Women Lead Pendidikan Seks
March 13, 2020

Menjadi Perempuan Buruh Pabrik di Indonesia

Meski cerita buruk kondisi kerja di berbagai pabrik tidak kurang, sebagian perempuan muda tetap kepincut untuk bekerja di tempat tersebut.

by Patresia Kirnandita, Junior Editor
Issues
Share:

Kondisi buruk yang menimpa sebagian buruh perempuan PT Alpen Food Industry (PT AFI), produsen es krim AICE) mencuat ke publik dalam satu bulan terakhir. Dilaporkan bahwa sejak 2019 hingga awal Maret 2020, ditemukan 15 kasus keguguran dan enam kasus bayi lahir meninggal dari buruh perempuan di perusahaan itu. Kasus-kasus tersebut tidak terlepas dari beban kerja berlebih yang mesti diemban beberapa buruh perempuan yang tengah hamil. Tak hanya itu, untuk mendapatkan cuti haid dan sakit pun, buruh perempuan kerap dipersulit oleh perusahaan.

Alih-alih memperhatikan kondisi buruh perempuan yang tengah sakit atau hamil, perusahaan justru bersikap acuh tak acuh pada mereka, bahkan sampai mengeluarkan surat peringatan dan pemecatan terhadap beberapa buruh dengan alasan alpa. Padahal, ketidakhadiran mereka di tempat kerja adalah akibat faktor fisik yang tidak kondusif.

Ketidakadilan terhadap buruh perempuan menjadi salah satu faktor yang mendorong pemogokan buruh yang tergabung dalam Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia (SGBBI), PT AFI beberapa pekan belakangan. Protes kepada perusahaan atas kebijakan yang mencekik sebelumnya pernah terjadi pada 2017 dan ini kembali lagi mengemuka pada pengujung 2019.

Terkait perlakuan buruk terhadap buruh hamil, juru bicara Federasi Serikat Buruh Demokrasi Kerakyatan (F-SEDAR) yang menaungi SGBBI, Sarinah menyampaikan bahwa sebelum tahun 2017, sempat ada peraturan jika buruh perempuan hamil, ia akan diminta mengundurkan diri oleh perusahaan.

Peraturan itu kemudian dihapus, tapi tidak ada kelonggaran bagi pekerja yang hamil.

Baca juga: KDRT dan Buruh Perempuan: Rantai Kekerasan yang Sulit Diputus

Hamil tak diberi kelonggaran

Ry”, 28, sudah dua kali mengalami bayi meninggal di dalam kandungan sejak ia bergabung dengan PT AFI empat tahun lalu. Yang pertama ketika kandungannya sudah berusia sembilan bulan dan yang terakhir ketika berusia tujuh bulan satu minggu. Dari pemeriksaan medis yang dilakukan Ry di luar fasilitas kesehatan yang disediakan perusahaan, dikatakan bahwa penyebab kematian bayi-bayi Ry adalah karena keletihan.

Pada kehamilan keduanya, Ry mulanya ditempatkan di bagian produksi mesin packing. Ketika memasuki usia kehamilan dua bulan, Ry minta dipindah ke bagian yang beban kerjanya lebih ringan dengan menyertakan surat keterangan hamil dari dokter. Perusahaan mengizinkan dan Ry lantas ditempatkan di bagian manual packing.

“Tapi di bagian manual packing, saya sulit meminta izin untuk ke kamar kecil dan untuk istirahat. Alasannya, karena tidak ada pengganti pekerja. Di pabrik AICE sistem istirahatnya rolling,” ujar Ry.

Tidak hanya itu, ketika bertugas di bagian manual packing, Ry juga harus naik turun tangga untuk sampai ke tempat kerja. Selain itu, kendati sedang hamil, Ry masih saja harus bekerja pada shift malam.

Sejak awal kehamilan hingga akhirnya dua kali mengalami bayi meninggal di dalam, Ry selalu memeriksakan diri ke dokter di luar fasilitas kesehatan yang disediakan perusahaan, karena fasilitas tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhannya kala itu.

