Women Lead Pendidikan Seks
March 08, 2018

Upaya Sektor Swasta Dukung Perempuan Indonesia Bekerja

Sektor swasta harus membantu perempuan menavigasi ranah profesional, personal, dan rumah tangga.

by Ayunda Nurvitasari
Issues // Politics and Society
Share:
 
Banyak perempuan bekerja menghadapi dilema saat mulai berumah tangga. Mereka sering kali terpaksa meninggalkan pekerjaannya karena kebijakan perusahaan tidak mendukung mereka menavigasi antara ranah profesi dengan ranah rumah tangga.
 
Hal ini menjadi salah satu tema dalam diskusi panel soal kesetaraan bertajuk “Peran Sektor Swasta dalam Kesetaraan Gender dan Pemberdayaan Perempuan” yang diselenggarakan oleh Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) bersama dengan UN Women baru-baru ini.
 
Dalam diskusi tersebut, beberapa perwakilan perusahaan swasta di Indonesia berbagi mengenai upaya-upaya yang perusahaan lakukan untuk mendukung pemberdayaan perempuan secara finansial.
 
Margie Margaret, Direktur perusahaan jasa finansial PricewaterhouseCoopers (PwC) Indonesia, mengatakan salah satu masalah utama yang menyebabkan minimnya peranan perempuan dalam sektor kerja adalah adanya tuntutan agar mereka tetap berada di ranah domestik.
 
“Banyak sekali contoh kasus perempuan yang memutuskan untuk berhenti bekerja karena urusan domestik. Selain memberi hak cuti pada suami, tentunya sebagai perusahaan yang bagus harus peka terhadap kebutuhan perempuan sehingga mereka tetap mendapat dukungan untuk berkiprah di sektor kerja,” jelas Margie.



 
Margie menyebutkan bahwa perusahaan juga harus menyediakan fasilitas yang mendorong kinerja perempuan yang berkeluarga, termasuk penitipan anak dan fasilitas laktasi.
 
“Beberapa negara di luar Indonesia sudah banyak menyediakan fasilitas penitipan anak sehingga memungkinkan [mengurus anak] bagi keluarga yang kedua orang tuanya bekerja. Tentu kita harus memahami kebutuhan ini sebab di zaman sekarang penghasilan satu pihak sudah sangat terbatas dan tidak realistis lagi untuk menyokong keperluan seluruh anggota keluarga,” tambahnya.
 
Dalam kerjanya, Margie menjelaskan bahwa perusahaannya telah banyak membantu perempuan-perempuan mencapai potensinya secara profesional.
 
“Kami berupaya mendukung perempuan-perempuan mitra kami dengan memberikan pelatihan yang memadai terkait bagaimana memberikan pelayanan yang baik pada masyarakat, bagaimana melakukan analisa data yang akurat, dan bagaimana mengembangkan keterampilan lainnya sehingga mereka tidak kalah bersaing di dunia kerja,” kata Margie.
 
Sementara itu, Bryan David Emil Tilaar, Presiden Direktur PT. Martina Berto, Martha Tilaar Group, mengatakan perusahaannya banyak fokus pada perempuan di ranah usaha kecil dan menengah.
 
“Kami mendirikan sekolah-sekolah kecantikan agar perempuan dapat lebih mendukung perempuan untuk berkembang dalam sektor ekonomi kreatif. Dengan keterampilan yang mereka peroleh, mereka dapat menjadi penata rias, membuka usaha salon, dan sebagainya,” kata Bryan.
 
Namun Bryan menyatakan bahwa perempuan-perempuan di perusahaannya justru cenderung “overconfident” (terlalu percaya diri) sehingga banyak yang akhirnya bercerai karena fokus penuh pada pekerjaan ketika posisi mereka mulai tinggi.
 
“Banyak perempuan yang cenderung memberatkan pekerjaan ketimbang rumah tangga. Menurut saya, perempuan seharusnya mampu menjaga keseimbangan antara ranah profesi dan domestik. Semoga tidak semakin banyak kasus perceraian karena perempuan yang cenderung memilih bekerja,” tambah Bryan.
 
