Survei dari sebuah koalisi perusahaan untuk mendorong pemberdayaan ekonomi perempuan dan mempromosikan kesetaraan di tempat kerja, mengukuhkan bagaimana beban perempuan bertambah selama masa kerja dari rumah akibat pandemi COVID-19, terutama bagi ibu bekerja. Hal ini karena kebanyakan perempuan masih menjadi penanggung jawab utama dalam pekerjaan domestik tanpa bantuan yang memadai dari pasangannya di rumah.
Berjudul “The Impact of Domestic Responsibility to The Effectiveness of Working from Home for Women and Men Workers”, survei tersebut dilakukan oleh Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) bekerja sama dengan pemerintah Australia.
Berlangsung dari Maret sampai April 2020, survei tersebut melibatkan 446 orang responden dengan berbagai latar belakang jenis kelamin, pekerjaan, jumlah anak atau orang tua yang dirawat, serta status hubungan atau pernikahan.
Lebih besarnya tanggung jawab perempuan ketimbang laki-laki dalam pekerjaan rumah tangga salah satunya tercermin dari tanggung jawab menyiapkan makanan di rumah. Hampir setengah dari responden perempuan (46 persen atau 143 orang) menjawab hal itu menjadi tanggung jawabnya, sementara yang menyatakan hal itu merupakan tanggung jawab pasangannya hanya 2 persen responden perempuan. Sebanyak 41 persen (54 orang) responden laki-laki juga menjawab menyiapkan makanan merupakan tanggung jawab pasangannya.
Baca juga: Ibu Rumah Tangga: Pekerjaan yang Selalu WFH
Tanggung jawab untuk merawat orang tua yang tinggal di rumah juga dibebankan pada perempuan. Sebanyak 23 persen responden perempuan mengatakan itu menjadi tanggung jawabnya seorang, sementara laki-laki yang menjawab demikian jumlahnya hanya 15 persen.
Pendidikan sejak kecil
Direktur Eksekutif Yayasan Plan International Indonesia, Dini Widiastuti menilai hal itu amat dipengaruhi oleh hasil internalisasi diri para perempuan yang terbentuk dari lingkungan sosialnya sejak ia kecil. Kata Dini, masyarakat cenderung hanya memberikan tanggung jawab pekerjaan rumah tangga pada anak perempuan tanpa membebankan hal yang sama pada anak laki-laki.
“Hal-hal yang ditanamkan di masa kecil anak mempengaruhi skill, pembagian peran di masa depan, dan mobilitas anak. Kalau anak perempuan enggak boleh main dan pergi jauh-jauh. Mereka diberitahu untuk diam di rumah dan membantu pekerjaan rumah tangga. Sementara anak laki-laki enggak dilarang. Apalagi kalau sudah memasuki usia remaja,” kata Dini dalam acara IBCWE Coffee Talk (19/6).
“Ini membuat anak perempuan menginternalisasikannya menjadi anggapan bahwa mereka harus diam di rumah dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Misalnya masak, itu tanggung jawab dia sebagai perempuan, bukan tanggung jawab adik atau kakak laki-lakinya,” ia menambahkan.
Baca juga: Berbagi Peran Domestik: Lebih Banyak Dibahas Daripada Dilakukan
Fenomena tersebut terjadi di berbagai tempat di Indonesia, bahkan di dunia, baik di wilayah perkotaan maupun perdesaan.
“Di wilayah pengungsian saja, anak-anak perempuanlah yang harus mengantre untuk ambil air dan mengerjakan urusan rumah tangga lain. Sementara anak-anak laki bermain saja. Di daerah Nusa Tenggara Timur juga anak-anak perempuan harus ambil air dulu di sumber air yang jaraknya jauh sebelum mereka pergi ke sekolah,” ujar Dini.
Dalam survei IBCWE, hanya 38 persen responden laki-laki yang memiliki pasangan bekerja dan sedang melakukan WFH. Responden perempuan yang memiliki pasangan bekerja dan melakukan WFH mencapai 53 persen. Hal itu menguatkan berbagai temuan sebelumnya bahwa keterlibatan perempuan dalam pekerjaan di luar rumah lebih rendah ketimbang laki-laki.
