Women Lead Pendidikan Seks
November 13, 2019

Tips Sehat untuk Generasi ‘Burnout’

Gawai, bekerja tanpa jeda, dan banyaknya pengalihan pikiran mudah membuat para pekerja terjebak ‘burnout’. Ini jalan keluarnya.

by Elma Adisya, Reporter
Lifestyle
Healing BornOut Depresi Overwork_SarahArifin
Share:

Beberapa bulan terakhir, saya sangat frustrasi karena merasa mengalami writer’s block, sebuah kondisi di mana seorang penulis kehilangan kemampuannya untuk memproduksi tulisan baru dan mengalami pelambatan dalam proses kreatif. Awalnya, saya pikir ini hanya berlangsung beberapa hari saja, namun ternyata berlanjut.

Berbagai hal sudah saya lakukan untuk mengatasinya, mulai dari jajan makanan favorit bersama teman sembari julid, nonton Netflix, hingga baca komik. Semua itu bukan hanya tidak mempan, tapi membuat kondisi saya memburuk. Ketika saya bercerita pada teman, mereka mengatakan bahwa saya mengalami burnout.  

Menurut Badan Kesehatan Dunia WHO, burnout merupakan sindrom yang dikonseptualisasikan sebagai akibat dari stres kronis di tempat kerja yang belum terkelola dengan baik. Burnout ditandai oleh tiga hal. Pertama, merasa kehabisan energi dan kelelahan. Kedua, merasa berjarak dengan pekerjaan atau perasaan negatif dan sinis terhadap pekerjaan, dan terakhir berkurangnya profesionalitas bekerja.

Akhirnya, saya memutuskan untuk berkonsultasi dengan seorang psikolog, yang saya harapkan bisa membantu saya menyisir benang-benang kusut dalam pikiran. Psikolog tersebut kemudian berkesimpulan bahwa salah satu faktor yang membuat saya burnout adalah ketidakpekaan saya terhadap tubuh saya sendiri.

Ketika si psikolog bertanya apa yang saya inginkan, saya hanya menjawab, ingin kembali menulis dengan perasaan senang. Maka dari itu, ia pun memberikan saya tips bagaimana cara mengantisipasi burnout.

Berikut adalah tips yang membantu saya mengatasi fase ini. Jika kamu masih merasakan gejala burnout setelah melaksanakan tips berikut, ada baiknya kamu berkonsultasi lebih lanjut ke psikolog.  

Baca juga: Tips Tetap Tampil Kece Walau Naik Transportasi Umum

  1. Peka terhadap tubuh

Sebelum berkonsultasi ke psikolog, saya benar-benar tidak peka dengan tubuh saya sendiri. Kalau belum lapar dan haus, atau mungkin belum ada notifikasi dari media sosial, saya akan tetap fokus menulis artikel saya, padahal badan saya sudah berteriak-teriak untuk berhenti.

Psikolog saya mengatakan, bahwa tubuh manusia sebenarnya sangat cerdas, tapi manusianya saja yang tidak peka dengan tubuh sendiri. Jika ubun-ubun sudah mulai hangat dan leher bagian belakang tegang, itu tandanya kamu perlu berhenti.

Ciptakan time out kurang lebih 10 menit, untuk istirahat sejenak dan minum air. Ketika minum air, bayangkan air tersebut melarutkan hal-hal negatif dan rasa lelah yang diciptakan saat bekerja.

  1. Minimalisasi media sosial

Harus saya akui, saya tidak pernah bisa lepas dari gawai. Ke mana pun saya pergi, tangan saya tidak pernah lepas menggenggam ponsel, terutama untuk berselancar di Twitter. Terkadang saya mencari video kucing, terkadang juga saya hanya membukanya secara otomatis, tanpa alasan. Akhirnya, setiap saat pikiran saya dibanjir informasi dari Twitter dan media sosial lain dan secara tidak sadar saya tertekan karena hal ini.

Saya memutuskan untuk menghapus aplikasi Twitter di ponsel saya dan membatasi penggunaan Instagram hanya untuk 30 menit. Ternyata ini sangat membantu saya dalam mengurangi hal-hal negatif, dan memoderasi informasi mana saja yang perlu saya ketahui.

  1. Ciptakan rutinitas di pagi hari

Karena waktu masuk kantor saya lumayan fleksibel, saya lebih sering kembali tidur setelah dibangunkan Ibu jam 5 pagi dan berpura-pura salat subuh. Saya merasa dengan menambah waktu tidur sedikit lebih lama, tubuh saya yang lelah bisa kembali fit. Nyatanya tidak sama sekali.

Psikolog saya menyarankan saya untuk memulai rutinitas baru, entah itu olahraga selama 30 menit atau hanya sekadar jalan-jalan santai di pagi hari. Ini akan membuat pikiran kita lebih fresh dan tentunya membuat tubuh lebih sehat.

Baca juga: ‘Quarter Life Crisis’: Kita Semua Bingung, Lalu Bagaimana?

  1. Membuat rutinitas yang berbeda dengan pekerjaan

Bukan hanya di rumah, psikolog saya juga menyarankan untuk membuat rutinitas yang berbeda dengan pekerjaan ketika di kantor. Rutinitas ini lain dengan time out yang tadi saya sebut, dan lebih panjang, sekitar 20-30 menit. Gunakan waktu ini untuk menjalankan hobi seperti mendengarkan musik atau membaca buku, yang penting jangan berhubungan dengan hal-hal seputar pekerjaan.

Biasanya saya memanfaatkan waktu istirahat untuk membaca komik. Kalau hari itu tidak sempat, saya melakukannya di bus TransJakarta ketika pulang ke rumah.

  1. Jauhi gawai sebelum tidur

Kebiasaan buruk lainnya yang bakal membuat saya burn out adalah saya terlalu lama menggunakan gawai bahkan hingga saat ingin tidur. Alasan seperti, “Baca satu bab lagi deh fan fictionnya,” atau “Sekali scrolling lagi deh, mau lihat video kucing di Twitter,” membuat saya lupa waktu dan akhirnya tidur lebih larut.

Awalnya saya berpikir bersantai menyimak gawai adalah salah satu hadiah karena sudah seharian bekerja. Ternyata reward ini berefek sangat negatif terhadap kesehatan saya. Saya pun memutuskan untuk mengganti reward-nya dengan membaca buku sebelum tidur. Setelah satu-dua halaman, biasanya saya langsung terlelap.

Ilustrasi oleh Sarah Arifin

Elma Adisya adalah reporter Magdalene, lebih sering dipanggil Elam dan Kentang. Hobi baca tulis fanfiction dan mendengarkan musik  genre surf rock.