Saya bisa bilang bahwa aksi ini adalah aksi bersama oleh mereka yang merasa tertindas oleh patriarki dan memiliki keterikatan emosi yang kuat dengan pergerakan perempuan. Tidak ada satu pun dari peserta aksi ini yang kebarat-baratan (apa pun artinya itu), malah saya menemukan banyak interseksionalitas yang terkandung dalam gerakan ini, mulai dari perempuan lintas agama, kelompok trans, kelompok masyarakat adat, kelompok nonbiner, buruh, pekerja migran, pekerja rumah tangga, pekerja seks, kelompok petani, kelompok LGBTIQ dan banyak lagi. Semua kelompok memiliki pesan yang ingin disampaikan melalui aksi ini akibat dari stigma yang mereka dapatkan dari sistem masyarakat yang patriarkal. Sampai saya menulis ini, saya masih merasa sangat emosional karena aksi ini.
Ada salah seorang peserta aksi yang mengadvokasi pasien talasemia dari Aceh. Ia berkata bahwa banyak perempuan yang disalahkan dan terkena stigma karena anaknya menderita talasemia, padahal penyakit itu disebabkan oleh kondisi genetik dari kedua orangtua anak yang dibawa oleh bapak dan ibunya.
Saya juga berbicara dengan kelompok perempuan pekerja rumah tangga. Dari mereka saya belajar banyak hal dan mengetahui persoalan yang mereka hadapi. Saya yakin banyak yang menganggap diri intelektual, terutama laki-laki intelektual, yang menuduh Women’s March Jakarta sebagai aksi ikut-ikutan pasti pernah memakai jasa pekerja rumah tangga, namun tidak terpikir bahwa mereka juga hadir dan ikut menyuarakan keluh kesahnya dalam aksi ini.
Apakah Mas-Mas yang mengaku intelektual mengetahui ada masyarakat adat, yang merasa negara tidak memberi jaminan atas keberadaan mereka di tanah mereka sendiri, hadir dalam aksi ini? Apakah mereka paham ada kelompok petani perempuan, yang merasa pemerintah tidak menjamin tanah mereka, juga ikut terlibat juga dalam gerakan ini?
Saya ingin bertanya, di mana unsur kebarat-baratan dalam aspirasi yang disampaikan oleh kelompok-kelompok yang termarjinalkan yang saya sebutkan di atas?
Dalam orasi selama aksi, aktivis perempuan Ririn Sefsani menyinggung konteks konstitusi negara yang menjamin kesejahteraan warganya. Cendekiawan Muslim Musdah Mulia mengangkat Pancasila sebagai landasan pergerakan perempuan dan mengatakan sudah sepatutnya perempuan sebagai manusia yang utuh menuntut pemerintah untuk memperlakukan warganya sesuai dengan yang terkandung dalam kelima sila tersebut.
Bagi saya sendiri, menjadi feminis adalah perjalanan spiritualitas dimana saya dapat memproyeksikan nilai-nilai perempuan Jawa mandiri yang telah ada sebelum Belanda menjajah. Setelah saya membaca beberapa buku yang mempelajari psikologi perempuan Jawa yang ditulis oleh perempuan Jawa sendiri, perempuan Jawa jauh dari anggapan bahwa mereka submisif dan takluk. Mereka menguasai diri dan semesta dengan caranya sendiri, namun sayangnya narasi Barat telah menyalahartikan kekuatan perempuan Jawa dengan cara yang sempit dan terdomestifikasi. Bahkan terkadang mereka yang mengaku intelektual dan berupaya menolak narasi Barat masih mengadaptasi dan mencoba menjatuhkan perempuan dengan narasi yang sama.
Istilah feminisme memang istilah baru dari Barat yang muncul pada abad 19. Dari situ pula telah berkembang studi-studi mengenai perempuan dan muncullah berbagai macam teori yang akhirnya dibukukan. Namun karena ilmu mengenai pergerakan perempuan diabadikan oleh percetakan Barat, alhasil orang memaknai pergerakan perempuan sebagai produk Barat. Padahal jika kita tilik lebih lanjut mengenai teori-teori feminisme yang telah dipublikasikan, banyak sekali dari teori-teori tersebut mencerminkan peradaban dimana peran dan posisi perempuan sejajar dengan laki-laki.
Banyak yang mengakui dirinya intelektual dan berupaya menolak narasi Barat masih terjebak dalam institusi dengan sistem yang membesarkan mereka itu tanpa menyadari bahwa sistem tersebut memberi kenyamanan tanpa harus merasakan perjuangan-perjuangan masyarakat yang sudah lama menolak penjajahan dengan memepertahankan adat mereka.
Mereka mengakui dirinya sebagai pembela keadilan namun masih memanfaatkan keistimewaan yang didapatkan dari sistem yang patriarkal. Mereka juga menganggap bahwa perempuan yang menuntut hak-haknya adalah lebih rendah dan terjajah oleh feminism, dengan dalih bahwa perempuan Indonesia harus kembali kepada nilai leluhur. Padahal mereka hanya ingin kembali mendomestifikasi perempuan, seperti apa yang dilakukan oleh revolusi industri.
Saya yakin banyak laki-laki yang sudah secara sadar, baik dalam ranah domestik maupun publik, untuk tidak mengerucutkan peran dan posisi perempuan hingga sedemikian rupa, terbukti dari jumlah laki-laki yang terlibat dalam aksi ini. Namun sayangnya masih banyak juga yang gagal paham. Dan ketika kita mengatakan “tidak semua laki-laki berpikiran seperti itu, jangan digeneralisasi”, kita gagal mengidentifikasikan dan cenderung mengabaikan masalah yang sesungguhnya terjadi dan hal ini hanya akan memperparah kondisi dan menyulitkan situasi perempuan serta menormalkan opresi-opresi tersebut.
Bagi teman-teman yang berpartisipasi dalam Women’s March Jakarta 2017, jangan patah semangat dan teruslah beraspirasi. Narasi bahwa Women’s March Jakarta adalah aksi ikut-ikutan hanyalah sebuah upaya dari sistem patriarkal untuk membungkam perempuan Indonesia.
Dea Safira Basori adalah seorang feminis Jawa yang melawan segala kemungkinan untuk menemukan cinta, kehidupan dan semangat hidupnya. Ia mendokumentasikan kehidupannya di www.deasafirabasori.com dan mendirikan Indonesia Feminis, proyek media sosial sebagai sarana untuk berita, artikel dan acara feminisme di Inodnesia.
Comments