satu adegan ketika ia berbincang dengan Ah-hyun di sebuah restoran, Kang-Won tak bisa menahan air matanya.
Dua bulan menjalin hubungan asmara dengan pacarnya Glen, Kang-Won mencapai satu titik ingin menikah dan membangun keluarga. Namun sayang, keinginannya harus dikubur jauh-jauh karena fakta pahit yang harus ia telan. Pernikahannya dengan Glen mungkin sampai kapan pun tak akan bisa terlaksana. Gereja dan saudara seimannya tak akan pernah bisa merestui ikatan mereka.
Kang-Won serasa terperangkap, tertangkap dalam dunia yang mengajarkan keimanannya tak bisa berjalan beriringan dengan orientasi seksual yang ia punya. Satu-satunya yang ia lihat adalah penolakan.
Penolakan yang kerap ia temui selama pergi ke gereja dan Queer Festival di mana kelompok agama senantiasa mengkhotbahkan retorika homofobia atas nama Tuhan sambil berteriak dengan pengeras suara.
Baca Juga: 5 Rekomendasi Film Gay Hollywood Terbaik untuk Akhir Pekan
Teralienasi dari Diri Sendiri
Kita tahu Korea Selatan punya budaya militer yang kuat. Budaya militer ini dibangun sejak ratusan tahun dan kini dianggap semakin penting mengingat situasi peran dingin berkepanjangan antara Korea Selatan dan Korea Utara. Namun di balik urgensinya, budaya militer Korea Selatan menyimpan ragam permasalahan, salah satunya diskriminasi sistemik pada kelompok LGBTQ.
Dalam hukum militer Korea Selatan, spesifiknya pada Undang-undang Pidana Angkatan Darat pasal 92 ayat 6 dinyatakan seks anal dan tindakan tidak senonoh lainnya antara personel militer dapat dihukum hingga dua tahun penjara. Militer Korea Selatan bersikukuh pasal ini tidak mendiskriminasi pelaku dengan orientasi seksual minoritas, tetapi kasus persekusi massal personel militer yang dianggap gay tahun 2017 jadi bukti nyata diskriminasi sistemik di Korea Selatan.
Diskriminasi sistemik inilah yang juga harus dialami Kang-Won. Keputusannya untuk pindah kewarganegaraan dan memilih menjadi tentara angkatan darat Amerika datang dari ketakutan terdalamnya didiskriminasi dan dipersekusi. Pada 2013, saat menjalani tes psikologi sebagai prasyarat akhir untuk lolos wajib militer, Kang-Won mendapat pertanyaan yang mengubah arah hidupnya untuk waktu lama.
Dalam tes itu, Kang-Won ditanya apakah dirinya penyuka sesama jenis atau tidak. Kang-Won pun menjawab dengan jujur tanpa keraguan, berharap pewawancaranya memahami orientasi seksualnya. Namun, respons yang ia dapatkan justru berkebalikan dengan apa yang ia harapkan.
“Kamu memilih jawaban yang salah,” begitu kata sang pewawancara yang disusul dengan wajah menghakimi.
Dari kejadian itu, Kang-Won dinyatakan tidak lolos seleksi wajib militer. Ia jelas kecewa dan sakit hati, tetapi rasa takutnya lebih mendominasi. Rasa takut ini yang membuat Kang-Won berusaha lari dari masyarakat yang akan terus menyangkal kehadirannya sampai ia menyerah pada diri sendiri.
Pindah kewarganegaraan dan jadi tentara angkatan darat Amerika adalah caranya melarikan diri, sekaligus jalan satu-satunya unjuk diri. Namun, saat itu Kang-Won untuk pertama kalinya mengalami depresi hingga harus menjalani perawatan medis.
Baca Juga: ‘Gaya Sa Pelikula’: Potret Kaya Kehidupan Gay dan Peliknya Persoalan Melela
Saat Kang-Won tengah berjuang dengan depresinya, Ah-hyun mencoba mengembalikan fokus kamera ke dirinya sendiri. Ah-hyun melihat dirinya sebagai perempuan gagal. Di usia 32, ia tinggal di rumah bersama orang tuanya dan tak bisa mendapat pekerjaan yang stabil. Ia juga belum punya pasangan, apalagi punya komitmen untuk menikah.
Ah-hyun pun dilanda kecemasan atas segala ketidakpastian dalam hidup. Ia merenungkan kehidupannya yang begitu mengecewakan. Sudah tak punya mimpi ingin melakukan apa selain membuat dokumenter, ia pun tak diberikan “keberuntungan” untuk jadi perempuan sukses yang menjalani hidup sesuai dengan harapan orang tua dan masyarakat.
Saat keduanya dalam titik terendah inilah, mereka menyadari ada untuk satu sama lain mungkin jadi hal penting agar dua-duanya bisa bertahan dan lanjutkan kehidupan. Cara yang dalam prosesnya membantu mereka sembuhkan luka akibat alienasi yang mereka alami.
Comments