“Klinik dan dokter di perusahaan hanya tersedia untuk shift pagi saja. Itu pun tidak ada USG untuk kontrol kandungan. Sementara malam hari, klinik tampak kosong dan tidak ada yang bertugas,” ujar pekerja asal Bekasi, Jawa Barat itu.

Berbeda dari kebanyakan tempat kerja lain yang bisa memberikan cuti melahirkan tanpa syarat macam-macam, PT AFI meminta buruh yang hamil dan hendak mengambil cuti melahirkan untuk menulis surat pernyataan terlebih dahulu sebelum memberikan hak cuti tersebut. Di dalam surat pernyataan itu tercantum bahwa buruh hamil yang hendak cuti tidak menerima paksaan dalam menulis surat tersebut, dan tidak akan menuntut perusahaan bila terjadi hal tidak diinginkan di kemudian hari terkait kehamilannya.

Ry sendiri sempat membuat surat macam itu pada kehamilan pertamanya tahun 2018. Ia menambahkan, apabila tidak memberikan surat pernyataan tersebut, maka buruh hamil yang hendak melahirkan tidak akan diberi hak cuti.

“Pada kehamilan kedua, saya belum sempat nulis surat karena waktu itu belum saatnya ambil cuti sesuai peraturan perusahaan. Peraturan menetapkan bahwa usia kandungan 7,5 bulan baru bisa ambil cuti, sedangkan usia kehamilan saya baru tujuh bulan satu minggu, kurang satu minggu lagi untuk mengajukan cuti,” ujarnya.

Sejak 2019 hingga awal Maret 2020, ditemukan 15 kasus keguguran dan enam kasus bayi lahir meninggal dari buruh perempuan di pabrik Aice akibat beban kerja berlebih.

Jika bayi meninggal dalam kandungan, perempuan memerlukan waktu untuk memulihkan kondisinya sebagaimana mereka yang melahirkan bayi selamat. Pada pengalaman pertamanya hamil, Ry tidak sulit meminta cuti melahirkan untuk pemulihan diri. Namun, kehamilan keduanya bertepatan dengan pemogokan buruh PT AFI yang ia ikuti.

“Kemarin pas bayi saya meninggal yang kedua kali, saya coba ambil cuti melahirkan. Karena saya anggota serikat (SGBBI), saya serahkan semua kebutuhan berkas ke serikat. Lalu katanya, pihak HRD enggak mau tanda tangan (pengajuan cuti) saya karena posisi serikat sekarang sedang mogok,” kata Ry. 

Ia menelan imbas berupa pemotongan gaji dari perusahaan karena dianggap alpa selama ia sakit dan sedang memulihkan diri setelah kematian bayi keduanya. Perusahaan kemudian melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap Ry.

Susahnya mendapat cuti sakit

Catatan Tahunan (CATAHU) tentang Kekerasan terhadap Perempuan, yang dirilis tahun ini oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), menunjukkan pula kasus buruh hamil yang mesti mengangkat beban 10 gulung rol plastik yang masing-masing seberat 10 kg, membersihkan lokasi kerja (menyapu dan mengepel dengan kain pel jongkok) sebelum mulai kerja, serta penempatan mereka di bagian produksi yang menggunakan bahan kimia berbahaya.

Perusahaan menyatakan memberi tambahan asupan bagi buruh hamil. Namun pada kenyataannya, mereka justru pernah mendapat makanan yang telah berjamur atau basi. Ada pula oknum tenaga kerja asing yang merupakan salah satu pimpinan perusahaan yang menyatakan bahwa buruh hamil tidak baik untuk produktivitas. 

