Di berbagai negara, angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) melonjak seiring diberlakukannya kebijakan isolasi diri di rumah. Dilansir The Washington Post, di Tunisia, lima hari setelah masyarakat diminta tinggal di rumah, saluran siaga (hotline) untuk aduan kekerasan terhadap perempuan dibanjiri penelepon hingga lima kali lipat.
Sejak pemerintah memberlakukan lockdown untuk area Hubei, Cina, pada akhir Januari, seorang pendiri lembaga nonprofit anti-kekerasan domestik menyatakan bahwa laporan kekerasan domestik yang diterimanya naik dua kali lipat. Hal serupa terjadi juga di Spanyol dengan kenaikan aduan kekerasan domestik lewat saluran siaga sebesar 18 persen.
Beralih ke Australia, menurut catatan Domestic Violence NSW, naiknya angka kekerasan selama beberapa minggu terakhir mendorong kenaikan permintaan untuk advokasi lewat pengadilan dari para pelapor kekerasan domestik ke organisasi itu sebesar 40 persen. Dalam lima tahun terakhir, kenaikan tajam hingga 75 persen terjadi dalam pencarian di Google tentang bantuan untuk penyintas kekerasan domestik. Menyikapi hal ini, pemerintah Australia akan menyuntikkan dana sebesar A$150 juta untuk mendukung pemulihan kondisi warganya yang mengalami kekerasan domestik melalui sejumlah lembaga yang berfokus pada advokasi penyintas KDRT, demikian disampaikan dalam SBS News.
Bagaimana dengan di Indonesia? Meskipun belum ada angka pasti, baik dari lembaga nonprofit maupun Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) terkait jumlah laporan yang berhubungan dengan KDRT selama masa karantina diri, kekhawatiran akan turut melonjaknya kasus ini tetap muncul. Hal ini disampaikan Komnas Perempuan dalam rilis persnya mengenai perhatian khusus terhadap kerentanan perempuan dalam kondisi pandemi Covid-19.
Jika kamu atau kenalanmu berhadapan dengan situasi KDRT di tengah wabah Covid-19 ini, ada beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai langkah antisipatif dalam kondisi genting. Dalam webinar yang diselenggarakan Aliansi Satu Visi, Selasa (31/3), yang bertajuk “Ketika Rumah Bukan Ruang Aman”, psikolog Yayasan Pulih, Ika Putri Dewi mengatakan, penyintas KDRT perlu menyiapkan safety plan kalau-kalau kondisi KDRT sudah tidak tertahankan.
Berikut beberapa saran dari Ika yang kami sarikan.
-
Cari kamar atau ruang teraman
Dalam kondisi KDRT, penyintas perlu memastikan ruangan mana yang bisa dipakai untuk melindungi diri dari tindakan pelaku yang menyakiti, baik secara fisik maupun psikis. Di samping ruang aman, penyintas juga butuh memastikan jalur keluar rumah yang bisa diakses dan aman jika sewaktu-waktu terpaksa harus pergi dari rumah untuk menghindari kekerasan lebih lanjut.
Baca juga: KDRT Tinggalkan Trauma Panjang bagi Penyintas
Kendati demikian, anjuran mencari kamar ini bisa terasa tidak mudah diaplikasikan bagi mereka yang tinggal di rumah hanya dengan satu ruangan. Karenanya, Ika menyarankan untuk tetap memikirkan langkah kedua, yakni memastikan jalan keluar aman.
“Pastikan kita bisa punya akses jalan keluar. Sewaktu-waktu, ketika harus menghindari kekerasan, kita bisa keluar. Safety plan sifatnya sangat personal, enggak semua poin yang saya sebutkan bisa diterapkan. Tetapi intinya tiap korban/penyintas harus punya awareness dia dalam bahaya dan rencana untuk menyelamatkan diri dari situasi kekerasan,” ujarnya.
-
Identifikasi orang-orang yang bisa dipercaya
Bagi sebagian penyintas KDRT, sulit sekali untuk bersuara soal masalah yang merundungnya, apalagi berhubungan dengan nama baik keluarga. Namun penyintas tetap perlu menyampaikan kekerasan atau ancaman yang sedang dihadapinya kepada orang-orang tertentu supaya kalau terjadi hal yang tidak diinginkan, ada orang lain yang waspada dan dapat segera membantu pada saat itu.
