Penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) memicu surutnya aktivitas dan pendapatan hampir di seluruh industri, termasuk di industri kreatif. Hal ini terlihat salah satunya dari survei Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) di pertengahan tahun ini yang melibatkan 139 pekerja di berbagai industri seni.
Hampir 50 persen responden menyatakan kehilangan potensi pendapatan Rp 5-30 juta sepanjang Maret hingga Juli, dan memaksa 41,6 persen responden untuk menguras tabungan pribadi.
Tommy Soesmanto, dosen ekonomi dan bisnis di Griffith University, Australia menjelaskan situasinya pada industri musik. Meksipun pendapatan dari penjualan musik tidak terlalu terdampak karena produksinya masih bisa dilakukan selama pembatasan sosial, pendapatan akibat konser turun secara drastis.
“Tapi arus lainnya yang melambangkan 50 persen dari total pendapatan adalah konser, penampilan, festival, dan lainnya. Bahkan, pada beberapa wawancara musisi yang saya lihat, musisi di Indonesia 70-80 persen pendapatannya dari konser,” kata Tommy.
“Saya tidak hanya bicara artis ternama, tapi juga musisi skala kecil dan mereka yang manggung di kafe dan pernikahan, imbasnya signifikan. Selain itu juga kru produksi, teknisi suara, dampaknya pada mereka bahkan lebih besar.”
Baca juga: Mampukah Milenial sebagai Generasi ‘Sandwich’ Baru Bertahan Ketika Pandemi?
Sebagian besar dari pekerja seni ini adalah anak muda - salah satu demografi yang paling rawan terkena dampak ekonomi dari pandemi COVID-19.
Pada tahun 2016, data Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menunjukkan hampir tiga perempat dari total jumlah pekerja kreatif di Indonesia merupakan Generasi Y dan Z. Proporsi terbesarnya, yakni 26,31 persen berusia 25-34 tahun.
Harriman Saragih, dosen pemasaran dan bisnis di Universitas Prasetya Mulya di Jakarta, mengatakan kondisi ini memaksa pekerja kreatif muda di Indonesia untuk mengasah naluri bisnis dan memperhatikan dengan lebih serius arus pendapatan dari karya mereka.
“Yang tadi mata pencahariannya hanya dari musik, atau hanya menulis di industri literatur, atau misal di seni pertunjukan seperti menari, juga harus mencari bentuk media lain seperti pindah ke daring supaya tetap mempertahankan arus pendapatan mereka,” katanya.
“Jadi pandemi ini memaksa pelaku kreatif ini menjadi yang saya bilang ‘enterpreneurial artists’ (seniman berjiwa bisnis).”
Dipaksa mencari pendapatan alternatif
Harriman mengatakan dalam produksi karya seni, pekerja kreatif terbagi berdasarkan bagaimana mereka memandang pasar.
“Kan biasanya dua ekstrem, ya. Ekstrim yang pertama yang super idealis dengan seninya, dan yang kedua ya sekadar mengikuti pasar saja,” katanya.
“Tapi pas kemakan pandemi mereka harus menggunakan kemampuan wirausahanya tidak hanya satu lini pendapatan saja, tapi juga lini pendapatan yang lain. Di sini, mereka menjadi enterpreneurial artists, mengasimilasi kebutuhan pasar dan apa yang jadi kemampuan seninya supaya tidak hanya terjebak idealisme.”
Salah satu cara melakukan ini adalah dengan memanfaatkan berbagai platform digital. Pekerja kreatif muda, menurut Tommy, dalam hal ini dapat melakukannya dengan mudah karena sifat mereka yang “internet savvy” atau melek internet.
Musisi Danilla Riyadi, misalnya, sejak pandemi COVID-19 semakin banyak mengandalkan pemasukan dari endorsement atau pesan sponsor melalui akun Instagramnya.
“Itu kan salah satu indikasi bahwa kapital yang dimiliki [Danilla] bukan hanya musik tapi juga kepribadiannya di media sosial. Itu modal yang dia pakai [untuk] arus pendapatan yang berkelanjutan,” kata Harriman.
“Kalau pemain kecil sayangnya harus merangkak, memanjat pelan-pelan karena memang tidak ada sokongan (kalau di musik misalnya label) sehingga tidak ada yang menjadi sponsor dan harus bergerak sendiri.”
Para pekerja kreatif skala kecil - yang proporsi anak mudanya lebih besar lagi - juga kesulitan untuk menguangkan pertunjukan online karena jumlah pengikutnya yang relatif kecil, kata Tommy.
Dalam data yang sama dari Kemenparekraf, sebanyak 75,14 persen dari pekerja kreatif skala kecil yang awalnya sudah setengah menganggur (bekerja kurang dari 35 jam per minggu) berasal dari Generasi Y dan Z.
Bagi mereka, alternatif lain untuk mendapatkan pendapatan ketika pandemi adalah dengan menjual keahlian mereka secara online.