Sudah sejak Juni 2019, buruh perempuan PT AFI lainnya, “Er” didiagnosis dokter mengidap endometriosis—kondisi ketika jaringan yang membentuk lapisan dalam dinding rahim tumbuh di luar rahim. Meski masih dalam tahap ringan, dokter merekomendasikan Er untuk tidak melakukan pekerjaan berat. Rekomendasi dokter ini sulit Er jalankan karena ketika ia sampaikan masalah itu pada pihak HRD, mereka menyatakan tidak bisa menempatkannya di bagian lain karena tidak ada yang lowong.

Enam bulan berselang, Er kembali sakit, dan pada 6 Januari 2020, ia mengalami nyeri hebat dan pendarahan berlebihan saat haid hari pertama. Karena sulit sekali mengajukan cuti haid di PT AFI, dan fasilitas kesehatan dari perusahaan juga mempersulit keluarnya Surat Keterangan Dokter (SKD) untuk buruh yang mengeluhkan sakit saat haid, ia pun hanya menahan nyerinya seraya meminum obat pereda nyeri haid.       

Baca juga: Pekerja Perempuan di Padang Tak Tahu Hak Cuti Saat Haid

Selanjutnya, Er mencoba memeriksakan diri dan berobat di beberapa klinik di luar perusahaan dan rumah sakit. Kondisi fisik rentan yang masih dipaksakan bekerja dengan beban berat tak pelak membuat endometriosis Er makin parah. Tanggal 8 Februari 2020, ia pun menjalani operasi sesuai rekomendasi dokter karena jika tidak, ia akan terus mengalami pendarahan hebat.

Pada 19 Januari 2020, Er meminta izin sakit kepada perusahaan lewat suaminya. Saat itu kondisinya belum juga membaik dan sedang berada di kampung. Alih-alih memaklumi dan menerima pengajuan cutinya, pihak perusahaan malah mempersulit dengan alasan tidak ada tanda tangan Er.

Sekembalinya bekerja, Er masih merasakan nyeri di perut hingga kesulitan berdiri dan duduk. Beberapa waktu berselang, ketika tiba waktunya menerima gaji, Er mendapati gajinya dipotong cukup banyak, bahkan sampai di bawah upah minimum kabupaten (UMK). Lebih lanjut dalam kronologi tertulis yang Er buat, ia mengatakan dirinya beberapa kali dianggap alpa termasuk pada tanggal-tanggal ketika ia sebenarnya masuk kerja.

Mengapa perempuan muda tertarik jadi buruh pabrik?

Meski ada sejumlah cerita mengenai nasib buruk buruh yang bekerja di pabrik seperti ditemukan dalam kasus mogok buruh PT AFI, hal tersebut tidak mengurangi animo perempuan-perempuan muda untuk bekerja di sana. Misalnya Rara, 20, yang hijrah dari Kebumen, Jawa Tengah, untuk bekerja sebagai buruh pabrik bidang logistik dan packing di daerah Karawang.

Rara mengatakan, gaji yang lumayan besar menjadi pertimbangan pertama dalam memutuskan bekerja di pabrik. Ia menerima upah sebesar UMK di Karawang per 2020 yakni sekitar Rp4,6 juta, naik dari sekitar Rp4,2 juta tahun sebelumnya. Sementara di Jakarta saja, UMK 2020 yang berlaku adalah Rp4,27 juta.

Baca juga: Perempuan Pekerja Rumahan: Terabaikan dan Tak Diakui Haknya

Sebelum menjadi buruh pabrik, Rara pernah bekerja sebagai pelayan di salah satu restoran di Ciledug, Tangerang. Gaji karyawan di restoran tersebut pada tiga bulan pertama hanya Rp1,6 juta dan setelahnya naik menjadi Rp1,9 juta. Ini jauh dari UMK Tangerang pada 2019 yang sebesar Rp3,9 juta.

Tidak heran jika para perempuan lebih bisa berharap pada gajinya sebagai buruh pabrik untuk memenuhi tuntutan ekonomi keluarga. Sarinah menyatakan, banyak buruh perempuan yang merupakan pencari nafkah utama, tidak hanya bagi keluarga batihnya, tetapi juga bagi keluarga orang tuanya.

