Dalam perjalanan menuju Kampung Tambahak, Sumba Timur September lalu, sebuah tembok megah mencuri perhatian saya. Tembok di pinggir jalanyang minim penerangan itu ternyata jalan masuk ke area perusahaan agribisnis, yang memproduksi gula di Nusa Tenggara Timur (NTT).
Pada 2015 lalu, Bupati Sumba Timur Gideon Mbilijora memberi izin lokasi. Namun, di balik perizinan perusahaan gula itu sengketa terjadi. Hutan milik warga dibabat untuk dijadikan lahan tebu. Peristiwa ini yang kemudian melatarbelakangi berdirinya Sabana Sumba pada 2018, sebagai sebuah komunitas solidaritas di Sumba Timur.
Ketua Sabana Sumba, Rambu Dai Mami mengatakan mereka bergerak untuk menyelamatkan tanah masyarakat adat, dari konsesi lahan perkebunan besar-besaran. Sebab, sebagai pemeluk Marapu—kepercayaan asli masyarakat Pulau Sumba, kelangsungan hidup mereka berkaitan erat dengan hutan.
“Hutan itu sumber penghidupan bagi masyarakat Marapu, baik dari segi ekonomi, kesehatan, dan sosial budaya,” kata Rambu Dai Mami pada saya.
Pernyataan itu dicerminkan lewat kehidupan masyarakat Marapu sehari-hari. Untuk kebutuhan pangan, mereka mengambil umbi-umbian di hutan. Begitu pula dengan obat-obatan. Tanaman obat di hutan masih menjadi opsi pengobatan utama ketika sakit.
Lebih dari itu, hutan juga tempat ritual bagi masyarakat Marapu. Contohnya sebelum menebang kayu untuk membangun rumah adat, mereka perlu melakukan ritual sebagai permintaan izin kepada leluhur. Mereka juga menjalankan ritual serupa, sebelum mengambil tanaman obat ataupun ubi dalam jumlah banyak.
Beberapa faktor itulah yang menggerakan Haris Azhar—aktivis Hak Asasi Manusia (HAM)—untuk mendirikan Sabana Sumba. Ia melakukannya bersama sejumlah masyarakat adat Praing Umalulu. Adapun anggota komunitas tersebut mencakup semua masyarakat adat yang memiliki persoalan tanah. Mereka berasal dari seluruh wilayah di Sumba Timur, seperti Kecamatan Pahunga Lodu, Umalulu, Pandawai, Rindu, dan Kahaungun Eti.
Meskipun telah berjuang selama empat tahun terakhir, Rambu Dai Mami menyatakan, saat ini tujuan Sabana Sumba belum sepenuhnya tercapai. Masih ada persoalan tanah milik masyarakat adat yang belum terselesaikan.
Lantas, apa yang menghambat Sabana Sumba dalam menyelesaikan permasalahan ini?
Baca Juga: Rambu Dai Mami, Pemimpin Perempuan dari Tanah Sumba
Memperjuangkan Hak Masyarakat Adat
Untuk memperjuangkan hak masyarakat adat, Sabana Sumba berhasil melaporkan kehilangan lahan mereka, sebagai kerusakan situs tempat ritual. Situs tersebut bernama Kabihu Mbarapapa.
Sabana Sumba menyampaikan laporannya kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), serta Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK). Dalam laporannya, mereka mencantumkan bahwa praktik agama Marapu terganggu, akibat pembukaan lahan oleh perusahaan agribisnis gula tersebut.
Rambu Dai Mami menceritakan, awalnya Sabana Sumba melaporkan kasus itu pada Polres Sumba Timur. Sayangnya, penyidikan laporan dihentikan lantaran dianggap tidak ada bukti. Karena itu, bersama Lokataru sebagai lembaga hukum, mereka menyampaikan laporan ke Kemendikbud dan KLHK.
“Kalau Kemendikbud akan meninjau kembali demi pemajuan kebudayaan,” kata Rambu Dai Mami. “Sementara KLKH menemukan sejumlah pengrusakan, dan sudah memberikan rekomendasi tindak lanjut.”
Adapun rekomendasi itu berupa mediasi terhadap sengketa yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan. Kemudian, KLH juga meminta agar memperhatikan kepentingan masyarakat setempat, terutama terkait kebutuhan air. Ini disebabkan mata air di lima kecamatan, dan sejumlah hektar hutan yang ikut terdampak.
Walaupun demikian, perusahaan agribisnis gula tetap melaksanakan aktivitasnya. Hanya sekitar 700 hektar tanah masyarakat adat, yang tidak lagi dikuasai oleh perusahaan.
“Soalnya pemerintah yang sebelumnya nggak menjalankan rekomendasi dari kementerian,” terang Rambu Dai Mami.