Pernyataan ini menimbulkan protes dalam diskusi. Margie mengatakan pendapat Bryan semakin memvalidasi beban ganda pada pihak perempuan.
 
“Pertama, harus dipahami bahwa urusan domestik tidak hanya urusan istri. Suami juga seharusnya turut serta berkontribusi. Diperlukan keterlibatan kedua belah pihak dalam mewujudkan hubungan dalam rumah tangga yang baik dan sehat,” jelasnya.
 
Selain itu, ia juga menggarisbawahi adanya pergeseran paradigma sehingga suami-suami muda juga sudah mulai menuntut hak cuti agar memiliki waktu bersama anak.
 
“Perlu diketahui juga bahwa suami-suami generasi muda milenial sudah mulai sadar haknya. Mereka meminta diberi waktu untuk cuti mengurus anak. Tentu kita harus mendukung niat ini karena urusan domestik memang sejatinya bukan hanya urusan istri,” tambahnya.
 
Senada dengan Margie, Nining W. Permana, Presiden Tupperware Indonesia, mengatakan pentingnya perusahaan untuk meningkatkan kesadaran suami mengenai dukungan terhadap pekerjaan istri.
 
“Kami memahami kondisi ibu-ibu yang sering kali sulit memperoleh dukungan dari suami. Dalam beberapa kasus, suami mereka mengeluhkan pekerjaan di Tupperware yang ternyata semakin membuat sibuk para ibu,” ujarnya.

“Oleh karena itu, menjadi penting bagi kami untuk melakukan sosialisasi untuk para suami untuk memberikan pemahaman terkait aktivitas para istri mereka di Tupperware. Karena upaya tersebut rutin kami lakukan, kini kami menemukan semakin banyak suami-suami yang bersedia membantu istri mendistribusikan barang karena permintaan pasar yang semakin naik. Tentu kerja sama semacam ini yang ingin kita wujudkan.”
 
Nining mengatakan banyak ibu-ibu rumah tangga yang kehilangan peluang untuk bekerja di sektor formal, dan hal ini membuat mereka kehilangan kepercayaan diri karena tidak ada medium aktualisasi diri.
 
Ketika pilihan untuk di sektor formal tertutup, maka peluang untuk terlibat di sektor informal menjadi salah satu jalan bagaimana ibu-ibu rumah tangga dapat tetap produktif, katanya.
 
Nining juga menegaskan pentingnya dukungan untuk perempuan bekerja dari sesama perempuan.
 
“Ketika bekerja di korporasi, saya paham ada persaingan yang keras di atas karena semakin di atas, jumlah perempuan semakin sedikit. Akibatnya hubungan antar perempuan menjadi sangat kompetitif. Oleh karena itu, kami menggarisbawahi pentingnya kelompok dukungan,” katanya.
 
“Kelompok dukungan ini berguna agar perempuan-perempuan yang bekerja dengan kami memperoleh dukungan dari sesama perempuan. Sering kali saya dapati bahwa kelompok ini mampu mempertahankan semangat dan antusiasme mereka ketika mereka menghadapi tantangan-tantangan di lapangan,” tambah Nining.
 
Dalam hal perempuan lajang, Nining mengakhiri diskusi dengan menjelaskan pentingnya bagi industri untuk tetap memfasilitasi perempuan-perempuan dengan latar belakang yang beragam.
 
“Mitra kami tidak hanya ibu rumah tangga, tetapi juga perempuan muda lajang, janda, maupun ibu tunggal. Sejauh yang saya ketahui, status pernikahan perempuan tidak seharusnya dijadikan masalah dalam ranah pekerjaan. Yang seharusnya menjadi fokus kita adalah bagaimana kita sebagai sektor swasta dapat terus memberdayakan perempuan sekaligus memenuhi hak-hak dasar mereka,” tutup Nining.
Ayunda tertarik dengan perlintasan budaya pop, media, dan isu-isu gender. Ia telah meraih gelar Magister Humaniora dari program studi Cultural Studies, Universitas Indonesia. Ia menggemari Lana Del Rey, fiksi spekulatif, dan serial BoJack Horseman. Akun-akun media sosialnya tidak terlalu heboh, tapi sapa saja di facebooktwitter.