Orang-orang yang dapat dipercaya bisa merupakan anggota keluarga sendiri, keluarga pelaku, atau tokoh di lingkungan sekitar.
“Bisa juga teman dekatnya, keluarga teman dekatnya, siapa pun yang mereka identifikasi care enough sama mereka. Itu yang harus dia pastikan dalam proses penyelamatan dirinya. Prinsipnya mencari dukungan sosial yang paling memungkinkan,” kata Ika.
Kamu bisa menceritakan kemungkinan tindakan kekerasan di kemudian hari berdasarkan pengalamanmu, dan mintalah mereka untuk mengecek keadaanmu atau anak-anakmu secara berkala. Bagikan pula kepada anak-anakmu kontak orang-orang yang bisa dipercaya ini sebagai langkah antisipatif ketika Anda tidak bisa membantu mereka.
-
Catat nomor layanan lembaga-lembaga advokasi masalah KDRT
Jika berbicara kepada anggota keluarga atau orang terdekat masih terasa sulit karena takut akan dihakimi, lakukan pengaduan kepada lembaga-lembaga yang peduli pada masalah KDRT seperti Komnas Perempuan, LBH Apik, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A), atau Yayasan Pulih.
Terbukalah dalam menceritakan perkembangan kasus kekerasan yang kamu alami supaya pihak-pihak yang kamu mintai pertolongan dapat sigap dan merujuk ke bantuan yang tepat selanjutnya.
Baca juga: Wabah Corona Langgengkan KDRT, Hambat Penanganan Kasus
-
Menyiapkan diri dan exit plan
Seperti dalam kondisi ibu hamil yang akan segera melahirkan, persiapan beberapa barang dalam satu tas dibutuhkan oleh penyintas KDRT. Masukkan dokumen-dokumen penting, barang berharga, beberapa pakaian, obat-obatan, dan alat keselamatan diri dalam situasi wabah (masker, sarung tangan, hand sanitizer).
Jika harus keluar dari rumah, rencanakan juga ke mana akan berlindung sementara waktu, apakah di rumah keluarga lainnya, teman, tetangga, atau penginapan. Kemudian, dengan moda transportasi apa Anda akan menyelamatkan diri juga perlu dipikirkan.
Jika kamu tidak mengalami KDRT tapi kenalanmu yang menghadapinya, ada beberapa hal yang patut diperhatikan untuk memastikan keselamatan kenalan kamu tersebut. Jaga jarak selama masa wabah memang perlu, tetapi kontak dengan penyintas untuk menanyakan apakah dia baik-baik saja perlu dijaga. Bila ada perubahan nada suara di telepon atau justru tidak ada kabar sama sekali selama beberapa hari, bersiagalah dan cari tahu kondisi penyintas. Kalau dibutuhkan, laporkan kepada yang berwajib atau otoritas di lingkungan mengenai keadaan kenalan Anda supaya Anda punya perpanjangan tangan untuk membantu penyintas.
Lalu, dalam manajemen kasus penyintas KDRT, kamu dapat pula membantu dengan mulai mengidentifikasi kebutuhan penyintas. Jika ditemukan kekerasan fisik, bantuan medis tentu menjadi hal pertama yang dibutuhkan penyintas. Kekerasan umumnya meninggalkan trauma bagi penyintas sehingga bantuan psikologis dari profesional juga menjadi hal yang tidak kalah penting untuk dicari kemudian.
Kalaupun bantuan profesional masih belum didapatkan, kamu sebagai teman atau keluarga bisa membantunya dengan merespons cerita penyintas dengan empati. Lalu, bila memang diinginkan penyintas, bantuan hukum dapat pula diusahakan meski jalannya mungkin lebih lambat dibanding hari-hari biasa tanpa kondisi wabah. Bukti-bukti yang ada, misalnya surat keterangan dari puskesmas atau rumah sakit terkait luka dari kekerasan fisik yang didapatkan beserta foto-fotonya bisa disimpan untuk kebutuhan advokasi hukum nanti.
Comments