“Saya banyak lihat musisi jadi pembicara di webinar, ini upaya mereka untuk tetap kreatif. Saya juga lihat beberapa musisi lain membuat kelas online,” terang Tommy.
Meningkatnya tren webinar atau kelas online berbayar di Indonesia ini salah satunya dipicu oleh permintaan materi pengembangan diri yang meningkat selama pandemi.
Survei dari perusahaan media DailySocial, misalnya, yang melibatkan 1447 responden di Indonesia menunjukkan hampir 60 persen responden mengikuti kegiatan online selama Maret hingga September tahun ini, dengan 51 persen di antaranya mengikuti acara atau kegiatan terkait hobi dan kemampuan seni.
“Ketika pandemi, event offline kan enggak boleh, akhirnya kami memutar otak di peluang digital,” kata Muhammad Ali Isa, seorang kreator animasi di Yogyakarta.
“Nggak jarang para kreator akhirnya membuka diri bikin webinar sebagai sumber pendapatan.”
Industri film dan video juga merupakan sektor kreatif lain di mana pekerjanya mengalami penurunan pendapatan yang signifikan.
Sutradara Joko Anwar, misalnya, mengatakan dari sekitar 130-140 film yang diproduksi di Indonesia per tahunnya, hanya setengah jumlah tersebut yang digarap pada tahun ini. Ini menimbulkan kerugian antara Rp 500 miliar hingga Rp 2,4 triliun yang juga berdampak besar pada pendapatan pekerja film.
Ozy Pohan, seorang produser muda salah satu rumah produksi video di Jakarta, mengamati munculnya tren pekerja kreatif muda menggunakan platfrom media berbasis video seperti TikTok sebagai respons atas keadaan ekonomi ini.
“Kalau kemarin kita menguatkan di medsos, misal membuat konten sesuatu. Karena kemarin hype banget ya, memasuki ranah TikTok. Ternyata konten TikTok bisa dijual juga,” kata Ozy.
Pada tahun ini, jumlah pengguna aktif TikTok secara meningkat setidaknya 35 persen selama pandemi menjadi hampir 700 juta pada Juli 2020, suatu tren yang juga terjadi di Indonesia. Sekitar 62 persen penggunanya berusia 10-29 tahun.
Di tengah pembatasan sosial akibat COVID-19, monetisasi iklan dari platform ini telah membantu berbagai pekerja kreatif untuk menyambung nyawa, dari musisi hingga komedian.
“TikTok lagi kenceng banget, pas pandemi orang butuh hiburan di rumah akhirnya TikTok menjadi salah satu pilihan untuk branding. Gue liat beberap tim ataupun pribadi masuk di TikTok dan cepat banget pertumbuhannya,” tambah Ozy.
Mencelupkan kaki di platform urun dana (crowdfunding)
Selain memperluas usaha kreatif mereka, seniman muda yang terdampak pandemi COVID-19 juga mulai mendayagunakan berbagai platform urun dana atau “crowdfunding”.
“Pemakaian platform crowdfunding seperti Karyakarsa tahun ini juga lumayan booming di Indonesia,” kata Tommy.
“Pada bulan Maret, saat pandemi mulai mengguncang ekonomi global, pemakaian Patreon dari segi pengguna dan kreator meningkat 36 persen.”
Karyakarsa sendiri merupakan startup crowdfunding yang didirikan pada Oktober tahun lalu.
Dengan mencontoh konsep dari Patreon, yakni platform serupa yang sudah terlebih dulu terkenal di dunia, Karyakarsa menyediakan tempat bagi pekerja kreatif untuk menjual komik, animasi, musik, dan karya lainnya dengan berbagai paket seperti merchandise dan konten eksklusif mulai dari Rp 10.000.
Baca juga: Bagaimana Merek Kecantikan Lokal Bertahan di Masa Pandemi
Menurut Tommy, meskipun platform crowdfunding pada industri musik tidak akan sepenuhnya menggantikan pendapatan musisi dari konser langsung, setidaknya bisa membantu pekerja seni skala kecil di tengah pandemi.
“Saya membayangkan, kalau yang terkenal mereka punya kapasitas untuk konser online, jadi menurut saya musisi yang lebih kecil yang akan mencoba memanfaatkan platform crowdfunding seperti Patreon atau Karyakarsa.”
Hal ini diafirmasi oleh Isa, yang juga mengamati hal tersebut di industri komik dan animasi.
“Beberapa aku lihat seperti [komikus] Sweta Kartika mulai di Karyakarsa. Ini mulai jadi platform yang ramai untuk penerbitan komik tapi kalau mau baca membayar, dan kreator yang lebih kecil mulai mengarah ke sana,” katanya.
“Kalau orang mulai bisa membayar webinar, apalagi sekarang sudah pada terbiasa dengan biaya Netflix atau Disney Plus, tidak menutup kemungkinan ‘oh di Karyakarsa juga bisa support kreator favoritku dengan mbayar’.”
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.
Comments