Women Lead Pendidikan Seks
July 26, 2018

Siapakah yang Pantas Disebut Feminis?

Feminisme populer hari ini memusatkan perhatian pada permasalahan dan solusi individual, bukan gagasan tentang perjuangan kolektif yang selama ini menjadi hal fundamental dalam proyek feminisme.

by Nadya Karima Melati, Kolumnis
Issues // Feminism A-Z
Share:

Hari ini feminisme menjadi bukan barang asing dalam percakapan kita sehari-hari. Semua orang mengangkat dan membicarakan soal feminisme. Katanya laki-laki harus mendukung feminisme; katanya feminisme membebaskan perempuan; katanya buat apa ada feminisme apabila sudah ada perjuangan hak asasi manusia; katanya feminisme membuat perempuan menjadi liar dan tidak sesuai ajaran Islam; dan katanya feminisme dari Barat, yang kemudian dibantah dengan keberadaan Kartini dan Cut Nyak Dien.

Wacana feminisme berputar dalam interaksi harian melalui gawai. Misalnya, teman saya dengan lantang mengatakan dirinya feminis anti-kolonial di halaman Facebooknya, dan melabeli orang lain sebagai bukan feminis karena tidak sesuai dengan kriteria feminisme yang dia buat. Buat dia, feminis harus anti-supremasi kulit putih. Teman saya yang lain, yang mengaku seorang feminis liberal, menyatakan di Twitter bahwa mengatakan perempuan lain gendut adalah bagian dari hak kebebasan berbicara. Sementara itu, seorang teman laki-laki menuliskan status Facebook, “apakah saya kredibel menjadi seorang feminis?”. Saya sendiri, berkali-kali diundang untuk menjadi pembicara tentang feminisme. Tapi apakah saya seorang feminis? Di mana kita bisa membuat garis batas antara feminis dan bukan feminis?

Feminisme menjadi asyik apabila diperdebatkan. Selayaknya sejarah umat manusia, gagasan-gagasan telah membentuk dunia yang kita lihat seperti hari ini. Feminisme di Indonesia sendiri bergerak dalam tiga spektrum. Pertama, sebagai isu dalam gerakan sosial mulai dari isu kebebasan tubuh sampai “ideologi laknat” dari Barat. Kedua, sebagai studi, feminisme menjelma menjadi Kajian Gender di berbagai perguruan tinggi. Ketiga, sebagai alat analisis gender, feminisme masuk menjadi kebijakan pengarusutamaan gender. Feminisme juga lekat dengan budaya populer, walau banyak feminis berpendapat masuknya feminisme dalam budaya populer menggerus esensi dari feminisme itu sendiri.

Magdalene menjadi salah satu media yang  menyalurkan suara dan perdebatan tentang feminisme di Indonesia, agar ide tentang feminisme menemukan jangkarnya dalam kehidupan kita sehari-hari.

Feminisme menurut para feminis

Untuk menjawab apa itu feminisme, pertama-tama saya bersandar pada feminisme sebagai ilmu pengetahuan tentang perempuan dan juga gerakan sosial pembebasan perempuan. Saya menggunakan pijakan epistemologi feminis yang dikemukakan Sandra Harding tentang unsur-unsur dari feminisme yakni standpoint, empiricism, dan postmodern. Tidak lengkap juga rasanya jika membicarakan feminisme tanpa memahami gelombang-gelombang feminisme.

Secara umum, feminisme di seluruh dunia dikonsepkan dalam tiga gelombang: gelombang pertama yang dicirikan oleh pemikiran tentang hak dan kesamaan perempuan dan laki-laki; gelombang kedua yang berusaha mempertanyakan siapa perempuan dan bagaimana pengalaman perempuan mampu menjadi sebuah kajian akademik; serta gelombang ketiga yang dicirikan dari feminisme global dan multikultural. Ada pula gelombang post-feminist dengan cirinya yang terputus dari gelombang-gelombang sebelumnya.

Gelombang feminisme tidak memiliki periodisasi waktu yang spesifik, memang ada kecenderungan untuk mengelompokkan pemikiran feminis berdasarkan tren zaman dan dekade. Misalnya Renaissance yang membawa pengaruh kesadaran akan kemanusiaan dan persamaan hak asasi manusia, kemudian Revolusi Perancis yang menimbulkan kesadaran kelas sosial dan penindasan memengaruhi pemikiran feminisme gelombang pertama. Setelah itu ada Revolusi Rusia yang memulai babak baru tentang negara-bangsa di dunia, disusul oleh Revolusi Industri dan Perang Dunia.

Peristiwa-peristiwa bersejarah tersebut cukup memengaruhi tren pemikiran feminisme gelombang kedua. Selanjutnya, kesadaran anti-kolonial dan ekspansi pasar bebas memberikan bentuk bagi feminisme gelombang ketiga. Tapi ada satu hal yang khas dari semua itu: masing-masing aliran feminisme saling melengkapi, bertukar kritik dan gagasan, serta menghargai perbedaan implementasi di wilayah masing-masing.

Feminis adalah orang yang memiliki kesadaran. Kesadaran yang berpihak kepada yang tertindas setelah menganalisis bahwa ada relasi tidak imbang berlandaskan seks/gender. Kesadaran bahwa pengalaman perempuan yang tampaknya bersifat individu ternyata adalah permasalahan umum yang bersifat sistemis. Kesadaran bahwa tidak ada yang universal dan esensial dalam kebenaran, bahwa kebenaran bergantung pada konteks masyarakat.

Gloria Steinem, seorang feminis gelombang kedua, memprediksi jalannya pergerakan feminis dalam sejarah dunia dalam tulisannya berjudul “Working For Change” pada buku Feminism in Our Time:

"Massive change processes more as spiral than a straight line. We repeat the patterns over and over again, each time we slightly diffrent circumstance, so experiences that appear to be circular and discouraging in the short run may turn out to be moving clear direction in a long run”.