“Selain itu, ada juga buruh yang masih lajang dan memang pengen cari uang aja, pengen mandiri dan tidak mau bergantung sama siapa pun,” tambahnya.

Ia juga menyampaikan bahwa keterbatasan kemampuan untuk mengakses pendidikan tinggi adalah faktor lain perempuan tertarik menjadi buruh.

Alasan lain yang mendorong perempuan lulusan SMA mencari kerja di pabrik adalah adanya andil dari sekolah. Ketika Rara bersekolah di Madrasah Aliyah dulu, pihak sekolah biasanya gencar menyalurkan para siswa ke berbagai tempat kerja melalui bursa ketenagakerjaan.

“Misalnya SMK A bekerja sama dengan PT B. Terus nanti siswa-siswa dari macam-macam sekolah di Kebumen bakal ikut tes (masuk perusahaan) yang diadain di SMK A itu,” jelas Rara

Berbeda dari sebagian buruh PT AFI, nasib Rara bisa dibilang cukup beruntung karena bekerja di tempat yang lebih baik memperlakukan pekerjanya. Beban kerja yang diembannya tidak terlalu berat, terlebih karena ia kini sedang ditempatkan di bagian penerima surat barang dari supplier.

Akan mendatangkan simalakama ketika perempuan muda telanjur menjadi buruh dan mendapati lingkungan kerja beracun. Jika keluar, ia akan gagal memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga. Tetapi jika bertahan, lama-lama fisik dan psikisnyalah yang habis digerogoti tuntutan kerja.

Perkara cuti, Rara mengatakan tidak pernah dipersulit oleh perusahaan. Bila ada buruh perempuan haid, ia boleh izin tidak masuk satu hari tanpa perlu menyertakan surat keterangan dokter dulu. Sementara dulu ketika Rara bekerja di restoran, cuti sakit malah mendatangkan potongan gaji sebesar Rp100.000.

Karena tempat Rara bekerja termasuk pabrik kecil, sistem shift belum diberlakukan sebagaimana ditemukan di pabrik besar, terutama pabrik yang memproduksi langsung barang. Jam kerjanya seperti karyawan pada umumnya, yakni delapan jam. Ketika di restoran dulu, Rara merasakan sistem shift dengan waktu kerja satu jam lebih lama dari durasi kerja di pabrik sekarang.

Kondisi kerja dan upah di pabrik macam inilah yang membuat Rara mengaku betah dan tertarik bila perusahaan membuka tes untuk menjadi pegawai tetap. Saat ini status Rara yang merupakan pegawai kontrak hanya berlaku maksimal sampai satu setengah tahun. Selebihnya, ia mesti mencari kerja lain lagi.

Kondisi kerja seperti yang didapati Rara ini bisa saja membuat perempuan-perempuan muda lainnya tertarik untuk bergabung menjadi buruh pabrik. Namun, tiap tempat kerja memiliki kebijakan berbeda. Akan mendatangkan simalakama ketika perempuan muda telanjur menjadi buruh dan mendapati lingkungan kerja beracun. Jika keluar, ia akan gagal memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarga. Tetapi jika bertahan, lama-lama fisik dan psikisnyalah yang habis digerogoti tuntutan kerja.

Karenanya, mengetahui bermacam catatan soal pengalaman buruk buruh di berbagai tempat, perjuangan-perjuangan mereka dan serikatnya, apa saja hak-hak sebagai pekerja yang harus mereka pertahankan, menjadi penting bagi perempuan muda yang hendak bekerja di pabrik. Jangan sampai ada lagi kekerasan yang diterima buruh dari perusahaan lantaran mereka sekadar berusaha mencari nafkah.

Patresia Kirnandita adalah alumnus Cultural Studies Universitas Indonesia. Pengajar nontetap di almamaternya. Ibu satu bocah laki-laki dan lima anak kaki empat. Senang menulis soal isu perempuan, seksualitas, dan budaya pop