Women Lead Pendidikan Seks
January 11, 2019

Saya Takut Menjadi Perempuan di Indonesia

Menjadi perempuan di Indonesia serba salah; berpakaian terbuka disebut nakal, berpakaian tertutup tetap mendapatkan pelecehan.

by Kanya Suryadewi
Issues // Politics and Society
Share:
Saya senang melakukan perjalanan seorang diri, berkelana dari satu tempat ke tempat lain. Mendatangi satu acara musik ke acara musik lainnya, dan mengunjungi banyak kafe serta tempat-tempat unik di seluruh penjuru kota. Tapi saya tak pernah sedikit pun merasa aman.

Sebagai seorang individu bebas yang hak dan kewajibannya dilindungi oleh negara, hidup di negara yang menganggap saya warganya tidak lantas membuat saya merasa aman.

Tentu hal tersebut diperparah dengan kejadian yang terjadi dengan teman-teman saya di luar sana. Sebut saja Agni, Ibu Nuril, pendangdut Via Vallen dan mungkin masih banyak lainnya.

Pemerkosaan Agni dianggap masalah “biasa”, Ibu Nuril bahkan dipenjara karena ia melaporkan pelecehan seksual yang ia terima, dan Via Vallen dimaki sebagai pelacur karena dianggap membawakan lagu milik seorang band tanpa izin.

Jujur saja, hal-hal tersebut yang membuat saya takut menjadi perempuan di Indonesia. Saya berhijab, tanpa memperlihatkan lekuk tubuh saya, tapi lantas tak membuat mata laki-laki menelanjangi saya dari atas hingga ujung kaki saya sembari mengatakan, “Badan mbak kecil juga ya? Pacarnya Mba pasti gampang, tuh ngegendong mbak pas malam pertama nanti.” Hal itu dikatakan oleh sopir taksi online sambil menyeringai.




Saya disumpahi, “Perempuan aneh. Kamu enggak akan dapat jodoh. Hidupmu tidak akan bahagia,” hanya karena saya menolak seorang pria yang selalu berlaku kasar dan selalu menyalahkan saya, entah karena saya telat memberinya kabar atau tiba-tiba menjauh darinya.

Teman-teman laki-laki di kantor saya tidak segan menunjukkan gambar-gambar alat kelamin pria, gambar orang sedang berhubungan seksual, mengejek buah dada saya kecil, serta mengatakan bahwa pasangan saya kelak tidak akan bahagia atas “kekurangan” yang saya miliki tersebut. Ketika saya mengatakan, “Maaf, saya enggak suka dengan candaan kalian,” mereka hanya bilang, “Ah, enggak seru lo jadi orang, ‘kan cuma bercanda. Pantes aja sampai sekarang belum dapat jodoh, bercanda begini aja ngambek.”

Saya adalah seorang manipulator, menurut mantan kekasih saya, ketika saya memberitahukan hal-hal yang terjadi saat kami masih berpacaran. Ketika saya mengatakan kepada teman-temannya bahwa dia berselingkuh, memaksa saya untuk berhubungan seks, dan kasar. Iya, saya manipulator, perempuan berbahaya baginya.

Saya takut menjadi perempuan di negara ini. Saya takut menjadi pribadi bebas untuk mengenakan pakaian apa pun, berkata atau melakukan apa pun, hingga berkata jujur di negara ini.

Saya takut. Saya benar-benar takut.

Kami diperkosa, kami diam. Mau menikah harus periksa tes keperawanan. Menjadi tidak perawan adalah hal memalukan. Berkata jujur tentang lingkungan sekitar dianggap tidak pantas. Berpakaian sesuka hati kami dianggap perempuan nakal. Berpakaian tertutup tanpa memperlihatkan apa yang mereka sebut aurat tidak menghalangi mereka menelanjangi kami. Melaporkan kekerasan dalam hubungan disebut manipulator. Tidak suka dengan candaan yang menjurus ke arah seksual disebut tidak punya sense of humor. Lalu kami harus apa?

Dan saya tahu, saya tidak sendiri. Karena ada banyak perempuan di luar sana yang juga merasakan hal yang sama. Merasa takut dan merasa tidak aman. Bahkan tidak percaya kepada diri mereka sendiri bahwa mereka pun pribadi yang bebas dan berhak melakukan apa pun secara aman.

Tapi sampai kapan kami harus terus bungkam?

Sampai kapan?

Kanya Suryadewi adalah seseorang yang senang membaca buku dan bercita-cita ingin menjadi penulis dan hidup di Yogyakarta. Semua tulisannya bisa dilihat di blog miliknya kutipankanya.wordpress.com.