Sebenarnya saya relatif kebal ketika pendapat saya di-gaslighting orang-orang asing di media sosial. Toh, mereka enggak kenal saya, sehingga nilai diri saya enggak bergantung pada mulut mereka. Namun, saya agak kaget ketika pelaku gaslighting itu justru orang terdekat. Ceritanya, di Twitter, saat saya berkicau panjang soal pembebasan pelaku kekerasan seksual Saipul Jamil, dengan santainya teman saya ini komentar, “Alah, fafifu wasweswos!”
Buat yang belum tahu, fafifu wasweswos ini sebenarnya mulai populer belakangan di linimasa. Sayangnya, frasa itu kerap dipakai untuk mengerdilkan pendapat orang lain atau menganggapnya sebagai omong kosong besar. Mirip seperti lelaki yang kerap menyebut perempuan yang berani koar-koar soal hak mereka sebagai warga negara dengan julukan “feminis SJW”. Dua-duanya punya kecenderungan penggunaan yang nyaris sama: Sama-sama dipakai untuk membungkam pendapat orang. Mereka yang mengatai para perempuan ini dengan sebutan feminis SJW atau fafifu wasweswos pun tak mengenal gender, bisa lelaki, perempuan, atau lainnya.
Makanya dulu pernah viral komentar pesohor Jenny Jusuf atas cuitan Intan Paramadhita tentang film Tilik (2020).
“Sebagai penggiat pemberdayaan perempuan, saya ingin bilang, sikap seperti ini yg JUSTRU bikin perjuangan makin berat dan tersendat. ini bukan soal kritik atau feminisme. ini soal agenda dan egomu yg ketinggian, sampai bicara dengan bahasa yg mudah dipahami saja kamu nggak rela,” ucapnya pada 23 Agustus 2020.
Meskipun ujungnya Jenny minta maaf begitu diserbu oleh publik karena pendapatnya yang tak simpatik, ini jadi pengingat bahwa kadang kita tak menyadari, perilaku “membungkam” pendapat orang lain bisa menyaru dalam kritik halus semacam itu. Inilah yang dinamakan dengan smart shaming.
Baca juga: Memahami Definisi ‘Social Justice Warrior’ (SJWs)
Dalam artikel Pinoy Culture: Why Do We Smart Shame? (2018) di laman Wonder, smart shaming berkaitan dengan tindakan mengolok-olok orang yang dianggap sok cerdas lantaran menggunakan kata-kata dan jargon berbahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari.
Sementara, mereka yang gemar menggunakan kata yang ndakik-ndakik saat berkicau di media sosial disebut dengan curse of knowledge. Jika diterjemahkan secara bebas berdasarkan tulisan Jane Kennedy (1995) berjudul Debiasing the Curse of Knowledge in Audit Judgment, itu mencerminkan kondisi saat si empunya pesan tak sadar jika orang yang sedang ia ajak berbicara sebenarnya enggak paham-paham amat soal materi obrolan. Penyebabnya beragam, bisa jadi ia menggunakan kata-kata yang rumit, banyak serapan Bahasa Inggris, atau mengutip teori ini dan itu.
Pertanyaannya, apakah mereka yang memilih menggunakan bahasa ndakik-ndakik adalah orang arogan? Lebih lanjut, apakah sebagai publik, kita berhak melabelinya dengan sebutan fafifu wasweswos atau SJW-SJW-an yang berkonotasi peyoratif?
Boleh Iya, Boleh Tidak
Sebagai seorang yang aktif berceloteh di linimasa, saya termasuk rutin berceloteh dengan gaya yang receh maupun ndakik-ndakik. Saya memang jarang peduli dengan pendapat orang, saya juga jarang mengukur apakah pesan yang saya sampaikan termasuk sulit dipahami ketika didominasi frasa yang ndakik-ndakik. Dalam hemat saya, karena saya sudah menyeleksi lingkaran pertemanan di linimasa, artinya saya mengandaikan orang-orang yang mengikuti saya memang punya frekuensi yang sama.
Saya ingat pernyataan salah satu penulis favorit, Zen RS yang kini bergiat di Narasi. Ia menyebutkan, ndakik-ndakik tak berbanding lurus dengan teks yang pakai diksi teknis, asing, akademik, konseptual. Ndakik-ndakik adalah omong kosong. Sebaliknya, buat kamu yang menyerah kepada teks yang memuat diksi tak dikenal, mungkin teks itu memang bukan buatmu, yang sedang enggan mencari makna katanya, ujar Zen.
Baca juga: Hentikan Debat Kusir dan BuzzeRp: 6 Tips Berargumen di Media Sosial
Masalahnya, semua ini tak sesederhana ketika bicara dalam konteks publik. Sebagai seorang jurnalis atau orang yang aktif melakukan advokasi sosial misalnya, kita punya kewajiban tak tertulis untuk menghadirkan informasi yang bisa dipahami oleh pembaca. Jika saya memilih untuk menggunakan bahasa yang sulit dicerna, saya punya kekhawatiran pesan yang ingin disampaikan takkan bisa dipahami oleh target pembaca yang lebih luas.
Lagipula dalam dunia jurnalisme atau advokasi, pesan yang disampaikan dengan sederhana cenderung lebih mudah dipahami. Mengutip pernyataan Kalis Mardiasih, pegiat isu perempuan, yang dikutip oleh Magdalene, kita disarankan untuk menggunakan cara sederhana dalam membicarakan wacana gender di media sosial karena akan ada audiens yang tidak punya sama sekali pemahaman soal isu kita. Dalam hematnya, aktivisme digital membutuhkan kepekaan emosional dan kesadaran bahwa di dalamnya penuh dengan disrupsi. Pun, latar belakang, usia, tingkat literasi yang berbeda. Sehingga, berbicara dengan ndakik-ndakik cenderung bisa menjebak kita dalam curse of knowledge, seperti uraian sebelumnya.
Baca juga: ‘Call-Out Culture’ di Media Sosial: Berfaedah atau Bikin Lelah?
Nah, lepas dari saran tersebut, yang lebih penting untuk diperhatikan adalah orang-orang perlu memahami, bicara sederhana tak sama dengan dangkal. Pun, bicara ndakik-ndakik dengan pesan yang substansial tak sama dengan omong kosong. Sehingga, ketika fafifu wasweswos, ndakik-ndakik, SJW digunakan untuk menertawakan, mempermalukan, atau mengerdilkan mereka yang berani bersuara tentang isu-isu publik, tentu saya tak pernah sepakat. Ini adalah “penyakit” yang sebaiknya mulai hari ini kita hindari. Apalagi jika yang membonceng di balik julukan-julukan itu adalah keinginan untuk menyetop perjuangan.
Comments