Pada 2018, “Ainy”, 41, mengalami penganiayaan oleh suaminya. Perempuan yang berdomisili di Tangerang ini kemudian menghubungi hotline Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan (LBH APIK) dan disarankan melapor ke polisi.
Polisi menganjurkannya untuk berbicara kepada ketua RT dan berjanji mendatangkan petugas. Setelah menjelaskan kronologi kasusnya kepada Ketua RT, dia justru disalahkan atas kejadian yang menimpanya. Polisi, yang berjanji mendatangkan petugas dan mengundang pihak RT, tidak kunjung datang.
Bulan Mei lalu, penganiayaan terjadi lagi dan ia kembali menghubungi hotline LBH APIK. Namun, ketika diminta untuk melapor ke polisi dan melakukan visum, dia tak melakukannya.
Ainy mengatakan ia merasa tidak puas dengan layanan yang diberikan LBH APIK, karena ada yang berbeda antara konsultasi lewat telepon dan tatap muka.
“Kalau bisa, (ketika ada yang berkonsultasi via hotline), cobalah sedikit ada ungkapan prihatin, yang bisa membuat korban merasa "oh they know exactly what i feel". Jadi, korban tidak merasa sendiri dan seolah hanya berhadapan dengan mesin,” katanya kepada Magdalene lewat pesan WhatsApp.
Menurutnya, konsultasi secara langsung lebih efektif ketimbang jarak jauh
“Dengan melihat langsung kondisi korban, bisa jadi responsnya akan berbeda ketimbang hanya mendengar curhatan (lewat hotline),” ujarnya.
Situasi pembatasan sosial dan imbauan kerja dari rumah untuk mencegah penyebaran COVID-19 ini memang telah menyulitkan baik korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) maupun lembaga pemberian layanan. Para korban terjebak dengan pelaku kekerasan di rumah, terisolasi dari orang-orang dan sumber daya yang dapat menolong mereka. Sementara itu, pandemi juga menghambat kerja lembaga layanan dalam membantu korban.
“Kami enggak mau mempertaruhkan nyawa teman-teman pengacara. Kalau kami bertemu orang lain, ibaratnya kami menghadapi perang. Kami tidak tahu apakah mereka membawa virus atau enggak,” kata Direktur LBH APIK Siti Mazuma kepada Magdalene melalui telepon.
“Lebih baik kami dikritik daripada mempertaruhkan nyawa. Itu yang saya pikirkan. Mohon maaf kepada perempuan-perempuan yang mungkin butuh lebih dari (layanan lewat hotline) ini dan kami tidak bisa memberikan hal itu sepenuhnya,” tambahnya.
Padahal sejak 19 Maret hingga 20 Mei, LBH APIK mencatat ada 194 pengaduan yang masuk, atau naik 50 persen dibandingkan dengan rata-rata aduan yang masuk sebelum lembaga ini melakukan work from home. Biasanya, kasus yang masuk sekitar 60-an per bulan, tetapi sejak 19 Maret, aduan yang diterima menanjak menjadi 90-an.
Karena meningkatnya pengaduan di tengah pandemi, LBH APIK telah memperpanjang jam pengaduan lewat hotline menjadi 9.00-21.00 WIB. LBH didukung oleh 10 pengacara penuh waktu dan lima advokat probono. Mereka semua juga menggunakan nomor ponsel pribadinya dalam menindaklanjuti pengaduan yang masuk ke hotline LBH APIK.
Baca juga: Wabah Corona Langgengkan KDRT, Hambat Penanganan Kasus
Sejak 8 Juni, LBH APIK telah kembali membuka layanan konsultasi tatap muka. Kendati demikian, hanya tiga orang per hari yang dapat berkonsultasi langsung dan layanan ini hanya diselenggarakan pada hari Senin-Rabu.
Tidak seperti LBH APIK yang telah membuka kembali layanan konsultasi langsung meski terbatas, Yayasan Pulih yang memberikan layanan konseling psikologis bagi perempuan korban kekerasan, belum melakukannya. Lembaga ini masih mengalihkan semua konsultasi tatap muka ke jarak jauh melalui media daring (video call, chat atau telepon) dengan menggunakan Google Hangout atau Zoom.
Danika Nurkalista, Koordinator Layanan Yayasan Pulih mengatakan, ada kenaikan jumlah laporan kekerasan selama pengalihan layanan ini.
“Orang yang melakukan tele-konseling tidak sebanyak yang tatap muka, tetapi kami melihat bahwa konsultasi terkait kasus-kasus kekerasan, tak hanya KDRT, melainkan juga terpicu pengalaman kekerasan masa lalu, mengalami peningkatan sekitar 30-33 persen,” ujarnya.
Danika mengakui, Yayasan Pulih cukup kewalahan menerima banyaknya konsultasi akibat kekurangan sumber daya.
“Tidak semua psikolog yang awalnya melayani konsultasi tatap muka bisa melanjutkan ke online. Kami hanya mengerahkan 50 persen dari mereka untuk melayani tele-konseling,” kata Danika.
“Semua psikolog kami relawan dan bukan staf tetap. Mereka punya jadwal sendiri sehingga sebelum melakukan tele konseling, klien harus mendaftar terlebih dahulu,” tambahnya.
