Beberapa bulan terakhir ini kualitas udara di sekitar Jabodetabek sering kali mencapai tingkat buruk, berdasarkan pantauan situs internasional airvisual.com. Terkadang angkanya mencapai 101-150, yang berarti sensitif untuk kelompok-kelompok rentan yang memiliki gangguan pernapasan.
Dokter Spesialis Paru Rumah Sakit Umum Persahabatan Jakarta, Erlang Samoedro mengatakan, penelitian lokal di Indonesia menunjukkan bahwa polusi udara menyumbang 21 persen sampai 24 persen pada kasus penurunan fungsi paru, dan 4 persen untuk kasus kanker paru.
Walaupun persentase kanker paru yang diakibatkan oleh polusi udara hanya empat persen, Erlang mengatakan jika polusi udara tidak ditanggulangi dengan cepat, hal ini akan berpotensi meningkatkan angka pengidap kanker paru.
Selain itu, polusi udara sangat berdampak negatif pada kelompok masyarakat tertentu, termasuk perempuan.
“Saya belum menemukan referensi khusus (untuk perempuan), namun memang populasi yang rentan terhadap polusi itu termasuk perempuan pekerja luar ruangan, perempuan hamil, anak-anak, dan lansia,” ujar Erlang kepada Magdalene baru-baru ini.
Selain gangguan fungsi pernapasan, polusi udara berpotensi memiliki dampak negatif terhadap kesehatan reproduksi perempuan, menurut penelitian oleh profesor Obstetri dan Ginekologi di Departemen Ilmu Kedokteran dan Bedah untuk Ibu, Anak dan Dewasa, Universitas Modena And Reggio Emilia, Italia.
Penelitian ini didasarkan pada pengukuran hormon yang diambil dari 1.300 perempuan Italia pada awal 2007 hingga 2017, seperti dikutip media Inggris The Guardian. Hasilnya, yang diumumkan pada Juli 2019, menunjukkan bahwa para perempuan yang tinggal di daerah dengan tingkat polusi udara yang tinggi berisiko lebih tinggi mengalami pengurangan cadangan sel telur.
Perbaikan regulasi
Dokter Erlang menyarankan agar warga Jakarta menggunakan masker yang lebih memberikan perlindungan terhadap polusi udara.
“Untuk kualitas udara saat ini sebaiknya menggunakan masker jenis N95. Filter dari masker ini mampu menyaring 95 persen partikel PM2,5 atau debu halus. Kalau masker biasa yang sering digunakan itu cuma 20-30 persen,” ujarnya.
Sementara itu, untuk mendesak pemerintah untuk mengatasi krisis polusi udara, sejumlah individu dan organisasi lingkungan seperti Greenpeace dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 1 Agustus.
Menamakan diri Koalisi Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta (Ibukota), gugatan tersebut ditujukan kepada Presiden Republik Indonesia, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Kesehatan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur DKI Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten.
Ayu Ezra Tiara, pengacara publik dari Lembaga bantuan Hukum (LBH) Jakarta yang merupakan bagian dari tim advokasi Koalisi Ibukota, mengatakan gugatan tersebut dilayangkan karena upaya pemerintah masih bersifat reaktif dan tidak menjawab permasalahan secara komprehensif.
“Misalnya, pemerintah provinsi DKI Jakarta menggunakan pohon lidah mertua untuk menanggulangi polusi udara. Ini berdasarkan riset tidak? Jadi sampai saat ini belum ada riset yang dilakukan oleh pemerintah,” ujar Ayu kepada wartawan sebelum sidang, yang kemudian ditunda hingga 22 Agustus 2019.
Masyarakat harus mulai meminta bahkan menuntut pemerintah untuk memperbaiki kualitas udara.
Fajri Fadhilah dari lembaga swadaya masyarakat Indonesian Center for Enviromental Law (ICEL), mengatakan pemerintah pusat dan daerah perlu memperbaiki regulasi terkait dengan isu ini.
“Pertama, pemerintah pusat sudah lalai dalam memperbarui standar baku mutu udara yang dianggap sehat. Saat ini kita masih berpatokan kepada Peraturan Pemerintah nomor 41 tahun 1999. Seharusnya baku mutu udara ditinjau tiap lima tahun sekali,” ujar Fajri, yang merupakan kepala divisi pencemaran di ICEL, kepada Magdalene.
Saat ini pemerintah pusat masih mengacu pada standar PM10 , atau partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 10 mikron (mikrometer), sedangkan Badan Kesehatan Dunia (WHO) memiliki standar PM2,5 atau partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2.5 mikron (mikrometer). Nilai ambang batas partikulat PM2, atau batas konsentrasi polusi udara, adalah 65 µgram/m3 untuk standar nasional, sedangkan menurut WHO adalah 25 µgram/m3.
Fajri mengatakan, pemerintah juga perlu menambahkan stasiun pemantau kualitas udara yang saat ini di Jakarta masih terbilang sangat kurang, yaitu tujuh stasiun.
“Padahal seharusnya, dari studi saat ini, yang moderat itu untuk ukuran daerah Jakarta harus ada 20 stasiun yang memantau,” ujarnya.
Selain standar kualitas udara, menurut Fajri, standar baku mutu emisi juga sangat perlu diketahui oleh masyarakat.
“Di dalam Pasal 49 PP Nomor 41 Tahun 1999, hasil dari baku mutu emisi wajib disebarluaskan oleh pemerintah kepada masyarakat, bersumber dari mana dan berapa banyak yang dibuang, perlu sekali diketahui,” ujarnya.
Pengawasan terhadap emisi ini juga masih belum terlaksana dengan baik, menurut Fajri. Salah satu contohnya pengawasan pemerintah terhadap kewajiban masyarakat melakukan uji emisi pada kendaraan bermotor yang mereka miliki.
“Selama ini masyarakat masih secara sukarela menjalankan, padahal sudah wajib. Uji emisi ini juga bisa dipadukan dengan regulasi lain seperti jika hasilnya sekian, tidak boleh masuk ke daerah tertentu,” kata Fajri.
Tidak hanya masukan untuk pemerintah, ia mengimbau masyarakat untuk mulai meminta bahkan menuntut pemerintah untuk memperbaiki kualitas udara ini.
“Masyarakat juga saat ini perlu mengakses data yang bisa diakses lewat gadget masing-masing dan melihat bagaimana kondisi kualitas udara saat ini dan mengantisipasinya menggunakan masker,” ujar Fajri.
Ia juga meminta sekolah untuk memperhatikan isu ini dan memberikan penyuluhan kepada orang tua murid mengenai bahaya dari polusi udara.
“Pihak sekolah dapat memberitahukan kapan siswa perlu menggunakan masker, agar anak-anak dapat terhindar dari dampak polusi udara ini,” kata Fajri.
“Dan yang terakhir saya juga mengimbau masyarakat mulai memaksimalkan transportasi publik.”
Comments