Women Lead Pendidikan Seks
April 21, 2020

Refleksi Hari Kartini di Tengah COVID-19: Peningkatan KDRT terhadap Perempuan

Kerentanan perempuan terhadap kekerasan, terutama KDRT, meningkat dalam masa pandemi COVID-19.

by LBH APIK Jakarta
Community
Share:

Tanggal 16 Maret 2020, Presiden RI Joko Widodo telah menerapkan aturan physical distancing untuk mengatasi wabah COVID-19. Terhitung sejak tanggal tersebut sampai 19 April 2020, Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta telah menerima 97 pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan. Pengaduan ini diterima LBH APIK Jakarta melalui hotline dan email. Jumlah ini cukup besar karena hanya dalam waktu satu bulan, jumlah pengaduan meningkat drastis dibandingkan pengaduan langsung.

Dari 97 kasus, jumlah yang paling besar dilaporkan adalah kasus Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yaitu 33 kasus; disusul Kekerasan Gender Berbasis Online (KBGO) 30 kasus; pelecehan seksual 8 kasus; Kekerasan dalam Pacaran (KDP) 7 kasus; pidana umum 6 kasus; pemerkosaan 3 kasus; kasus di luar kekerasan berbasis gender 3 kasus; perdata keluarga 2 kasus; pinjaman online 2 kasus; isu waris, pemaksaan orientasi seksual, dan permohonan informasi layanan masing-masing 1 kasus. 

Pengaduan kasus KDRT masih paling tinggi, sama seperti yang disampaikan dalam Catatan Tahunan 2019 LBH APIK Jakarta. Hal ini menjadi bukti bahwa rumah belum tentu menjadi tempat aman bagi perempuan, apalagi dalam masa pandemi COVID-19 ini. Perempuan menjadi lebih rentan bukan saja rentan tertular virus tetapi juga rentan menjadi korban kekerasan.

Perempuan menjadi rentan terkena virus karena berkewajiban memenuhi kebutuhan pangan keluarga, sehingga dia lebih sering keluar rumah dibandingkan anggota keluarga lainnya. Struktur sosial masyarakat patriarki juga mengharuskan perempuan berperan sebagai pengasuh, pendidik, memastikan kesehatan keluarga, menyiapkan makanan, beban akan bertambah apabila perempuan tersebut juga bekerja di luar rumah dan harus menerapkan Work From Home.

Kebijakan phsyical distancing yang membuat segala kegiatan dilakukan dirumah membuat beban domestik semakin besar. Ketika perempuan dianggap tidak mampu menjalankan fungsi domestiknya, maka kekerasan dianggap hal yang wajar untuk diterima. Hal ini dapat dilihat dari pengaduan KDRT yang diterima LBH APIK Jakarta, jenisnya bukan hanya kekerasan fisik, tetapi juga kekerasan psikis, seksual, bahkan penelantaran ekonomi.

Kekerasan berbasis online

Dalam penerapan phsyical distancing, kebergantungan manusia terhadap internet cukup tinggi, bukan hanya komunikasi, hiburan, belajar, bekerja dan lainya dilakukan dengan internet. Hal ini juga memiliki keterkaitan dengan kekerasan gender berbasis online (KBGO) yang menjadi kasus nomor dua tertinggi yang dilaporkan ke LBH APIK Jakarta. Bentuk KBGO yang dilaporkan adalah pelecehan seksual secara online, ancaman penyebaran konten intim dengan motif eksploitasi seksual, hinggal pemerasan.

Dalam proses penanganan kasus kekerasan, perempuan korban kerap menghadapi kendala mulai dari tingkat pelaporan, penyidikan sampai proses pemeriksaan di pengadilan. Apalagi dalam masa pandemi COVID-19 ini, perempuan lebih sulit keluar rumah untuk melaporkan kasusnya. Penerapan bekerja dari rumah membuat pelaku dapat selalu memantau aktivitas korban.

Dalam masa pemberlakuan work from home, LBH APIK Jakarta tetap memberikan layanan konsultasi hukum via online, merujuk ke psikolog dengan layanan via online apabila dibutuhkan. LBH APIK juga mengarahkan korban untuk melakukan tindakan awal ketika mengalami kekerasan, seperti melakukan foto ketika terjadi memar, luka, dan lain-lain.

Untuk memastikan korban mendapatkan pertolongan segera, LBH APIK juga memberikan nomor kantor polisi yang terdekat dengan korban, pendampingan dalam sidang online. LBH APIK bahkan tetap memberikan layanan rumah aman sementara, karena pada masa pandemi ini beberapa rumah aman pemerintah dan milik lembaga keagamaan tutup.

Dari 97 kasus, semua laporan menggunakan media online, dan masih ada kemungkinan kasus-kasus yang tidak dilaporkan lebih besar. Berdasarkan situasi darurat ini, LBH APIK Jakarta menuntut kepada pemerintah, DPR RI, Aparat Penegak Hukum serta pihak yang memiliki wewenang untuk :

  1. Menerapkan kebijakan penanganan Covid 19 yang mempertimbangkan keadilan dan kesetaraan gender serta memperhatikan kelompok rentan.
  2. Penerapan kebijakan physical distancing harus disertai dengan sosialisasi dan peningkatan kesadaran, baik di media cetak maupun elektronik, agar sampai ke setiap keluarga di Indonesia tentang pentingnya berbagi peran dalam rumah tangga dan pencegahan terjadinya kekerasan.
  3. Kami menolak dibahasnya RUU Ketahanan Keluarga, karena RUU ini justru akan semakin mempertajam ketimpangan antara posisi perempuan dan laki-laki dalam rumah tangga. Pasal 25 RUU Ketahanan Keluarga lebih banyak memberikan beban kepada istri sekaligus mengekalkan stereotipe peran gender sehingga perempuan menjadi lebih rentan mengalami KDRT. RUU ini jelas  melanggar  UU RI No. 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita serta UU HAM.
  4. Tingginya kasus KDRT baik pada masa physical distancing ini maupun sebelumnya, membuktikan bahwa struktur keluarga dengan relasi gender yang timpang tsb sudah harus direkonstruksi. UU Perkawinan saat ini masih membakukan peran gender perempuan dan laki-laki dalam Pasal 31 dan 34. Ketentuan ini juga harus diamendemen, bukan justru  direproduksi melalui RUU Ketahanan Keluarga yang tentunya akan semakin memperburuk situasi keluarga, terutama bagi  perempuan dan anak.
  5. Segera membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga.
  6. Segera merevisi UU ITE yang banyak memakan korban dan sering digunakan pelaku dalam upaya pembungkaman terhadap korban.
  7. Menegakkan implementasi UU PKDRT, UU TPPO serta aturan dan kebijakan positif lainnya secara maksimal untuk kepentingan korban.
  8. Memberlakukan Sistem Peradilan Pidana Terpadu untuk Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak, termasuk layanan visum gratis dan rumah aman yang mudah diakses oleh korban.