Selain itu, 73 persen (230 orang) perempuan yang bekerja juga melakukan pekerjaan rumah tangga sembari melakukan WFH. Hanya 53 persen (71 orang) laki-laki yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga sembari melakukan WFH.
Beban mental
Psikolog dari Yayasan Pulih, Cantyo A. Dannisworo mengatakan, beban ganda yang perempuan miliki akan sangat berdampak terhadap kesehatan mentalnya. Hal ini karena bila dilihat dari sudut pandang kerja syaraf, multitasking bukanlah sebuah hal yang bisa sungguh-sungguh dilakukan.
Selama masa WFH, banyak perempuan mengeluhkan timbulnya masalah kecemasan, unstable emotion, dan unproductivity yang disebabkan oleh beban ganda ini. Ketika banyak hal dikerjakan sekaligus, itu akan jadi pemicu stres.
“Selama masa WFH, salah satu hal yang paling banyak dikeluhkan adalah masalah kecemasan, unstable emotion, dan unproductivity yang disebabkan oleh beban ganda ini. Delapan puluh sampai 90 persen yang mengadukan ini adalah perempuan. Ketika banyak hal dikerjakan sekaligus, itu akan jadi pemicu stres,” kata Dannis.
Sementara itu, Pemimpin Redaksi Magdalene.co, Devi Asmarani menilai beban ganda perempuan, terutama perempuan pekerja, membuat mereka kerap menjadi pihak yang harus mengorbankan berbagai kesempatan peningkatan dalam kariernya, sementara laki-laki tidak demikian.
“Misalnya perempuan menolak mengambil peran atau kenaikan jabatan di kantor karena memikirkan tanggung jawab di rumah. Sementara untuk meraih jenjang karier tertentu, misalnya dia harus ikut training di luar kota. Akhirnya dia memilih untuk mengambil jenjang karier yang aman dan waktunya lebih fleksibel agar bisa tetap mengerjakan pekerjaan rumah tangga,” kata Devi.
Menurutnya, persepsi yang salah bahwa pekerjaan rumah tangga merupakan tanggung jawab perempuan semata harus diubah. Meningkatkan partisipasi laki-laki dalam pekerjaan rumah tangga perlu dilakukan untuk memberikan kesempatan aktualisasi diri bagi perempuan, ujarnya.
Baca juga: Masuki ‘New Normal’, Siapa yang Temani Anak Belajar Virtual?
“Ini bukan berarti mengglorifikasi laki-laki yang melakukan pekerjaan rumah tangga, apalagi kalau yang dikerjakan hanya sedikit. Misalnya laki-laki yang menggendong anak atau bisa memasak dibilang suami idaman. Sementara perempuan yang setiap hari melakukan itu tidak diperlakukan dengan sama. Glorifikasi ini bukan hal yang mendidik,” tambah Devi.
Dannis dari Yayasan Pulih menekankan pentingnya merombak pembagian peran berdasarkan gender yang ada di masyarakat.
“Ketika laki-laki dengan gender role-nya yang harus menafkahi keluarga terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dia merasa stres karena enggak bisa memenuhi harapan masyarakat. Akhirnya dia berpikir bahwa cara agar dia tetap terlihat kuat adalah dengan menggunakan kekerasan,” ujarnya.
“Kalau gender role itu dirombak, kita bisa sama-sama enak. Misalnya ketika laki-lakinya terkena PHK, perempuannya bisa bekerja. Ketika kita lebih fleksibel dalam membagi peran, kita bisa saling membantu.”
Artikel ini didukung oleh hibah Splice Lights On Fund dari Splice Media.
Jika memerlukan bantuan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, silakan hubungi Komnas Perempuan (021-3903963, [email protected]); Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan/LBH APIK (021-87797289, WA: 0813-8882-2669, [email protected]). Klik daftar lengkap lembaga penyedia layanan di sini.
Comments