Mazuma dari LBH APIK mengatakan sejauh ini pihaknya tidak merasa kewalahan. LBH APIK bahkan menjangkau para perempuan korban yang tak memiliki alat komunikasi melalui paralegal komunitas. Paralegal tersebut telah mendapatkan pelatihan dan kembali ke komunitasnya.
“Di Jakarta Utara ada komunitas perempuan nelayan. Paralegal-paralegal tersebut bekerja di komunitasnya masing-masing di dekat rumahnya dan lingkungan sekitarnya,” kata Mazuma.
Layanan pemerintah
Pada 29 April 2020, Kantor Staf Presiden (KSP) meluncurkan layanan psikologi untuk sehat jiwa (SEJIWA) yang bisa diakses melalui call center 119 ext. 8. Dalam penyelenggaraannya, KSP bekerja sama dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Himpunan Psikologi Indonsia (HIMPSI).
“Layanan ini diluncurkan karena isu kesehatan jiwa perlu mendapatkan support dari pemerintah. COVID-19 menimbulkan dampak sosial dan ekonomi, yang kemudian berpengaruh pada kesehatan kejiwaan masyarakat,” kata Asisten Deputi Bidang Perlindungan Anak Dari Kekerasan dan Eksploitasi KPPPA, Valentina Ginting.
Valentina mengatakan, layanan SEJIWA ini juga menjadi tempat untuk merujuk perempuan dan anak korban kekerasan yang memerlukan pendampingan.
“Mereka (yang memerlukan pendampingan) akan diberikan nomor hotline KPPPA (0821-2575-1234). Setelah itu, mereka akan kami layani dengan manajemen kasus yang selama ini sudah kami lakukan,” ujarnya.
Baca juga: ‘Safety Plan’ dari KDRT di Tengah Wabah Corona
Seminggu setelah layanan SEJIWA diluncurkan, Gugus Tugas COVID-19 mengirimkan SMS massal yang berisi imbauan untuk menghubungi nomor hotline tersebut jika seseorang mengalami atau menyaksikan kasus KDRT. Akibatnya, KPPPA kewalahan akibat lonjakan pengaduan ini.
“Setelah SMS blast itu diluncurkan hingga tiga minggu ke depannya, kami menerima hampir 9.000-an aduan. Pernah dalam sehari kami menerima 2.000 aduan melalui telepon, SMS, dan Whatsapp,” kata Valentina. .
Salah satu pihak yang berpartisipasi dalam penyediaan layanan SEJIWA adalah Himpunan Psikologi Indonesia (HIMPSI), yang bertugas mengoordinasi tim relawan yang terdiri dari sarjana psikologi dan psikolog.
“Konsep (call center) 119 ext. 8 ini adalah psychological first aid (PFA) atau bantuan psikologis awal. Jadi, tidak harus tenaga kesehatan profesional (yang menanganinya). Hal yang terpenting adalah agar seseorang dapat menceritakan masalahnya,” kata Ketua Gugus Tugas Layanan Psikologis COVID-19 Pengurus Pusat (PP) HIMPSI, Andik Matulessy.
Pada awalnya setelah peluncuran, sejumlah orang mengaku kesulitan ketika menghubungi layanan ini, dengan tidak ada yang mengangkat nomor tersebut. Andik mengatakan hanya ada dua agen yang menjawab panggilan telepon, yang kemudian akan menghubungkan penelepon dengan relawan.
“Kemungkinan kedua ada antrean di layanan psikologinya. Hingga tanggal 28 Mei, SEJIWA telah menerima 17.088 panggilan telepon. Kami sebenarnya hanya memberikan waktu selama 30 menit per klien, tetapi realitasnya, kami tidak bisa memotong (percakapan). Ada banyak yang melakukan konsultasi lebih dari 30 menit,” ujarnya.
Secara keseluruhan, HIMPSI telah melatih 485 relawan, yang terdiri dari 161 relawan pada pelatihan gelombang pertama dan 324 lainnya pada gelombang kedua.
Sementara itu, KPPPA juga memiliki program Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) dan mobil perlindungan untuk menjangkau mereka yang tak memiliki alat komunikasi
“Di tingkat desa, PATBM melatih aktivis lokal mengenai perlindungan anak. Ketika mereka melihat adanya kasus-kasus yang perlu ditindaklanjuti, mereka langsung menghubungi dinas kami,” kata Valentina.
Ia menambahkan, sejak 2016 instansinya memiliki mobil perlindungan perempuan dan anak sebagai kendaraan penunjang untuk sosialisasi pencegahan kekerasan terhadap perempuan dan anak dan memperluas jangkauan pelayanan korban kekerasan. Hampir dua per tiga kabupaten kota di Indonesia telah terjangkau oleh layanan ini.
Artikel ini didukung oleh hibah Splice Lights On Fund dari Splice Media.
Jika memerlukan bantuan untuk kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, silakan hubungi Komnas Perempuan (021-3903963, [email protected]); Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan/LBH APIK (021-87797289, WA: 0813-8882-2669, [email protected]). Klik daftar lengkap lembaga penyedia layanan di sini.
Comments