Minggu lalu warganet di Twitter dihebohkan dengan pengungkapan dugaan pemerkosaan oleh tertuduh Nadi Tirta Pradesha, anggota Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi).
Peristiwa dua tahun lalu itu diungkap ke publik oleh akun @DianRatti, yang mengatakan diperkosa oleh tertuduh. Dia meminta pertanggungjawaban Ellena Ekarahendy selaku ketua Sindikasi, seraya menyertakan bukti tangkapan layar bahwa ia telah melakukan pelaporan lewat surel kepada Sindikasi dua tahun lalu lewat. Hanya saja saat itu ia memilih mengirim surel tersebut tanpa identitas. Dian Ratti mengekspresikan kemarahannya pada penanganan kasus yang seolah ditutup-tutupi oleh pihak internal Sindikasi.
Banyak orang terkejut dengan pengungkapan ini, mengingat Sindikasi dikenal sebagai organisasi pekerja yang progresif dan vokal terhadap isu-isu sosial politik. Dalam pernyataan sikapnya, Sindikasi mengatakan sudah membentuk tim investigasi dua tahun lalu, tapi karena tidak adanya pengaduan, maka kasus pun ditutup. Hal ini mengundang protes karena jika memang Sindikasi benar-benar berpihak pada korban, seharusnya tanpa ada pengaduan pun hal itu diselidiki, karena tidak semua korban berani angkat bicara. Dan seharusnya mereka tidak membiarkan tertuduh masih mendapatkan jabatan di organisasi tersebut sampai sekarang.
Sementara itu, tidak sedikit warganet yang menyebut Dian Ratti hanya mencari sensasi belaka, dengan muncul tiba-tiba dan angkat bicara tentang pemerkosaan yang dialaminya dua tahun lalu. Ada yang menyebut tuduhan pemerkosaan tersebut sebagai tindakan manipulatif dari Dian Ratti untuk memperlemah gerakan. Entah gerakan yang mana dan untuk siapa.
Kasus ini masih bergulir, namun komentar-komentar negatif terhadap Dian, dan fakta bahwa tertuduh adalah seorang aktivis, membuat saya terpelatuk (triggered) sebagai penyintas kekerasan seksual.
Laki-laki progresif bisa manipulatif
Lima tahun lalu, saya mengalami pelecehan seksual yang dilakukan oleh senior saya di kampus. Senior saya itu selalu tampil paling depan mengkritik pemerintah dan membual tentang teori-teori kelas dalam masyarakat setiap saat. Bahkan dia sempat mencalonkan diri sebagai ketua himpunan. Dia cukup dekat dengan dosen karena pemikiran-pemikirannya yang dianggap progresif. Tapi sayangnya, pemikiran progresif itu dibarengi dengan tindakan manipulatif.
Baca juga: 93 Persen Penyintas Tak Laporkan Pemerkosaan yang Dialami: Survei
Suatu malam saya ketiduran di sebuah ruangan, setelah berkegiatan sampai tengah malam di kampus. Pada saat itulah si senior melecehkan saya saat saya sedang tidak sadar, dengan jilbab dan kaos kaki yang masih menempel di tubuh saya. Saya kemudian terbangun, dan seperti banyak korban kekerasan seksual lainnya, saya membeku terdiam diri, sebelum saya kemudian berlari dan menangis sambil mencari pertolongan kepada teman saya.
Saya yang masih naif dan buta akan isu kekerasan seksual tidak tahu harus berbuat apa. Bertahun-tahun saya hidup dalam mimpi buruk dan trauma yang mendalam, tanpa tahu harus meminta bantuan ke mana. Saya masih duduk di semester dua kala itu, terlalu takut untuk melapor. Pertama, karena dia adalah senior saya. Kedua, saat itu saya berpikir bahwa orang-orang akan meragukan cerita saya karena pelakunya adalah laki-laki progresif, yang seharusnya mengerti kalau melakukan pelecehan seksual sama halnya dengan mencederai nilai kemanusiaan. Hal yang selama ini selalu digembar-gemborkan oleh pelaku.
Belakangan, setelah banyak belajar tentang isu gender, saya menyadari bahwa ketakutan untuk melapor itu bisa jadi karena tidak adanya lembaga yang menjamin rasa aman saya sebagai korban. Baik himpunan atau jurusan yang seharusnya bisa jadi tempat perlindungan, pada saat itu belum benar-benar mengampanyekan tentang penanganan kasus pelecehan seksual di kampus. Alhasil, saya yang masih trauma pada saat itu memilih bungkam saja. Karena belum pernah ada penanganan kasus pelecehan, saya takut menjadi orang yang mencoreng nama baik jurusan.
Baca juga: Sedihnya Melihat Aktivis Tapi Hipokrit
Mengapa baru sekarang?
Mungkin ketakutan itu pula yang membuat Dian Ratti memilih untuk mengirim pesan tanpa nama kepada Sindikasi, alih-alih mengungkapkan identitasnya sejak awal. Ia mungkin ingin tahu apakah Sindikasi bisa menjadi tempat yang aman atau tidak ketika ada anggotanya yang menjadi pelaku pemerkosaan. Mengingat Sindikasi merupakan organisasi progresif, seharusnya organisasi itu punya regulasi penanganan kasus pelecehan seksual, apalagi ini sudah masuk pemerkosaan.
Orang seperti Dian mungkin merasa menjadi korban dua kali. Sudahlah menanggung beban traumatis seumur hidup karena menjadi korban pemerkosaan, ia juga dikorbankan lagi karena melihat tertuduh masih bisa menjalani posisi dan kariernya dengan mulus.
Jika ada orang yang masih memberi komentar, “Kok baru sekarang speak up-nya?”, mungkin mereka tidak paham bahwa beban trauma akibat pemerkosaan itu ditanggung seumur hidup. Bagi saya, orang seperti Dian Ratti adalah perempuan pemberani karena berhasil melawan ketakutannya untuk speak up hanya dalam waktu dua tahun. Saya berharap bisa seberani itu lima tahun lalu.
Saya percaya bahwa di luar sana banyak juga korban-korban “brosialis”—istilah yang saya ambil dari teman saya yang sudah muak dengan tipe laki-laki yang koar-koar soal opresi kelas, penindasan oleh sistem kapitalisme, atau Omnibus Law, tapi buta melihat isu gender sebagai sesuatu yang krusial untuk dipahami.
Kini tahun berganti tahun, rasa penyesalan karena dulu tidak melapor supaya hidup pelaku sama tidak nyamannya dengan saya, masih selalu menggelayut. Perasaan tidak berdaya itu memang menyakitkan. Apalagi harus hidup melihat pelaku ongkang-ongkang kaki menggapai karier yang ia inginkan tanpa orang-orang tahu kalau dia itu predator. Jika bisa memutar waktu, saya ingin bisa menjadi seperti Dian Ratti yang berani bersuara, menuntut keadilan pada pihak-pihak yang sudah sepatutnya turut bertanggung jawab.
Comments