Selain tidak adanya pelaksanaan rekomendasi, Rambu Dai Mami menerangkan belum ada pertemuan lengkap antara pemerintah, masyarakat adat, pihak yang menyerahkan lahan, dan perusahaan. Situasi ini membuat kepentingan masyarakat semakin dikesampingkan. Ditambah belum ada pengakuan formal terhadap masyarakat adat Marapu.
“Ini yang mengakibatkan kami tidak punya pijakan untuk menunjukkan eksistensi,” ungkap Rambu Dai Mami. Perempuan 40 tahun itu menegaskan, Sabana Sumba akan tetap berjuang atas tanahnya, terlepas dari situasi yang dihadapi.
Pun komunitas solidaritas tersebut tidak hanya memperjuangkan hak mereka sebagai masyarakat adat atas tanahnya. Sabana Sumba turut membantu masyarakat dalam sejumlah kegiatan.
Baca Juga: Cerita Penjaga Hutan di Sumba Timur
Membangun Gerakan Kolektif
Ketika pandemi COVID-19 melanda sejak 2020, Sabana Sumba turun tangan sebagai relawan. Mereka menjadi sarana edukasi masyarakat, dengan menyusun booklet dan rekaman suara dalam bahasa Sumba, terkait bahaya penyebaran virus corona.
Rambu Dai Mami meyakini, mereka adalah perpanjangan tangan dari orang-orang baik. Karena itu, Sabana Sumba aktif melakukan aktivitas yang dapat dikatakan membantu kerja pemerintah.
Misalnya menyosialisasikan demam berdarah dengue (DBD), dan mendampingi Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), dan memperjuangkan anak-anak Marapu yang akan kuliah.
Selain itu, Sabana Sumba juga melakukan pendampingan terhadap perempuan Marapu yang merupakan bagian dari kelompok penenun. Mereka membantu memasarkan tenun berkualitas bagus, untuk mengatasi kesulitan ekonomi. Biasanya, pemasaran itu dilakukan ke teman-teman dan kenalan, yang tinggal di Sumba maupun daerah lain.
“Kami posting di Facebook, Instagram, dan story WhatsApp. Kadang-kadang juga langsung kontak WhatsApp pelanggan untuk menawarkan,” ujar Rambu Dai Mami.
Sebagai komunitas lokal, tak dimungkiri biaya adalah menjadi salah satu tantangan Sabana Sumba dalam melakukan aktivitasnya. Mereka belum memiliki pendanaan, sehingga keuangannya dilakukan secara swadaya. Contohnya lewat penjualan kain tenun, ikan kering, dan kopi.
Menurut Rambu Dai Mami, sampai saat ini Sabana Sumba belum memiliki pendanaan dikarenakan keterbatasan kemampuan dalam menyusun proposal. Alhasil, saat ada peluang pun hanya bisa dilewatkan tanpa pengajuan.
Maka itu, Sabana Sumba bekerja sama dengan sejumlah lembaga lain yang memiliki kekhawatiran terhadap isu yang sama. Salah satunya Hutan Itu Indonesia (HII), sebuah organisasi lingkungan nonprofit yang melestarikan hutan.
Leoni Rahmawati selaku Co-Founder Hutan Itu Indonesia, pun menjelaskan tujuannya bekerja sama dengan Sabana Sumba dan menyorot hutan di Sumba Timur.
Baca Juga: Inisiasi Energi Terbarukan Untuk Masyarakat Sumba
“Peran hutan di Sumba Timur sangat vital bagi masyarakat yang tinggal di pulau kecil seperti Sumba. Baik dari penanggulangan bencana, maupun ketahanan masyarakatnya,” ucap Leoni.
Ia menambahkan, sejauh ini masyarakat hanya mengenal Sumba Timur lewat tenun dan padang savananya. Padahal, keberadaan hutan sangat berdampak bagi keberlangsungan budaya dan hidup masyarakatnya. Pewarna alam untuk tenun, misalnya, yang akan hilang apabila hutan tidak dilestarikan.
“Kalau kita membiarkan hutan di pulau-pulau kecil di Indonesia Timur ini hilang, kerentanan akibat dampak perubahan iklim akan semakin meningkat,” tambah Leoni.
Ia berharap dengan menyuarakan perjuangan Sabana Sumba, ekonomi masyarakat Sumba Timur akan semakin diberdayakan. Yakni dengan semakin banyak orang yang membantu mengakses pasar. Di samping itu, Leoni juga menginginkan semakin banyak masyarakat yang bersolidaritas mendukung perjuangan di Sumba Timur.
Artikel ini merupakan rangkaian liputan Magdalene bersama Hutan Itu Indonesia, sebuah organisasi lingkungan nonprofit yang melestarikan hutan.
Comments