Masing-masing kajian feminisme saling memberi kritik dan menyesuaikan dengan konteks manusia perempuan itu berada. Untuk itu, kesinambungan antara aktivisme lapangan dan pertarungan gagasan diperlukan. Tidak ada bentuk baku dari feminisme dan setiap orang mampu membuat feminisme ala mereka sendiri dengan catatan mereka dengan sadar mengetahui asal klaim feminis tersebut. Gerakan perempuan diawali dari kesadaran dengan menentang aspek-aspek kehidupan perempuan yang tampaknya “alamiah” tapi ternyata bersifat ideologis dan hegemonik.

Feminis adalah orang yang memiliki kesadaran. Kesadaran yang berpihak kepada yang tertindas setelah menganalisis bahwa ada relasi tidak imbang berlandaskan seks/gender. Kesadaran bahwa pengalaman perempuan yang tampaknya bersifat individu ternyata adalah permasalahan umum yang bersifat sistemis. Kesadaran bahwa tidak ada yang universal dan esensial dalam kebenaran, bahwa kebenaran bergantung pada konteks masyarakat.

Melawan patriarki hari ini

Hal yang lain yang penting dibahas saat bicara soal feminisme adalah patriarki. Secara umum, patriarki adalah sebuah konsep untuk menjelaskan dominasi laki-laki dalam berbagai bidang. Hal yang membuat saya gelisah adalah ketika patriarki dijadikan taken for granted oleh banyak gerakan perempuan. Mengapa? Karena sejak tercetusnya patriarki menjadi sebuah konsep umum oleh feminis gelombang kedua, konsep patriarki itu juga tidak sempurna. Konsep tersebut masih digunakan karena masih menjadi istilah yang terbaik untuk memahami tentang posisi subordinat perempuan dalam masyarakat secara umum.

Mengutip Joanne Hollows dalam Feminisme, Feminitas dan Budaya Populer, terlalu banyak hal yang dianggap bersifat patriarki atau efek dari patriarki. Patriarki bisa dijelaskan untuk mengidentifikasi penindasan yang dialami perempuan tetapi penjelasan mengenai sifat, bentuk, dan praktik patriarki sering kali luput dalam pembahasan.

Konsep patriarki yang terus digunakan menjadi ahistoris. Menawarkan melawan patriarki  tanpa menelaah apa itu sesungguhnya patriarki sama instannya dengan menawarkan gagasan kekhalifahan untuk segala permasalahan di dunia tanpa mengkaji bagaimana sistem tersebut jika diterapkan.

Untuk itu, memahami struktur masyarakat dan membacanya melalui standpoint feminis menjadi hal yang didahulukan dalam melawan. Dalam bidang keilmuan, feminisme untuk menjadi sebuah studi tersendiri sempat diragukan karena sifatnya yang dianggap khusus dan subjektif. Feminisme tidak berusaha menyesuaikan dengan standar yang berlaku dan justru mempertanyakan kembali mengapa dan bagaimana standar itu dibentuk.

Dari dalam, para feminis berdebat dan berselisih pendapat sehingga tercipta sebuah dialog yang membangun tubuh feminisme itu sendiri. Maka, epistemologi feminis menjadi penting dan menjadi pijakan bagi feminis atau orang yang hendak menggeluti feminisme. Karena memasukkan kata “perempuan” dalam sebuah acara atau kebijakan tidak selalu mendukung pergerakan feminis. Begitu pula dalam bidang studi, memasukkan kata politik dan perempuan tidak serta merta membuat sebuah studi menjadi berperspektif gender.

Mencari bentuk feminisme Indonesia

Wajah feminisme populer di Indonesia secara instan bisa dilihat melalui layar gawai seperti Anda membaca tulisan ini. Saya berpendapat, feminisme yang ditampilkan pada media sosial hari ini mengedepankan feminisme sebagai pilihan individu. Isu-isu feminis yang ditawarkan adalah tentang pilihan perempuan untuk tidak menikah, pilihan perempuan untuk memakai cadar, atau pilihan perempuan untuk ikut mendukung Trump.

Feminisme populer hari ini memusatkan perhatian pada permasalahan dan solusi individual, bukan gagasan tentang perjuangan kolektif yang selama ini menjadi hal fundamental dalam proyek feminisme. Bukan bermaksud mengeliminasi individualisme, karena individualisme sendiri dalam gerakan perempuan dan feminisme bersifat positif apabila dihubungkan dengan hak dan kemerdekaan seksual dan reproduksi. Tapi pada prosesnya, individualisme yang berlandaskan “pilihan perempuan” kerap kali memisahkan feminisme dari bidang sosial dan sistemis.

Karena feminisme berkembang bersama sejarah manusia dan memegang unsur sesuai dengan konteks di masyarakat tempat perempuan berpijak, feminisme sebagai paradigma perlu berintegrasi dengan mempelajari bentuk dan struktur baik budaya masyarakat maupun struktur kekuasaan dan pemerintahan. Perspektif, geografi, dan periode waktu menjadi variabel tak terelakkan dalam menganalisis patriarki dan memahami feminisme.

Dengan feminisme kita bisa menganalisis bersama asal usul opresi berbasis gender, menyuarakan yang bisu, memulihkan yang terluka dan menciptakan pengetahuan yang adil melalui dialog, bukan saling blok.

Baca juga tentang hal-hal yang tak masuk akal dari cultural appropriation.

Ilustrasi oleh Sarah Arifin.

Nadya Karima Melati adalah aktivis/sejarawan feminis yang bermukim di Bonn, Jerman. Buku pertamanya adalah "Membicarakan Feminisme" (2019).