Seorang teman saya bercerita tentang gaji pekerjaan barunya yang tidak dibayarkan secara penuh sesuai perjanjian di awal. Ini kali kedua ia mengalami hal tersebut. Sebelumnya ia diam saja, dengan alasan jumlah yang diterima sesuai dengan perhitungannya yang belum bekerja satu bulan penuh. Ketika hal yang sama terjadi lagi, teman saya ini mulai kesal.
Saya menyarankannya meminta penjelasan dari manajemen, sekaligus menyalin surat kontrak atau mencetak slip gaji. Ketika saya singgung untuk ikut May Day (baik untuk ikut menyerukan aspirasi atau sekedar bersolidaritas), jawabannya membikin saya mengerutkan kening.
“Gue bukan buruh.”
Lantas?
“Gue staf.”
Beberapa tahun yang lalu saya juga dihadapkan pada pertanyaan yang kurang lebih sama. Menempuh studi di bidang komunikasi, saya (dan teman-teman) ditanya apakah orang yang bekerja di bidang tersebut dapat dikategorikan sebagai buruh. Tentu akhirnya tak semua dari kami setuju pada satu tesis yang diajukan. Namun saya sendiri sepakat, bahwa selama bukan pemilik modal, apa pun bidang pekerjaan yang dilakoni, saya (dan Anda) adalah pekerja; adalah buruh.
Momentum Hari Buruh Internasional atau May Day ini membuat saya menelisik ulang beberapa hal, terutama yang terkait dengan perempuan. Sejarah kita mencatat banyak kisah perjuangan perempuan di kancah perburuhan, di antaranya adalah Surastri Karma Trimurti, atau yang biasa disebut SK Trimurti, perempuan yang menjadi Menteri Perburuhan pertama pada kabinet Amir Syarifuddin (1947-1948). Menjadi motor Barisan Buruh Wanita di Partai Buruh Indonesia, iai juga merancang dan merumuskan Undang-undang Perburuhan.
Sebelum menduduki jabatan politik, Trimurti dikenal sebagai jurnalis yang vokal menyerukan semangat antipenjajahan dan antipenindasan. Hidup di tiga zaman, yaitu di era penjajahan Belanda, Jepang, dan pasca-kemerdekaan, integritasnya terbukti tidak bisa disuap oleh kekuasaan. Idealisme Trimurti tak hanya membuatnya berkali-kali masuk bui, tetapi juga bersitegang dengan penguasa. Hubungan dengan guru politiknya, Sukarno, renggang karena Trimurti mengkritik poligami yang dilakukan si bung. Ia juga dimasukkan dalam daftar hitam oleh Soeharto dari upacara peringatan kemerdekaan RI di istana negara usai terlibat dalam penandatanganan Petisi 50.
Lompat beberapa dekade setelahnya, kita memiliki Marsinah. Meski mengingat sosok yang satu ini juga berarti menanggung ngilu atas apa yang ia alami, tetapi jelas kita tidak boleh lupa. Kita tak boleh lupa bahwa perempuan buruh pabrik PT Catur Putra Surya (CPS) Porong, Jawa Timur ini dianiaya dan dibunuh dengan sadis pada 1993 karena berdemonstrasi memperjuangkan kenaikan upah para pekerja. Meski sempat menjalani proses sidang di pengadilan, para terdakwa pelaku pembunuhan Marsinah akhirnya dibebaskan. Kasus pembunuhan yang diduga penuh rekayasa itu menggantung tak tuntas.
Trimurti dan Marsinah hanyalah dua nama, dua sosok beda generasi yang berjuang di bidang yang sama, meski cara dan takdir keduanya berlainan. Keduanya mengingatkan saya pada sebuah kalimat yang paling saya ingat dari sekian kalimat yang tertulis di poster-poster Women’s March Jakarta, 4 Maret lalu: “A woman’s place is in the resistance”.
Kalimat di atas tentu bisa bermakna banyak hal. Bagi saya, resistensi perempuan adalah perlawanan atas penindasan yang dialami baik secara struktural maupun kultural. Resistensi perempuan, tanpa menafikan tindakan dan popularitas individu, adalah perjuangan komunal untuk kepentingan bersama. Maka barangkali akan lebih pas jika kalimat di atas sedikit diubah: “Women’s place is in the resistance”, sebab kolektivitas jelas merupakan faktor penting dalam perjuangan perempuan. Seperti telah dinyatakan para feminis abad lalu: sisterhood is powerful.
Lewat sekian lama setelah perjuangan Trimurti dan Marsinah, tak pelak kita masih menghadapi segudang permasalahan. Laporan yang dirilis Komite Aksi Perempuan (KAP) menunjukkan berbagai kasus yang menimpa buruh perempuan di Indonesia. Setidaknya ada delapan sektor yang menjadi perhatian KAP, yaitu perempuan buruh nelayan, buruh migran, buruh sektor formal, pekerja informal, buruh tani, pekerja rumah tangga, jurnalis dan pekerja kreatif, dan buruh lesbian dan transgender.
Laporan tersebut menegaskan betapa buruh perempuan masih rentan mengalami ketidakadilan. Mulai dari jam kerja yang berlebihan, gaji yang tidak sesuai/tidak dibayarkan, kesulitan memperoleh cuti haid atau melahirkan, kehilangan akses terhadap sumber produksi seperti yang banyak dialami perempuan petani atau nelayan yang digusur, perlindungan hukum yang tidak memadai—paling sering dialami buruh migran, dan sebagainya.
Sengkarut permasalahan buruh perempuan memang bukan persoalan yang dapat selesai dalam sekejap. Maka dalam berbagai kesempatan, para aktivis perburuhan menyerukan pentingnya berserikat. Solidaritas perlu terus dihidupkan lantaran resistensi adalah sebuah perjuangan bersama. Namun, untuk sampai pada resistensi semacam itu, kita pertama-tama harus membuka mata; menyingkirkan jauh-jauh ketidaktahuan yang membutakan bahwa telah terjadi ketidakadilan, serta mengakui bahwa selama bukan pemilik kapital, kita pun adalah buruh. Entah itu buruh korporasi, buruh media, atau buruh akademis!
Dalam hal ini, ada resistensi lain yang harus disingkirkan.
Selamat Hari Buruh.
Theresia Putri baru saja menamatkan studi di bidang jurnalisme. Saat ini mengisi waktu dengan membaca buku, menonton film, menyeduh kopi, dan menulis lepas. Bisa dijumpai di Twitter @salasikan.
Comments